Sabtu, 24 Februari 2024

Mengenal Lean Manufacturing

 Mengenal Lean Manufacturing

 


Setelah Perang Dunia II, industri di Jepang terutama industri otomotif mengalami masalah ketersediaan bahan baku, keuangan dan tenaga kerja. Eiji Toyoda dan Taiichi Ohno di Toyota Motor Company Jepang kemudian memperkenalkan konsep Toyota Production System (TPS), yang dalam banyak hal dijadikan sebagai dasar bagi perkembangan konsep ”Lean Manufacturing”.

Toyota mengembangkan TPS setelah Perang Dunia II, dengan kondisi bisnis yang sangat berbeda dibandingkan dengan Ford dan General Motor (GM). Sementara Ford dan GM lebih mengutamakan produksi masal, skala ekonomis, dan peralatan-peralatan besar untuk memproduksi suku cadang sebanyak dan semurah mungkin, pasar Toyota pasca perang Jepang sangatlah terbatas. Toyota juga memproduksi berbagai jenis kendaraan pada assembly line yang sama, untuk memuaskan pelanggannya. Kemudian, kunci dari operasi mereka adalah fleksibilitas. Hal inilah yang membantu Toyota membuat penemuan penting: ketika Anda memperpendek lead time dan berfokus untuk menjaga lini produksi fleksibel, Anda akan memperoleh kualitas yang lebih baik, tanggapan pelanggan yang lebih baik, produktivitas lebih baik, dan penggunaan peralatan dan ruangan yang lebih baik. Sementara produksi masal tradisional Ford terlihat bagus ketika Anda menghitung biaya per piece pada mesin individu, apa yang diinginkan pelanggan lebih bervariasi dibanding cost-effectively yang pabrikan tradisional tawarkan. Fokus Toyota di tahun 1940 dan 1950-an adalah pengurangan waste time dan material dari setiap langkah pada proses produksi dari bahan mentah hingga barang jadi, ditujukan untuk mendapatkan kondisi yang sama di kebanyakan perusahaan saat ini, yaitu: kebutuhan akan kecepatan, kefleksibelan proses untuk memberikan apa yang diinginkan pelanggan, pada saat mereka memerlukan, pada kualitas terbaik dan harga yang terjangkau.

Fokus pada aliran terus berjalan hingga menjadi dasar bagi keberhasilan Toyota  pada abad ke-21. Perusahaan seperti Dell juga menjadi terkenal dalam menggunakan lead time yang pendek, pergantian inventory yang tinggi, dan kecepatan pembayaran untuk kecepatan pengembangan perusahaan, meskipun Dell baru memulai untuk menjadi perusahaan lean yang mutakhir, sedangkan Toyota telah mengembangkannya selama beberapa dekade dengan semangat belajar dan bekerja keras.

Sayangnya, kebanyakan perusahaan tetap menggunakan teknik produksi masal yang dipakai oleh Henry Ford tahun 1920-an, ketika fleksibilitas dan keinginan pelanggan belum begitu penting. Produksi masal berfokus pada efisiensi dari proses individu kembali ke Frederick Taylor dan manajemen ilmiahnya pada awal abad ke-20. Sebagai kreator TPS, taylor telah mencoba mengeliminasi waste dari proses produksi. Dia mengamati para pekerja dan mencoba mengurangi setiap detik dari gerakan tak efisien. Para pemikir masalah produksi masal telah lama memahami bahwa downtime mesin merupakan waste yang tidak memberikan nilai tambah, mesin dimatikan untuk diperbaiki tidaklah memproduksi barang yang menghasilkan uang.

Sistem dorong yang dipraktekkan dalam sistem produksi masal Ford didesain untuk memproduksi dalam kuantitas besar dari jumlah model yang terbatas. Itulah mengapa, semua Model T asli hanya berwarna hitam. Sebaliknya dalam sistem tarik, Toyota ingin mengeluarkan sedikit produk dengan model yang berbeda-beda menggunakan line asembli yang sama.

Dalam Lean Thinking, James Womack dan Daniel Jones mendefinisikan lean manufacturing sebagai proses lima langkah, yaitu: mendefinisikan nilai bagi pelanggan, mendefinisikan value stream, membuatnya “mengalir”, “ditarik”oleh pelanggan, dan berusaha keras untuk mencapai yang terbaik. Untuk menjadi perusahaan yg lean diperlukan cara berpikir yang berfokus pembuatan aliran produksi melalui proses-proses yang menambah nilai tanpa interupsi (one-piece flow), sistem tarik yang dijabarkan dari permintaan pelanggan, dan budaya dimana setiap orang berusaha untuk melakukan perbaikan secara terus-menerus.

Ide dasar dari konseplean adalah mengurangi ”waste”. Waste didefinisikan sebagai sesuatu yang tidak menambah nilai bagi produk akhir, dilihat dari perspektif pelanggan. Tujuan utama dari lean manufacturing adalah untuk membantu pengusaha yang memiliki keinginan untuk mengembangkan perusahaan mereka agar lebih kompetitif melalui implementasi alat dan teknik lean manufacturing yang berbeda. Keberhasilan konsep lean manufacturing di Jepang segera diikuti oleh perusahaan lain terutama di USA dengan mengadopsi konsep tersebut (Abdullah, 2003).

Sebagian besar bisnis di USA mencoba mengadopsi berbagai inisiatif bisnis agar dapat bertahan dalam pasar yang semakin kompetitif. Lean manufacturing merupakan salah satu inisiatif yang berfokus pada pengurangan biaya dengan mengurangi aktivitas yang tidak memberikan nilai tambah. Beberapa tools yang dipakai dalam konsep ini adalah just in time, cellular manufacturing, total productive maintenance, single-minute exchange of dies, dan production smoothing telah digunakan secara luas pada sektor-sektor yang berlainan seperti otomotif, elektronika dan peralatan manufaktur.

Sebelum dikenalnya konsep lean, ketika perusahaan ingin meningkatkan laba, maka dia akan menaikkan harga dan menggenjot volume penjualan. Strategi tersebut lebih dikenal dengan sebutan push system. Namun di saat pertumbuhan ekonomi yang rendah, persaingan yang ketat serta tantangan globalisasi yang semakin meningkat, strategi tersebut tak lagi dapat digunakan. Kompetisi menyebabkan harga ditentukan oleh pasar karena semakin banyaknya supply. Konsumen menjadi memiliki banyak alternatif pilihan.

Lean adalah salah satu teknik yang telah terbukti memberikan dampak yang signifikan di banyak perusahaan di dunia. Konsep yang awalnya muncul di Jepang ini telah menjadikan banyak perusahaan mencapai profit yang tinggi bukan dengan tingginya harga dan volume penjualan, tapi dengan proses yang efisien dan berbiaya rendah, serta perbaikan yang terus menerus.Lean merupakan teknik yang senantiasa berupaya untuk menghilangkan pemborosan (muda elimination) dengan melibatkan seluruh karyawan di dalam perusahaan. Pemborosan di sini diartikan sebagai semua aktivitas yang menggunakan sumberdaya, namun tidak memberikan nilai tambah.

Product lead time adalah waktu selama bahan baku diolah menjadi barang jadi. Selama product lead time, terjadi proses pengolahan bahanbaku menjadi barang jadi. Selama proses tersebut, ada dua jenis waktu, yaitu Value Added Time dan Non-Value Added Time. Value Added Time hanyalah persentase kecil dari Product lead time tersebut, sehingga Lean memfokuskan pada bagaimana menghilangkan waste yang berupa non value-added time.

Pemahaman teknik-teknik pengurangan pemborosan (waste) dalam sistem produksi inilah yang menjadi latar belakang mengapa diklat ini perlu dilaksanakan bagi aparat pemerintah khususnya pejabat fungsional penyuluh industri, agar memiliki bekal pengetahuan dalam sistem produksi khususnya dalam upaya peningkatan efisiensi sehingga bisa memberikan bimbingan dan penyuluhan yang bermanfaat bagi industri kecil khususnya dalam upaya untuk meningkatkan daya saing, supaya IKM dapat membuat produk dengan kualitas tinggi namun dengan harga yang terjangkau sehingga dapat bersaing dengan produk-produk dari luar negeri yang membanjir.

Leandidefinisikan sebagai berikut, “All we are doing is looking at the time line from the moment the customer gives us an order to the point when we collect the cash. And we are reducing that time line by removing the non-value-added wastes. (Ohno, 1988)

APICS Dictionary mendefinisikan Lean sebagai suatu filosofi bisnis yang berlandaskan pada (Fitriyah, 2012):

  1. Meminimasi penggunaan sumber-sumber daya (termasuk waktu) dalam berbagai aktivitas perusahaan,
  2. Upaya perbaikan dan peningkatan terus-menerus yang berfokus pada identifikasi dan eliminasi aktivitas-aktivitas tidak bernilai tambah (non-value-adding activities)dalam desain, produksi (untuk   bidang manufaktur) atau operasi (untuk bidang jasa), supply chain management, yang berkaitan langsung dengan pelangga

Tujuan utama perusahaan menerapkan lean manufacturing adalah untuk mendapatkan pengurangan biaya operasi dan meningkatkan kinerja manufaktur lainnya, melalui :

  1. Mengeliminasi pemborosan
  2. Untuk membuat pekerjaan lebih mudah untuk dimengerti, untuk dilakukan dan untuk diatur
  3. Mengeliminasi, mengurangi, menyederhanakan atau mengabungkan aktivitas-aktivitas yang tidak bernilai tambah (non-value-added activities)

 

Jadi, Lean Manufacturing merupakan sistem produksi yang senantiasa mengupayakan penekanan pemborosan (Muda elimination) dengan melibatkan seluruh karyawan di dalam perusahaan. Pemborosan di sini diartikan sebagai segala sesuatu yang tidak memberikan nilai tambah (non added value).

Sistem produksi yang lean adalah sistem produksi yang mengutamakan penggunaan sumber daya yang efisien. Sumber daya disini adalah material, orang, peralatan, uang dan tempat untuk mencapai penurunan biaya produksi dengan tetap mengdepankan kualitas dan tuntutan konsumen.

Dengan menerapkan Lean Manufacturing, akan tercipta sistem produksi yang mampu beradaptasi secara cepat terhadap perubahan kebutuhan pelanggan, tetapi pada saat yang sama sistem produksinya ramping, artinya persediaannya rendah. Terdapat berbagai teknik yang dapat digunakan untuk membantu mengidentifikasi pemborosan dan menerapkan lean dalam upaya penekanan pemborosan dan menghasilkan produk dengan tepat dengan kualitas sesuai dengan yang dipersyaratkan . Teknik-teknik tersebut diantaranya sistem tarik, kanban, work cell, 5S, dan TPM. Dalam menerapkan teknik-teknik disesuikan dengan kondisi perusahaan.

Sebagai hasil akhir dari penerapan Lean Manufacturing diharapkan proses produksi dapat menghasilkan produk terbaik bagi konsumen, baik dari sisi kualitas maupun harga yang kompetitif.


Daftar Pustaka

Jing GG. 2008. Digging for the Root Cause. ASQ Six Sigma Forum Magazine 7 (3) : 19 – 24. 

Latino RJ, Kenneth CL. 2006. Root Cause Analysis : Improving Performance for Bottom – Line Results. Florida : CRC Press. 

Liker, Jeffrey K. 2004. The Toyota Way. America : Mc.Grawhill. 

Liker, Jeffrey K. dan Michael Hoseus. 2009. Toyota Culture. America : McGrawHill.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar