Mengenal Lean Manufacturing
Setelah Perang Dunia II, industri di
Jepang terutama industri otomotif mengalami masalah ketersediaan bahan baku,
keuangan dan tenaga kerja. Eiji Toyoda dan Taiichi Ohno di Toyota Motor Company
Jepang kemudian memperkenalkan konsep Toyota Production System (TPS),
yang dalam banyak hal dijadikan sebagai dasar bagi perkembangan konsep ”Lean
Manufacturing”.
Toyota mengembangkan TPS setelah
Perang Dunia II, dengan kondisi bisnis yang sangat berbeda dibandingkan dengan
Ford dan General Motor (GM). Sementara Ford dan GM lebih mengutamakan produksi
masal, skala ekonomis, dan peralatan-peralatan besar untuk memproduksi suku
cadang sebanyak dan semurah mungkin, pasar Toyota pasca perang Jepang sangatlah
terbatas. Toyota juga memproduksi berbagai jenis kendaraan pada assembly
line yang sama, untuk memuaskan pelanggannya. Kemudian, kunci dari
operasi mereka adalah fleksibilitas. Hal inilah yang membantu Toyota membuat
penemuan penting: ketika Anda memperpendek lead time dan
berfokus untuk menjaga lini produksi fleksibel, Anda akan memperoleh kualitas
yang lebih baik, tanggapan pelanggan yang lebih baik, produktivitas lebih baik,
dan penggunaan peralatan dan ruangan yang lebih baik. Sementara produksi masal
tradisional Ford terlihat bagus ketika Anda menghitung biaya per piece pada
mesin individu, apa yang diinginkan pelanggan lebih bervariasi dibanding cost-effectively yang
pabrikan tradisional tawarkan. Fokus Toyota di tahun 1940 dan 1950-an adalah
pengurangan waste time dan material dari setiap langkah pada
proses produksi dari bahan mentah hingga barang jadi, ditujukan untuk
mendapatkan kondisi yang sama di kebanyakan perusahaan saat ini, yaitu:
kebutuhan akan kecepatan, kefleksibelan proses untuk memberikan apa yang
diinginkan pelanggan, pada saat mereka memerlukan, pada kualitas terbaik dan
harga yang terjangkau.
Fokus pada aliran terus berjalan
hingga menjadi dasar bagi keberhasilan Toyota pada abad ke-21. Perusahaan
seperti Dell juga menjadi terkenal dalam menggunakan lead time yang
pendek, pergantian inventory yang tinggi, dan kecepatan
pembayaran untuk kecepatan pengembangan perusahaan, meskipun Dell baru memulai
untuk menjadi perusahaan lean yang mutakhir, sedangkan Toyota
telah mengembangkannya selama beberapa dekade dengan semangat belajar dan
bekerja keras.
Sayangnya, kebanyakan perusahaan
tetap menggunakan teknik produksi masal yang dipakai oleh Henry Ford tahun
1920-an, ketika fleksibilitas dan keinginan pelanggan belum begitu penting.
Produksi masal berfokus pada efisiensi dari proses individu kembali ke Frederick
Taylor dan manajemen ilmiahnya pada awal abad ke-20. Sebagai kreator TPS,
taylor telah mencoba mengeliminasi waste dari proses produksi.
Dia mengamati para pekerja dan mencoba mengurangi setiap detik dari gerakan tak
efisien. Para pemikir masalah produksi masal telah lama memahami bahwa downtime mesin
merupakan waste yang tidak memberikan nilai tambah, mesin
dimatikan untuk diperbaiki tidaklah memproduksi barang yang menghasilkan uang.
Sistem dorong yang dipraktekkan
dalam sistem produksi masal Ford didesain untuk memproduksi dalam kuantitas
besar dari jumlah model yang terbatas. Itulah mengapa, semua Model T asli hanya
berwarna hitam. Sebaliknya dalam sistem tarik, Toyota ingin mengeluarkan
sedikit produk dengan model yang berbeda-beda menggunakan line asembli
yang sama.
Dalam Lean Thinking, James
Womack dan Daniel Jones mendefinisikan lean manufacturing sebagai
proses lima langkah, yaitu: mendefinisikan nilai bagi pelanggan,
mendefinisikan value stream, membuatnya “mengalir”, “ditarik”oleh
pelanggan, dan berusaha keras untuk mencapai yang terbaik. Untuk menjadi
perusahaan yg lean diperlukan cara berpikir yang berfokus
pembuatan aliran produksi melalui proses-proses yang menambah nilai tanpa
interupsi (one-piece flow), sistem tarik yang dijabarkan dari permintaan
pelanggan, dan budaya dimana setiap orang berusaha untuk melakukan perbaikan
secara terus-menerus.
Ide dasar dari konseplean adalah
mengurangi ”waste”. Waste didefinisikan sebagai sesuatu
yang tidak menambah nilai bagi produk akhir, dilihat dari perspektif pelanggan.
Tujuan utama dari lean manufacturing adalah untuk membantu
pengusaha yang memiliki keinginan untuk mengembangkan perusahaan mereka agar
lebih kompetitif melalui implementasi alat dan teknik lean
manufacturing yang berbeda. Keberhasilan konsep lean
manufacturing di Jepang segera diikuti oleh perusahaan lain terutama
di USA dengan mengadopsi konsep tersebut (Abdullah, 2003).
Sebagian besar bisnis di USA mencoba
mengadopsi berbagai inisiatif bisnis agar dapat bertahan dalam pasar yang semakin
kompetitif. Lean manufacturing merupakan salah satu inisiatif
yang berfokus pada pengurangan biaya dengan mengurangi aktivitas yang tidak
memberikan nilai tambah. Beberapa tools yang dipakai dalam
konsep ini adalah just in time, cellular manufacturing, total
productive maintenance, single-minute exchange of dies, dan production
smoothing telah digunakan secara luas pada sektor-sektor yang
berlainan seperti otomotif, elektronika dan peralatan manufaktur.
Sebelum dikenalnya konsep lean,
ketika perusahaan ingin meningkatkan laba, maka dia akan menaikkan harga dan
menggenjot volume penjualan. Strategi tersebut lebih dikenal dengan
sebutan push system. Namun di saat pertumbuhan ekonomi yang rendah,
persaingan yang ketat serta tantangan globalisasi yang semakin meningkat,
strategi tersebut tak lagi dapat digunakan. Kompetisi menyebabkan harga
ditentukan oleh pasar karena semakin banyaknya supply. Konsumen
menjadi memiliki banyak alternatif pilihan.
Lean adalah salah satu teknik yang telah
terbukti memberikan dampak yang signifikan di banyak perusahaan di dunia.
Konsep yang awalnya muncul di Jepang ini telah menjadikan banyak perusahaan
mencapai profit yang tinggi bukan dengan tingginya harga dan volume penjualan,
tapi dengan proses yang efisien dan berbiaya rendah, serta perbaikan yang terus
menerus.Lean merupakan teknik yang senantiasa berupaya untuk
menghilangkan pemborosan (muda elimination) dengan melibatkan seluruh
karyawan di dalam perusahaan. Pemborosan di sini diartikan sebagai semua
aktivitas yang menggunakan sumberdaya, namun tidak memberikan nilai tambah.
Product lead time adalah
waktu selama bahan baku diolah menjadi barang jadi. Selama product lead
time, terjadi proses pengolahan bahanbaku menjadi barang jadi. Selama
proses tersebut, ada dua jenis waktu, yaitu Value Added Time dan Non-Value
Added Time. Value Added Time hanyalah persentase kecil dari Product
lead time tersebut, sehingga Lean memfokuskan pada
bagaimana menghilangkan waste yang berupa non
value-added time.
Pemahaman teknik-teknik pengurangan
pemborosan (waste) dalam sistem produksi inilah yang menjadi latar
belakang mengapa diklat ini perlu dilaksanakan bagi aparat pemerintah khususnya
pejabat fungsional penyuluh industri, agar memiliki bekal pengetahuan dalam
sistem produksi khususnya dalam upaya peningkatan efisiensi sehingga bisa
memberikan bimbingan dan penyuluhan yang bermanfaat bagi industri kecil
khususnya dalam upaya untuk meningkatkan daya saing, supaya IKM dapat membuat
produk dengan kualitas tinggi namun dengan harga yang terjangkau sehingga dapat
bersaing dengan produk-produk dari luar negeri yang membanjir.
Leandidefinisikan sebagai berikut, “All
we are doing is looking at the time line from the moment the customer gives us
an order to the point when we collect the cash. And we are reducing that time
line by removing the non-value-added wastes.” (Ohno, 1988)
APICS Dictionary mendefinisikan Lean sebagai
suatu filosofi bisnis yang berlandaskan pada (Fitriyah, 2012):
- Meminimasi penggunaan
sumber-sumber daya (termasuk waktu) dalam berbagai aktivitas perusahaan,
- Upaya perbaikan dan peningkatan
terus-menerus yang berfokus pada identifikasi dan eliminasi aktivitas-aktivitas
tidak bernilai tambah (non-value-adding activities)dalam desain,
produksi (untuk bidang manufaktur) atau operasi (untuk bidang
jasa), supply chain management, yang
berkaitan langsung dengan pelangga
Tujuan utama perusahaan
menerapkan lean manufacturing adalah untuk mendapatkan
pengurangan biaya operasi dan meningkatkan kinerja manufaktur lainnya, melalui
:
- Mengeliminasi pemborosan
- Untuk membuat pekerjaan lebih
mudah untuk dimengerti, untuk dilakukan dan untuk diatur
- Mengeliminasi, mengurangi,
menyederhanakan atau mengabungkan aktivitas-aktivitas yang tidak bernilai
tambah (non-value-added activities)
Jadi, Lean Manufacturing
merupakan sistem produksi yang senantiasa mengupayakan penekanan pemborosan
(Muda elimination) dengan melibatkan seluruh karyawan di dalam perusahaan.
Pemborosan di sini diartikan sebagai segala sesuatu yang tidak memberikan nilai
tambah (non added value).
Sistem produksi yang lean adalah
sistem produksi yang mengutamakan penggunaan sumber daya yang efisien. Sumber
daya disini adalah material, orang, peralatan, uang dan tempat untuk mencapai
penurunan biaya produksi dengan tetap mengdepankan kualitas dan tuntutan
konsumen.
Dengan menerapkan Lean Manufacturing,
akan tercipta sistem produksi yang mampu beradaptasi secara cepat terhadap
perubahan kebutuhan pelanggan, tetapi pada saat yang sama sistem produksinya
ramping, artinya persediaannya rendah. Terdapat berbagai teknik yang dapat
digunakan untuk membantu mengidentifikasi pemborosan dan menerapkan lean dalam
upaya penekanan pemborosan dan menghasilkan produk dengan tepat dengan kualitas
sesuai dengan yang dipersyaratkan . Teknik-teknik tersebut diantaranya sistem
tarik, kanban, work cell, 5S, dan TPM. Dalam menerapkan
teknik-teknik disesuikan dengan kondisi perusahaan.
Sebagai hasil akhir dari
penerapan Lean Manufacturing diharapkan proses produksi dapat
menghasilkan produk terbaik bagi konsumen, baik dari sisi kualitas maupun harga
yang kompetitif.
Daftar Pustaka
Jing GG. 2008. Digging for the Root Cause. ASQ Six Sigma Forum Magazine 7
(3) : 19 – 24.
Latino RJ, Kenneth CL. 2006. Root Cause Analysis : Improving Performance for
Bottom – Line Results. Florida : CRC Press.
Liker, Jeffrey K. 2004. The Toyota Way. America : Mc.Grawhill.
Liker, Jeffrey K. dan Michael Hoseus. 2009. Toyota Culture. America :
McGrawHill.