Pengertian
Hukum Perburuhan. Hukum Perburuhan pada dasarnya adalah sebuah hukum
yang mengatur tentang perburuhan atau ketenaga-kerjaan (menurut saya
pribadi). Sedangkan menurut PROF.IMAM
SUPOMO ADALAH : Suatu himpunan peraturan, baik tertulis maupun tidak,
yang berkenaan dengan suatu kejadian di mana seseorang bekerja pada
orang lain dengan meneripa upah.
PENGATURAN HUKUM PERBURUHAN
* UNDANG-UNDANG NO. 13 TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN
UNSUR-UNSUR DARI HUKUM PERBURUHAN
Unsur-Unsur dari hukum perburuhan diantaranya adalah :
* Serangkaian peraturan
* Peraturan mengenai suatu kejadian
* Adanya orang yang bekerja pada orang lain
* Adanya balas jasa yang berupa upah.
* UPAH
Hak pekerja/buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai
imbalan dari pengusaha/pemberi kerja kepada pekerja/buruh yang
ditetapkan dengan perjanjian kerja.
* HUBUNGAN KERJA
Hubungan kerja terjadi karena adanya perjanjian kerja antara majikan
dengan pekerja/buruhnya(biasanya dalam bentuk kontrak tertulis).
Dasar perjanjian kerja :
-Kesepakatan
-Kecakapan melakukan perbuatan hukum
-Adanya pekerjaan yang diperjanjikan
-Pekerjaan yang diberikan tidak bertentangan dengan UU, ketertiban umum &
kesusilaan.
* PERJANJIAN KERJA
Adanya sebuah Perjanjian kerja yang ditanda-tangani oleh kedua belah
pihak baik oleh bos atau pemimpin perusahaan dan juga oleh
buruh/karyawan.
Perjanjian kerja tersebut memuat :
-Nama, alamat perusahaan dan jenis usaha
-Identitas pekerja
-Jabatan dan jenis pekerjaan
-Tempat pekerjaan
-Besarnya upah
-Tanda tangan para pihak.
* DLL.
Ruang Lingkup
Sedangkan menurut teori itu sendiri ada 4 lingkup Laku Hukum antara lain :
* Lingkup Laku Pribadi (Personengebied)
Yang termasuk dalam lingkup ini adalah Buruh, Pengusaha dan pengusaha (pemerintah).
* Lingkup Laku Menurut Waktu (Tijdsgebied)
Didalam Hukum Perburuhan, ada peristiwa – peristiwa tertentu yang timbul pada waktu berbeda yaitu :
– Sebelum Hubungan Kerja terjadi
– Pada saat hubugnan kerja terjadi
– Sesudah hubungan kerja terjadi
* Lingkup Laku menurut Wilayah (Ruimtegebied)
Pembatas wilayah berlakunya kaedah Hukum Perburuhan mencakup hal – hal sebagai berikut :
– Regional
Dalam hal ini dapat dibedakan dua wilayah, yaitu Non – sektoral Regional dan Sektoral Regional.
– Nasional
Dalam hal ini juga mencakup dua wilayah berlakunya hukum perburuhan, yaitu Non – Sektoral Nasional dan Sektor Nasional.
* Lingkup Waktu Menurut Hal Ikhwal
Dilihat dari materi muatan Hukum Perburuhan, maka dapat di golongkan kedalam beberapa hal, diantaranya :
– Hal – hal yang berkaitan dengan Hubungan Kerja atau Hubungan Perburuhan.
– Hal – hal yang berkaitan dengan Perlindungan Jaminan Sosial dan Asuransi
Tenaga Kerja.
– Hal – hal yang berkaitan dengan Keselamatan Kerja dan Kesehatan Kerja.
– Hal – hal yang berkaitan dengan masalah penyelesaian perselisihan
perburuhan dan pemutusan hubungan kerja.
– Hal – hal yang berkaitan dengan masalah pengerahan Tenaga Kerja dan
Rekrutmen.
Hukum Perburuhan, Adalah seperangkat aturan dan
norma baik tertulis maupun tidak tertulis yang mengatur pola hubungan
Industrial antara Pengusaha, disatu sisi, dan Pekerja atau buruh
disisi yang lain. Tidak ada definisi baku mengenai hukum perburuhan di
Indonesia. Buku-buku hukum Perburuhan di dominasi oleh karya-karya Prof.
Imam Soepomo. Guru besar hukum perburuhan di Universitas Indonesia. karyanya antara lain : Pengantar Hukum Perburuhan; Hukum Perburuhan Bidang Hubungan Kerja dan Hukum Perburuhan, Undang-undang dan Peraturan-peraturan.
Belakangan, pasca Reformasi Hukum Perburuhan karya-karya Prof. Imam
Soepomo dianggap oleh sebagian kalangan sudah tidak relevan lagi. hal
ini terutama oleh aktivis Serikat Buruh dan advokat perburuhan. meskipun
di perguruan tinggi yang ada Fakultas Hukumnya di seluruh Indonesia,
masih menggunakan buku-buku karya Imam Soepomo sebagai rujukan wajib.
Sejarah Hukum Perburuhan
Pasca reformasi, hukum perburuhan memang mengalami perubahan luar
biasa radikal. baik secara regulatif, politik, ideologis bahkan ekonomi
Global. proses industrialisasi sebagai bagian dari gerak historis
ekonomi politik suatu bangsa dalam perkembanganya mulai menuai
momentumnya. hukum perburuhan, setidaknya menjadi peredam konflik
kepentingan antara pekerja dan pengusaha sekaligus.
Sebagai Peredam Konflik, tentu ia tidak bisa diharapkan maksimal.
faktanya, berbagai hak normatif perburuhan yang mustinya tidak perlu
lagi jadi perdebatan, namun kenyataanya Undang-undang memberi peluang
besar untuk memperselisihkan hak-hak normatif tersebut. memang
Undang-undang perburuhan juga mengatur aturan pidanaya namun hal
tersebut masih dirasa sulit oleh penegak hukumnya. disamping seabrek
kelemahan lain yang kedepan musti segera dicarikan jalan keluarnya.
Masa Orde baru yang dipimpin oleh Presiden Soeharto
benar-benar membatasi Gerakan Serikat Buruh dan Serikat Pekerja. saat
itu Organisasi Buruh dibatasi hanya satu organisasi SPSI (Serikat
Pekerja Seluruh Indonesia).
pola penyelesaia hubungan Industrialpun dianggap tidak adil dan
cenderung represif. TNI saat itu, misalnya, terlibat langsung bahkan
diberikan wewenang untuk turut serta menjadi bagian dari Pola
Penyelesaian hubungan Industrial. Saat itu, sejarah mencatat kasus-kasus
buruh yang terkenal di Jawa Timur misalnya Marsinah dan lain-lain.
Hukum Perburuhan era Reformasi
Era Reformasi benar-benar membuka lebar arus demokrasi. Secara
regulatif, dan Gradual hukum perburuhan kemudian menemukan momentumnya.
hal tersebut terepresentasi dalam tiga paket Undang-Undang perburuhan
antara lain: Undang-undang No. 21 tahun 2000 Tentang Serikat Buruh,
Undang-undang No.13 Tahun 2003
Tentang Ketenagakerjaan, dan Undang-Undang No.2 Tahun 2004 Tentang
Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI).
PENGERTIAN DAN RUANG LINGKUP HUKUM PERBURUHAN
Pengertian
Hukum Perburuhan. Hukum Perburuhan pada dasarnya adalah sebuah hukum
yang mengatur tentang perburuhan atau ketenaga-kerjaan (menurut saya
pribadi). Sedangkan menurut PROF.IMAM
SUPOMO ADALAH : Suatu himpunan peraturan, baik tertulis maupun tidak,
yang berkenaan dengan suatu kejadian di mana seseorang bekerja pada
orang lain dengan meneripa upah.
PENGATURAN HUKUM PERBURUHAN
* UNDANG-UNDANG NO. 13 TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN
UNSUR-UNSUR DARI HUKUM PERBURUHAN
Unsur-Unsur dari hukum perburuhan diantaranya adalah :
* Serangkaian peraturan
* Peraturan mengenai suatu kejadian
* Adanya orang yang bekerja pada orang lain
* Adanya balas jasa yang berupa upah.
* UPAH
Hak pekerja/buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai
imbalan dari pengusaha/pemberi kerja kepada pekerja/buruh yang
ditetapkan dengan perjanjian kerja.
* HUBUNGAN KERJA
Hubungan kerja terjadi karena adanya perjanjian kerja antara majikan
dengan pekerja/buruhnya(biasanya dalam bentuk kontrak tertulis).
Dasar perjanjian kerja :
-Kesepakatan
-Kecakapan melakukan perbuatan hukum
-Adanya pekerjaan yang diperjanjikan
-Pekerjaan yang diberikan tidak bertentangan dengan UU, ketertiban umum &
kesusilaan.
* PERJANJIAN KERJA
Adanya sebuah Perjanjian kerja yang ditanda-tangani oleh kedua belah
pihak baik oleh bos atau pemimpin perusahaan dan juga oleh
buruh/karyawan.
Perjanjian kerja tersebut memuat :
-Nama, alamat perusahaan dan jenis usaha
-Identitas pekerja
-Jabatan dan jenis pekerjaan
-Tempat pekerjaan
-Besarnya upah
-Tanda tangan para pihak.
* DLL.
Ruang Lingkup
Sedangkan menurut teori itu sendiri ada 4 lingkup Laku Hukum antara lain :
* Lingkup Laku Pribadi (Personengebied)
Yang termasuk dalam lingkup ini adalah Buruh, Pengusaha dan pengusaha (pemerintah).
* Lingkup Laku Menurut Waktu (Tijdsgebied)
Didalam Hukum Perburuhan, ada peristiwa – peristiwa tertentu yang timbul pada waktu berbeda yaitu :
– Sebelum Hubungan Kerja terjadi
– Pada saat hubugnan kerja terjadi
– Sesudah hubungan kerja terjadi
* Lingkup Laku menurut Wilayah (Ruimtegebied)
Pembatas wilayah berlakunya kaedah Hukum Perburuhan mencakup hal – hal sebagai berikut :
– Regional
Dalam hal ini dapat dibedakan dua wilayah, yaitu Non – sektoral Regional dan Sektoral Regional.
– Nasional
Dalam hal ini juga mencakup dua wilayah berlakunya hukum perburuhan, yaitu Non – Sektoral Nasional dan Sektor Nasional.
* Lingkup Waktu Menurut Hal Ikhwal
Dilihat dari materi muatan Hukum Perburuhan, maka dapat di golongkan kedalam beberapa hal, diantaranya :
– Hal – hal yang berkaitan dengan Hubungan Kerja atau Hubungan Perburuhan.
– Hal – hal yang berkaitan dengan Perlindungan Jaminan Sosial dan Asuransi
Tenaga Kerja.
– Hal – hal yang berkaitan dengan Keselamatan Kerja dan Kesehatan Kerja.
– Hal – hal yang berkaitan dengan masalah penyelesaian perselisihan
perburuhan dan pemutusan hubungan kerja.
– Hal – hal yang berkaitan dengan masalah pengerahan Tenaga Kerja dan
Rekrutmen.
Hukum Perburuhan, Adalah seperangkat aturan dan
norma baik tertulis maupun tidak tertulis yang mengatur pola hubungan
Industrial antara Pengusaha, disatu sisi, dan Pekerja atau buruh
disisi yang lain. Tidak ada definisi baku mengenai hukum perburuhan di
Indonesia. Buku-buku hukum Perburuhan di dominasi oleh karya-karya Prof.
Imam Soepomo. Guru besar hukum perburuhan di Universitas Indonesia. karyanya antara lain : Pengantar Hukum Perburuhan; Hukum Perburuhan Bidang Hubungan Kerja dan Hukum Perburuhan, Undang-undang dan Peraturan-peraturan.
Belakangan, pasca Reformasi Hukum Perburuhan karya-karya Prof. Imam
Soepomo dianggap oleh sebagian kalangan sudah tidak relevan lagi. hal
ini terutama oleh aktivis Serikat Buruh dan advokat perburuhan. meskipun
di perguruan tinggi yang ada Fakultas Hukumnya di seluruh Indonesia,
masih menggunakan buku-buku karya Imam Soepomo sebagai rujukan wajib.
Sejarah Hukum Perburuhan
Pasca reformasi, hukum perburuhan memang mengalami perubahan luar
biasa radikal. baik secara regulatif, politik, ideologis bahkan ekonomi
Global. proses industrialisasi sebagai bagian dari gerak historis
ekonomi politik suatu bangsa dalam perkembanganya mulai menuai
momentumnya. hukum perburuhan, setidaknya menjadi peredam konflik
kepentingan antara pekerja dan pengusaha sekaligus.
Sebagai Peredam Konflik, tentu ia tidak bisa diharapkan maksimal.
faktanya, berbagai hak normatif perburuhan yang mustinya tidak perlu
lagi jadi perdebatan, namun kenyataanya Undang-undang memberi peluang
besar untuk memperselisihkan hak-hak normatif tersebut. memang
Undang-undang perburuhan juga mengatur aturan pidanaya namun hal
tersebut masih dirasa sulit oleh penegak hukumnya. disamping seabrek
kelemahan lain yang kedepan musti segera dicarikan jalan keluarnya.
Masa Orde baru yang dipimpin oleh Presiden Soeharto
benar-benar membatasi Gerakan Serikat Buruh dan Serikat Pekerja. saat
itu Organisasi Buruh dibatasi hanya satu organisasi SPSI (Serikat
Pekerja Seluruh Indonesia).
pola penyelesaia hubungan Industrialpun dianggap tidak adil dan
cenderung represif. TNI saat itu, misalnya, terlibat langsung bahkan
diberikan wewenang untuk turut serta menjadi bagian dari Pola
Penyelesaian hubungan Industrial. Saat itu, sejarah mencatat kasus-kasus
buruh yang terkenal di Jawa Timur misalnya Marsinah dan lain-lain.
Hukum Perburuhan era Reformasi
Era Reformasi benar-benar membuka lebar arus demokrasi. Secara
regulatif, dan Gradual hukum perburuhan kemudian menemukan momentumnya.
hal tersebut terepresentasi dalam tiga paket Undang-Undang perburuhan
antara lain: Undang-undang No. 21 tahun 2000 Tentang Serikat Buruh,
Undang-undang No.13 Tahun 2003
Tentang Ketenagakerjaan, dan Undang-Undang No.2 Tahun 2004 Tentang
Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI).
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 21 TAHUN 1954
TENTANG
PERJANJIAN PERBURUHAN ANTARA SERIKAT BURUH DAN MAJIKAN
NOMOR 21 TAHUN 1954
TENTANG
PERJANJIAN PERBURUHAN ANTARA SERIKAT BURUH DAN MAJIKAN
Presiden Republik Indonesia,
Menimbang : bahwa perlu diadakan aturan-aturan tentang perjanjian
mengenai syarat-syarat perburuhan antara serikat buruh dengan majikan;
Mengingat : pasal 36 dan 89 Undang-undang Dasar Sementara Republik
Indonesia;
Dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat;
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG PERJANJIAN PERBURUHAN ANTARA SERIKAT BURUH DAN MAJIKAN.
Pasal 1
(1) Perjanjian tentang syarta-syarat perburuhan antara serikat buruh
dengan majikan (disingkat perjanjian perburuhan) ialah perjanjian yang
diselenggarakan oleh serikat atau serikat-serikat buruh yang telah
didaftarkan pada Kementerian Perburuhan dengan majikan, majikan-majikan,
perkumpulan atau perkumpulan-perkumpulan majikan yang berbadan hukum,
yang pada umumnya atau semata-mata memuat syarat-syarat, yang harus
diperhatikan didalam perjanjian kerja.
(2) Perjanjian perburuhan dapat juga diselenggarakan untuk pekerjaan
borongan atau untuk perjanjian melakukan sesuatu pekerjaan dan didalam
hal ini berlaku juga ketentuan-ketentuan didalam undang-undang ini
tentang perjanjian kerja, buruh dan majikan.
(3) Sesuatu atauran yang mewajibkan seorang majikan supaya hanya
menerima atau menolak buruh mewajibkan seorang buruh hanya bekerja atau
tidak boleh bekerja pada majikan dari sesuatu golongan, baik berkenaan
dengan agama, golongan warga negara atau bangsa, maupun karena keyakinan
politik atau anggota dari sesuatu perkumpulan, adalah tidak sah.
Demikian juga halnya dengan atauran-aturan yang bertentangan dengan hukum tentang ketertiban umum atau dengan kesusilaan.
Pasal 2
(1) Perjanjian perburuhan harus dibuat dengan surat resmi atau surat yang ditanda tangani oleh kedua belah pihak.
(2) Didalam Peraturan Pemerintah ditetapkan ketentuan-ketentuan tentang cara membuat dan mengatur perjanjian itu.
Pasal 3
(1)Sesuatu serikat buruh atau perkumpulan majikan yang
menyelenggarakan perjanjian perburuhan, wajib memberitahukan isi
perjanjian itu kepada anggota-anggotanya. Demikian juga bilamana oleh
kedua belah pihak dibuat keterangan-keterangan terhadap perjanjian itu.
(2) Kewajiban tersebut pada ayat 1 berlaku juga, bilamana diadakan
perubahan-perubahan didalam perjanjian perburuhan atau bilamana waktu
berlakunya diperpanjang.
Pasal 4
(1)Sesuatu serikat buruh atau perkumpulan majikan yang
menyelenggarakan perjanjian perburuhan, wajib mengusahakan agar
anggota-anggotanya memenuhi aturan-aturan yang berlaku untuk mereka.
(2) Serikat buruh atau perkumpulan majikan tersebut hanya bertanggung
jawab atas anggota-anggotanya, bilamana hal ini bitentukan didalam
perjanjian perburuhan.
Pasal 5
Majikan dan buruh yang terikat oleh perjanjian perburuhan, wajib melaksanakan perjanjian itu sebaik-baiknya.
Pasal 6
(1)Mereka yang selama waktu berlakunya perjanjian perburuhan adalah
anggota atau menjadi anggota sesuatu serikat buruh atau perkumpulan
majikan yang menyelenggarakan perjanjian tersangkut didalam perjanjian
itu, terikat oleh perjanjian itu.
(2) Mereka bertanggung jawab terhadap masing-masing pihak pada
perjanjian perburuhan didalam hal menepati segala aturan, yang telah
ditentukan bagi mereka.
Pasal 7
(1)Anggota-anggota serikat buruh atau perkumpulan majikan tetap
terikat oleh perjanjian perburuhan, meskipun telah kehilangan
keanggotaannya.
(2) Mereka tidak lagi terikat, bilamana setelah mereka kehilangan keanggotaannya, perjanjian tersebut diubah.
(3) Jika waktu berlakunya perjanjian itu diperpanjang atau dianggap
diperpanjang sesudah mereka kehilangan keanggotaan, maka mereka hanya
terikat sampai pada waktu berlakunya perjanjian itu dengan tidak
diperpanjang akan habis.
Pasal 8
Pembubaran sesuatu serikat buruh atau perkumpulan majikan yang
menyelenggarakan perjanjian perburuhan, tidak mengubah hak-hak dan
kewajiban-kewajiban yang bersangkutan dengan perjanjian tersebut.
Pasal 9
(1) Sesuatu aturan didalam perjanjian kerja antara seorang buruh dan
seorang majikan yang bertentangan dengan perjanjian perburuhan yang
mengikat kedua mereka itu, tidak sah; didalam hal itu aturan-aturan
perjanjian perburuhan yang berlaku.
(2) Hal-hal yang tidak sah itu selalu dapat diajukan oleh tiap-tiap pihak dalam perjanjian perburuhan.
Pasal 10
Bilamana suatu perjanjian kerja tidak memuat aturan-aturan yang
ditetapkan didalam perjanjian perburuhan yang mengikat buruh dan majikan
itu juga, maka aturan-aturan perjanjian perburuhan itulah yang berlaku.
Pasal 11
(1)Menteri Perburuhan, setelah mendengar lebih dahulu pertimbangan
pihak-pihak yang bersangkutan, dapat menetapkan supaya seorang majikan
yang terikat oleh sesuatu perjanjian perburuhan memenuhi sebagian atau
semua aturan-aturannya, juga bilamana dia menyelenggarakan perjanjian
kerja dengan seorang buruh yang tidak terikat perjanjian perburuhan itu.
(2) Menteri tersebut dapat pula, setelah mendengan lebih dahulu
pertimbangan pihak-pihak yang bersangkutan, menetapkan supaya sebagian
atau seluruh perjanjian perburuhan yang mengenai suatu, lapang usaha
yang tertentu, dipenuhi juga oleh buruh-buruh dan majikan-majikan dari
lapang usaha yang sama, tidak terikat oleh perjanjian perburuhan
tersebut.
(3) Didalam Peraturan Pemerintah ditetapkan aturan-aturan tentang penetapan-penetapan tersebut pada ayat 1 dan 2.
Pasal 12
Seorang majikan atau perkumpulan majikan yang terikat oleh sesuatu
perjanjian perburuhan, tidak dapat menyelenggarakan perjanjian
perburuhan dengan serikat buruh lain, yang memuat syarat-syarat kerja
yang kurang dari pada yang termuat dalam perjanjian perburuhan yang
sudah ada.
Pasal 13
(1) Sesuatu serikat buruh yang menyelenggarakan perjanjian
perburuhan, dapat minta ganti kerugian, jika pihak yang lain pada
perjanjian itu atau seorang anggotanya bertindak bertentangan dengan
kewajibannya dalam perjanjian perburuhan tidak hanya untuk kerugian yang
dideritanya sendiri, melainkan juga untuk kerugian yang diderita oleh
anggota-anggotanya.
(2) Majikan yang menyelenggarakan perjanjian perburuhan, dapat minta
ganti kerugian kepada serikat buruh atau buruh, yang sengaja berbuat
bertentangan dengan kewajibannya.
Pasal 14
Bilamana kerugian itu tidak mungkin dinyatakan dengan uang, maka
pengganti kerugian itu, ditetapkan berupa sejumlah uang atas dasar
keadilan.
Pasal 15
(1) Mengenai pengganti kerugian didalam perjanjian perburuhan, dapat
ditetapkan aturan-aturan denda, yang menyimpang dari ketentuan tersebut
dalam pasal 12 dan 13.
(2) Aturan denda ini dapat diubah oleh pengadilan, bilamana kewajiban yang dikenakan hukuman itu untuk sebagian telah dipenuhi.
Pasal 16
(1) Sesuatu perjanjian perburuhan hanya dapat diselenggarakan untuk paling lama 2 tahun.
(2) Waktu itu dapat diperpanjang dengan paling lama 1 tahun lagi.
Pasal 17
(1)Masing-masing pihak pada Perjanjian perburuhan, karena
alasan-alasan yang memaksa, dapat minta kepada pengadilan supaya
membatalkan sebagian atau seluruhnya perjanjian itu.
(2) Sesuatu aturan didalam perjanjian itu, yang mengurangi atau melenyapkan ketentuan pada ayat 1, adalah tidak sah.
Pasal 18
Walaupun sesuatu perjanjian perburuhan diselenggarakan untuk waktu
yang tertentu, maka jika didalam perjanjian itu tidak ada ketentuan yang
lain, perjanjian itu dianggap sebagai diperpanjang terus menurut untuk
waktu yang sama tetapi tidak lebih dari satu tahun, kecuali jika ada
pernyataan untuk mengakhiri. Pernyataan itu harus diberitahukan
sekurang-kurangnya satu bulan sebelum waktu yang dimaksudkan itu habis.
Pasal 19
Pernyataan mengakhiri perjanjian perburuhan harus disampaikan kepada
semua pihak dalam perjanjian itu dan hanya dapat dilakukan dengan surat
tercatat.
Pasal 20
Bilamana didalam perjanjian perburuhan tidak ada ketentuan yang lain,
maka karena pernyataan untuk mengakhiri itu, perjanjian tersebut
berhenti berlaku bagi semua pihak pada perjanjian itu.
Pasal 21
Perjanjian perburuhan yang berlaku pada hari undang-undang ini mulai
berlaku, tetap berlaku sampai pada waktu berlakunya itu habis atau
perjanjian itu diubah; didalam hal itu selanjutnya harus diturut
aturan-aturan didalam undang-undang ini.
Pasal 22
Undang-undang ini disebut “Undang-undang perjanjian perburuhan tahun 1954”.
Pasal 23
Undang-undang ini mulai berlaku pada hari diundangkan.
Agar supaya setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
undang-undang ini dengan penempatan dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia.
Disahkan di Jakarta pada tanggal 28 Mei 1954 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
SUKARNO
Diundangkan pada tanggal 12 Juni 1954 MENTERI PERBURUHAN,
S.M. ABIDIN
MENTERI KEHAKIMAN
DJODY GONDOKUSUMO
MEMORI PENJELASAN UNDANG-UNDANG ATAS UNDANG-UNDANGREPUBLIK INDONESIA
NOMOR 21 TAHUN 1954 TENTANG PERJANJIAN MENGENAI SYARAT-SYARAT PERBURUHAN
ANTARA SERIKAT BURUH DAN MAJIKAN
UMUM:
1.Undang-undang yang mengatur suatu perjanjian antara dua belah
pihak, pada pokoknya mengakui adanya dan berdasarkan atas kemauan dari
kedua belah pihak itu untuk mendapat persetujuan tentang apa yang
dikehendakinya. Dengan kata lain: adanya suatu keleluasaan bersepakat
(contractwijheid). Suatu perjanjian-perburuhan tak ada gunanya dan tidak
pada tempatnya, jika segala sesuatu ditentukan dan ditetapkan oleh
Pemerintah saja.
2.Tetapi walaupun demikian, di dalam negara kita yang bukan
kapitalistis ini, keleluasan itu harus dibatasi, yakni hanya di dalam
lingkungan apa yang oleh Pemerintah dianggap layak. Sebab Pemerintah
memegang teguh tujuannya untuk menlindungi siapa yang lemah, agar
tercapai sesuatu imbangan yang mendekatkan masyarakat kita kepada suatu
tujuan negara kita menjamin penghidupan yang layak bagi kemanusiaan
untuk tiap-tiap warganegara. Antara lain harus diperhatikan
ketentuan-detentuan yang dimuat didalam Undang-undang Kerja
(Undang-undang No. 1 tahun 1951).
3. Dipandang dari sudut perlindungan itu, maka undang-undang ini
merupakan suatu lanjutan, karena dengan undang-undang ini buruh diberi
hak untuk bersama-sama (collectieve) dengan jalan perwakilan menuju ke
arah tingkat yang lebih tinggi. Lain daripada itu, Undang-undang ini
memberikan kepada serikat buruh yang terdaftar di Kementerian Perburuhan
kemampuan untuk bertindak di dalam lingkungan lapangan hukum *787
perjanjian-perburuhan. Ketentuan ini perlu karena undang-undang yang
memberikan kedudukan pendiri-hukum (rechtssubject) kepada serikat buruh
belum ada. Untuk memberikannya kedudukan ini dengan undang-undang ini
agak sukar dilakukan karena: pertama bukan tempatnya dan kedua belum
menyelami dengan seksama bagaimana akibat-akibatnya bagi serikat buruh
dalam pertumbuhan sekarang ini.
4.Perjanjian-perburuhan (collectieve arbeidsovereenkomst) yang telah
diselenggarakan oleh serikat buruh itu tidak dapat diabaikan dengan
begitu saja oleh seorang buruh yang mengadakan perjanjian-kerja
(individueele arbeidsovereenkomst) (pasal 9 ayat 1). Dan
perjanjian-perburuhan yang sangat manfaat bagi buruh, oleh Menteri
Perburuhan dapat dipaksakan kepada majikan-majikan lainnya untuk
dilaksanakan di dalam perusahaannya masing-masing (pasal 11 ayat 1 dan
2).
5.Selanjutnya undang-undang ini mengatur akibat-akibat dari tindakan
serikat buruh terhadap anggota-anggotanya, hubungan anggota-anggota itu
dengan pihak lainnya pada perjanjian itu, hubungan suatu
perjanjian-perburuhan dengan perjanjian kerja hubungan suatu
perjanjian-perburuhan dengan perburuhan lainnya dan sebagainya. Semua
itu mengenai soal-soal hukum (juridisch) yang dengan jelas diterangkan
di dalam penjelasan pasal demi pasal. Sekedar sebagai pegangan perlu
diterangkan apa yang dimaksudkan dengan beberapa istilah yang umum.
Dengan serikat buruh tidak hanya dimaksudkan suatu serikat buruh pada
suatu perusahaan atau suatu lapang usaha, ataupun suatu serikat buruh
dari suatu keahlian (vak), melainkan juga gabungan dari beberapa atau
berbagai-bagai serikat buruh. Buruh ialah seorang yang melakukan
pekerjaan di bawah pimpinan majikan untuk sesuatu waktu dengan menerima
upah, sedang majikan ialah seorang pada siapa buruh itu bekerja.
Pasal demi pasal
Pasal 1
(1) Perjanjian-perburuhan ialah peraturan induk bagi perjanjian kerja
antara seorang anggota serikat buruh pada satu pihak dengan seorang
majikan atau seorang anggota perkumpulan majikan pada pihak yang lain,
baik yang sudah maupun yang belum diselenggarakan. Serikat-serikat buruh
hanya dapat menyelenggarakan perjanjian-perburuhan jika telah didaftar
di Kementerian Perburuhan. Dengan pernyataan ini undang-undang ini
berkehendak memberikan kemampuan kepada serikat buruh untuk bertindak
dalam hukum, yakni bertindak sebagai penyelenggara perjanjian-perburuhan
ini dan di dalam hal-hal yang ditentukan di dalam undang-undang ini.
Kata “pada umumnya” memberi kesempatan kepada kedua belah pihak untuk
juga memuat hal-hal yang bukan semata-mata mengenai syarat-syarat
perburuhan, umpamanya mengadakan panitia, terdiri dari anggota-anggota
buruh dan majikan untuk mengawasi dijalankannya itu. Dengan demikian
maka kedua pihak merdeka mengisi perjanjian itu. Cara yang lain, yakni
menentukan satu hal demi satu hal apalah yang boleh diatur di dalam
perjanjian-perburuhan tidak dapat dipergunakan, karena agak kaku, yang
pada hari kemudian mungkin menghalang-halangi kemajuan
perjanjian-perburuhan. Kemerdekaan kedua belah pihak tersebut hanya
dibatasi dalam hal-hal tersebut dalam ayat 4. “Di dalam
perjanjian-bekerja” berarti sebagai telah dikatakan di atas, bahwa
perjanjian-perburuhan yang pada sesuatu waktu diselenggarakan itu tidak
hanya berlaku untuk perjanjian-kerja yang di kemudian hari akan
diselenggarakan, melainkan juga untuk perjanjian-kerja yang sudah
diselenggarakan pada waktu itu. Perjanjian-perburuhan adalah salah satu
usaha untuk menjernihkan suasana di dalam perusahaan. Apabila itu sudah
tercapai maka tujuan untuk menghasilkan sebanyak-banyaknya harus segera
dikejar. Oleh sebab itu majikan harus memenuhi kewajibannya dan buruh
harus sedikit-dikitnya memberi minimum arbeidsprestatie.
(2) Di samping perjanjian-kerja, yang pada pokoknya mengenai
pekerjaan yang dijalankan oleh buruh di bawah pimpinan majikan, untuk
sesuatu waktu dengan menerima upah terdapat pula: pertama
perjanjian-pekerjaan borongan yang menyatakan pihak yang kesatu,
pemborong, berjanji, untuk pihak yang lain, yang memborongkan, dengan
harga yang tertentu menghasilkan suatu buah pekerjaan yang telah
ditetapkan, umpamanya membuat rumah, kursi, dan lain-lainnya dan kedua
perjanjian melakukan sesuatu pekerjaan yang menyatakan bahwa pihak
pertama berjanji melakukan sesuatu pekerjaan dengan upah untuk pihak
yang lain, umpamanya antara seorang dokter dengan yang berobat, dan
dalam hal itu kedua macam pekerjaan itu tidak dilakukan di bawah
pimpinan majikan, sehingga dalam ayat 3 ini perlu ditentukan bahwa
perjanjian-perburuhan, dapat juga diselenggarakan untuk pekerjaan
borongan dan perjanjian melakukan sesuatu pekerjaan, sesuatunya
semata-mata untuk menghilangkan keragu-raguan tentang dapat
diselenggarakan atau tidaknya perjanjian-perburuhan bagi pekerjaan
borongan dan perjanjian melakukan sesuatu pekerjaan.
(3) Bahwasanya aturan-aturan yang bertentangan dengan hukum tentang
ketertiban umum atau dengan kesusilaan itu tidak sah, sudah selayaknya,
karena itu tidak perlu di sini diterangkan panjang lebar. Sebabnya
ketentuan ini didapat pada ayat 4 itu hanyalah untuk menegaskan sekali
lagi adanya azas (beginsel) itu dalam hukum perdata kita. Larangan
lainnya semata-mata ditujukan untuk menjaga timbulnya kedudukan yang
bersifat monopolistisch dari: serikat buruh yang memaksa seorang majikan
untuk hanya menerima umpamanya buruh Kristen, buruh-auruh warganegara
Indonesia bukan asli, buruh bangsa asing, buruh berhaluan sosialis atau
buruh yang menjadi anggota dari perkumpulan A atau menolak umpamanya
buruh Islam, buruh warga-negara Indonesia asli, buruh warganegara
Indonesia, buruh berhaluan komunis atau buruh yang menjadi anggota dari
perkumpulan B; majikan yang memaksa buruh untuk hanya bekerja atau tidak
boleh bekerja umpamanya pada majikan Kristen, majikan warganegara
Indonesia bukan asli, majikan bangsa asing, majikan berhaluan sosialis
atau majikan yang menjadi anggota dari perkumpulan A.
Pasal 2
Cukup jelas.
Pasal 3
(1) Karena pentingnya akibat perjanjian itu, maka dimintakan bentuk yang tertentu.
Yang dimaksud dengan surat resmi (authentiek) ialah surat yang dibuat
oleh orang atau pegawai yang berhak membuatnya umpamanya notaris,
sedang surat yang ditandatangani oleh kedua belah pihak (onderhandsche
akte) ialah surat yang justru memuat perjanjian-perburuhan. (2)
Berhubung dengan penilikan umum dari Kementerian Perburuhan yang
diserahi urusan terhadap perburuhan, maka Pemerintah harus mendapat
bahan-bahan yang cukup untuk memungkinkan penilikan itu dilakukan dengan
tepat dan cepat (effectief). Karena itu Pemerintah dapat memerintahkan
kepada sesuatu pihak untuk mendaftarkan surat-perjanjian itu pada
Pemerintah, memberi contoh surat perjanjian agar terdapat kesatuan dalam
bentuknya (uniformiteit) dan sebagainya, misalnya memuat aturan-aturan
tentang:
1.tingginya upah,
2.uang lembur,
3. upah pada waktu sakit,
4. upah pada Hari Raya,
5. pengawasan upah,
6. buku-upah,
7. waktu-kerja,
8. pemeliharaan waktu sakit,
9. waktu berlakunya perjanjian.
Pasal 4
Karena perjanjian yang diselenggarakan itu berlaku buat
anggota-anggota maka perlu supaya isinya diberitahukan kepada mereka.
Caranya terserah kepada perkumpulan yang bersangkutan apakah dengan
lisan ataukah dengan memberikan turunan surat perjanjian kepada
anggota-anggotanya.
Maksud pasal ini terutama ialah bahwa tidak tahunya seorang anggota tidak dapat diajukan kepada pihak yang lain.
Pemberitahuan itu sebetulnya, tidak berat bagi perkumpulan yang
bersangkutan karena pada umumnya anggota-anggota telah mengetahui pada
waktu menyetujuinya di dalam rapat anggota.
Hukum pelanggaran ini adalah suatu soal antara anggota dengan
perkumpulannya (intern) yang harus diatur dalam peraturan dasarnya.
Pasal 5
Mengenai kewajiban dan tanggung-jawab perkumpulan
atasanggota-anggotanya yang harus memenuhi aturan-aturan dalam
perjanjian-perburuhan, terdapat dua aliran yang sangat berlainan:
a.perkumpulan tersebut menanggung dengan sepenuhnya bahwa
anggota-anggotanya akan memenuhi semua aturan-aturan itu, dan
perkumpulanlah yang bertanggung-jawab bilamana anggota-anggota itu
melanggar perjanjian-perburuhan,
b.perkumpulan tidak ikut campur dalam urusan aturan-aturan yang berlaku
bagi anggota-anggotanya. Pelanggaran oleh *790 anggota-anggotanya
bukanlah tanggungannya.
Pasal ini mengambil jalan tengah.
Aliran b yang menyatakan perkumpulan sedikitpun tidak
bertanggung-jawab, memungkinkan perkumpulan dengan secara diam-diam
menghalang-halangi anggota-anggotanya memenuhi kewajiban-kewajiban
mereka, tak dapat diturut, karena ayat 1 mewajibkan perkumpulan
mengusahakan agar anggota-anggotanya memenuhi kewajiban-kewajiban
mereka.
Dengan demikian tidak cukuplah bilamana perkumpulan itu hanya
bersifat pasif, tetapi harus juga bertindak positif ialah mengusahakan
agar anggota-anggotanya memenuhi kewajiban-kewajiban mereka.
Aliran a, bilamana dimuat di dalam undang-undang, dapat
menghalang-halangi kemajuan perjanjian-perburuhan karena mungkin banyak
perkumpulan takut mengadakan perjanjian-perburuhan.
Karena itu dalam pasal 4 ayat 2 hanya ditetapkan bahwa perkumpulan
hanya bertanggung-jawab atas anggota-anggotanya, bilamana hal ini
ditentukan di dalam perjanjian-perburuhan itu sendiri. Jadi terserah
kepada masing-masing pihak.
Pasal 6, 7 dan 8
Setelah pasal 5 menentukan kewajiban yang ditanggung oleh perkumpulan
yang menyelenggarakan perjanjian-perburuhan, maka pasal 6, 7 dan 8
menetapkan kedudukan anggota-anggota terhadap perjanjian-perburuhan itu
yang diselenggarakan oleh perkumpulan mereka masing-masing.
Sesuatu azas hukum yang pokok ialah bahwa sesuatu perjanjian hanya
berlaku antara pihak-pihak yang menyelenggarakan perjanjian itu,
sekali-kali tidak juga berlaku untuk orang ketiga.
Karena itu harus ditentukan dengan tegas dalam undang-undang bahwa:
1.semua anggota suatu perkumpulan yang menyelenggarakan perjanjian-perburuhan terikat oleh perjanjian itu (pasal 6 ayat 1);
2.mereka yang kemudian menjadi anggota (anggota-baru) suatu
perkumpulan yang menyelenggarakan perjanjian-perburuhan, menjadi terikat
oleh perjanjian itu (pasal 6 ayat 1);
3.mereka yang kehilangan keanggotaannya, baik karena dipecat maupun
keluar atas permintaan sendiri, tetap terikat hingga waktu berlakunya
perjanjian itu habis, sungguhpun apabila waktu itu diperpanjang, atau
sampai perjanjian itu diubah (pasal 7);
4.mereka tetap terikat juga bilamana perkumpulan mereka dibubarkan (pasal 8).
Ad. 1 dan 2. Telah terang.
Perkataan “tersangkut dalam perjanjian itu” umpamanya demikian:
Serikat buruh pabrik gula menyelenggarakan perjanjian- *791
perburuhan untuk anggota-anggota buruh teknik. Perjanjian ini tidak
berlaku bagi anggota-anggota buruh pengangkutan karena mereka ini tidak
“tersangkut dalam perjanjian itu”. Maksud ayat 2 pasal 6 ialah bahwa
seorang anggota yang melanggar, bertanggungjawab terhadap perkumpulannya
sendiri dan terhadap perkumpulan yang menjadi pihak lainnya.
Ad. 3.Pasal 7 ini ialah untuk mencegah keluarnya seorang anggota yang
bermaksud menghindarkan diri dari kewajiban-dewajiban yang berlaku
baginya. Umpamanya seorang majikan keluar dari perkumpulan majikan,
hanyalah disebabkan untuk mencapai maksudnya mengadakan
perjanjian-perjanjian-kerja yang lebih menguntungkan baginya.
Ad. 4. Walaupun pasal 7 ayat 1 telah menentukan bahwa, bekas
anggota-anggota tetap terikat oleh pejanjian-perburuhan dan azas hukum
perkumpulan menyatakan bahwa sesuatu perkumpulan yang dibubarkan masih
harus bertanggung-jawab atas, penyelesaian kewajiban-kewajibannya,
tetapi perlu hal itu ditentukan dengan tegas dalam pasal 8, dengan
maksud untuk menghilangkan keragu-raguan.
Pasal 9
(1) Sebagai telah dikatakan pada penjelasan pasal 1 ayat 1,
perjanjian-perburuhan ialah peraturan induk atau peraturan dasar bagi
perjanjian-kerja antara seorang buruh dan seorang majikan yang terikat
oleh perjanjian-perburuhan itu. Pasal 9 ini sekarang menentukan dengan
tegas kedudukan kedua jenis perjanjian itu dan perhubungannya antara
satu dengan lainnya. Karena kedudukan perjanjian-perburuhan sebagai
aturan dasar itu, maka aturan dalam perjanjian-kerja yang bertentangan
dengan sendirinya tidak berlaku. Karena aturan-aturan yang bertentangan
itu tidak berlaku, maka perlulah dinyatakan dengan tegas manalah
gantinya yang berlaku, karena jika tidak demikian maka dapatlah
diartikan bahwa soal itu tidak diatur lagi dan bahwa yang dirugikan
hanya dapat minta pengganti kerugian, tidak juga untuk memenuhi aturan
yang dimuat dalam perjanjian-perburuhan.
Pasal 9 ini juga penting karena justru oleh ketentuan itu yang
dirugikan (buruh) dapat memajukan sendiri perkaranya di muka pengadilan.
Jika ketentuan tersebut dalam pasal 9 itu tidak ada, maka yang dapat
bertindak menurut pasal 13 hanyalah yang menjadi pihak dalam
perjanjian-perburuhan.
(2) Sesuatu hal yang tidak sah adalah mutlak (absoluut) tetapi tidak
semua orang dapat memajukannya di muka pengadilan karena sesuatu azas
hukum acara menetapkan bahwa untuk dapat memajukan sesuatu hal dimuka
pengadilan, yang memajukannya itu harus mempunyai kepentingan. Untuk
menetapkan bahwa kedua belah pihak dalam perjanjian-perburuhan dapat
mengajukannya dengan tidak usah menyatakan kepentingannya itulah maksud
ayat 2 ini.
Pasal 10
Pasal 9 di antaranya menentukan bahwa bilamana aturan di dalam
perjanjian-kerja bertentangan dengan aturan di dalam perjanjian- *792
perburuhan maka aturan perjanjian-perburuhan yang berlaku.
Pasal 10 inilah sekarang yang menentukan bahwa aturan-aturan di dalam
perjanjian-perburuhan itu jugalah yang akan berlaku, bilamana
perjanjian-kerja tidak memuat aturan-aturan itu.
Pasal 11
(1) Sebagai pihak yang kuat, majikan oleh Menteri yang diserahi
urusan perburuhan dapat diwajibkan menetapi aturan-aturan
perjanjian-perburuhan juga bilamana dia berhubungan dengan buruh yang
tidak terikat oleh perjanjian-perburuhan. Hal itu perlu agar majikan itu
tidak dapat menerima buruh misalnya dengan upah yang lebih rendah dan
sebagainya.
Di dalam penjelasan pasal 6, 7 dan 8 dikatakan bahwa suatu azas hukum
yang pokok ialah bahwa suatu perjanjian hanya berlaku antara mereka
yang menyelenggarakan perjanjian itu, sekali-kali tidak juga berlaku
untuk orang ketiga. Karena itu maka ketiga pasal ini menentukan bahwa
perjanjian-perburuhan yang diselenggarakan oleh pihak serikat buruh
dengan majikan berlaku juga untuk anggota-anggota serikat itu. Ketentuan
itu telah selayaknya, karena maksud perjanjian itu ialah justru
menetapkan hal-hal yang berlaku untuk anggota. Jadi ketentuan itu ialah
akibat langsung dari sifat perjanjian-perburuhan.
Lain halnya dengan kepastian dalam pasal 11 ini. Berlakunya
perjanjian-perburuhan bagi orang ketiga yang bukan anggota serikat
buruh, ialah akibat yang langsung timbul karena perjanjian itu. Karena
itu agak tidak selayaknya kepastian itu ditetapkan di sini.
Tetapi justru untuk melindungi buruh yang belum menjadi anggota perlu
kepastian itu diadakan. Di dalam praktek buruh barulah menjadi anggota
suatu serikat buruh bilamana dia sudah bekerja pada perusahaan yang
berhubungan dengan serikat buruh itu. Kepastian itu sifatnya tidak lagi
semata-mata mengatur (regelend) tetapi perintah (dwingend).
Di atas tidak diterangkan bahwa perintah ini berdasarkan atas maksud
melindungi buruh yang belum menjadi anggota, supaya dia juga merasakan
kemajuan yang akan dicapai oleh serikat buruh, yang dia belum menjadi
anggotanya.
Mungkin perlindungan ini menimbulkan pikiran kurang setuju di pihak
pergerakan buruh, karena mungkin melemahkan pergerakan. Tetapi mengingat
rasa peri-kemanusiaan dan rasa solidaritet kaum buruh pada umumnya,
perlindungan itu akan mendapat sambutan gembira, lagi pula sebagai telah
dikatakan di atas di dalam prakteknya buruh baru masuk menjadi anggota
kalau sudah bekerja. Hal ini sebagian besar terletak pada kebijaksanaan
pemimpin pergerakan.
(2) Karena ayat 2 ini Menteri dapat memaksakan suatu
perjanjian-perburuhan kepada buruh-buruh dan majikan-majikan yang tidak
terikat oleh perjanjian itu. Perjanjian itu harus dipenuhi oleh kedua
golongan itu. Tetapi lapang usahanya harus sama. Misalnya
perjanjian-perburuhan antara serikat buruh perusahaan batik dengan
perusahaan batik, dapat dipaksakan *793 kepada buruh dan majikan dari
perusahaan batik lainnya.
Bilamana Menteri itu akan mempergunakan haknya tergantung pada
keadaan, misalnya perjanjian-perburuhan perusahaan batik di Jakarta,
sukar untuk dipaksakan pada perusahaan batik di desa di pegunungan.
(3) Di dalam Peraturan Pemerintah nanti dapat dimuat ketentuan bahwa
inisiatif untuk memaksakan suatu perjanjian-perburuhan itu dapat
dimajukan pula oleh majikan-majikan yang menyelenggarakan perjanjian itu
atau oleh majikan-majikan yang bersangkutan dan akhirnya oleh serikat
buruh yang menyelenggarakan perjanjian itu atau serikat buruh dari
perusahaan itu sendiri.
Pasal 12
Pasal 11 pokoknya melarang seorang majikan menyelenggarakan
perjanjian-kerja dengan buruh yang tidak terikat yang bertentangan
dengan aturan perjanjian-perburuhan, sedangkan maksud pasal 12 ini ialah
menyempurnakan pasal itu dengan menyatakan bahwa seorang majikan atau
perkumpulan majikan yang telah mengadakan perjanjian-perburuhan dengan
sesuatu serikat buruh dilarang mengadakan perjanjian-perburuhan baru
dengan serikat buruh yang lain yang bertentangan dengan
perjanjian-perburuhan yang telah diselenggarakan itu.
Pasal 13
Pasal 13 ini mengatur akibat dari pelanggaran-pelanggaran yang
dilakukan oleh sesuatu pihak pada perjanjian-perburuhan atau
anggota-anggotanya seperti juga pasal 9.
Pasal 9 menetapkan bahwa buruh dapat bertindak sendiri hanya bilamana
perjanjian-kerjanya memuat aturan yang bertentangan dengan aturan dari
perjanjian-perburuhan. Hak ini adalah akibat dari
pelanggaran-perjanjian-kerjanya, sendiri yang harus sesuai dengan
aturan-aturan dari perjanjian-perburuhan, sekali-dali bukan akibat dari
perjanjian-perburuhan.
Pelanggaran-pelanggaran yang langsung mengenai perjanjian perburuhan
tidak dapat dituntut oleh buruh sendiri, melainkan harus dituntut oleh
serikat buruhnya. Ketentuan ini adalah penting karena kedudukan serikat
itu baik psychologis, maupun ekonomis tidak begitu lemah terhadap
majikan daripada kedudukan buruh masing-masing, yang pada umumnya kurang
cakap dan kurang berani berhadapan dengan majikan.
Untuk mencegah jangan sampai serikat buruh atau buruh perseorangan
sengaja berbuat bertentangan dengan maksud perjanjian-perburuhan maka
majikan berhak menuntut serikat buruh atau buruh sendiri.
Pasal 14
Ketentuan dalam pasal ini perlu dimuat karena kerugian dari
perkumpulan sebagai akibat pelanggaran acapkali tidak dapat dinyatakan
dengan uang.
Tidak ditentukan di sini bahwa pengadilan yang menetapkan *794
pengganti kerugian itu, maksudnya memberi kelonggaran kepada kedua belah
pihak mengatur di dalam perjanjian-perburuhan supaya hal itu umpamanya
ditetapkan oleh sebuah panitia.
Pasal 15
Pasal ini memberi kesempatan kepada kedua belah pihak untuk
menetapkan sesuatu denda yang tertentu (boete-beding) di dalam
perjanjian mereka, sedangkan denda itu dapat diubah oleh pengadilan
bilamana kewajiban yang dikenakan denda itu sebagian telah dipenuhi.
Ketentuan dalam ayat-ayat ini diperlukan untuk menjaga keadilan.
Pasal 16 dan 17
Maksud perjanjian-perburuhan ialah untuk mencapai stabliitet di dalam
syarat-syarat bekerja (arbeidsvoorwaarden). Makin lama stabilitet ini
dapat dipertahankan makin baik akibatnya bagi dunia perburuhan.
Dipandang dari sudut itu, maka tidak pada tempatnyalah menentukan batas
waktu berlakunya perjanjian-perburuhan.
Tetapi di samping itu harus juga diperhatikan bahwa mereka yang
menyelenggarakan perjanjian itu tidak selalu dapat menduga hal-hal yang
akan terjadi di kemudian hari. Aturan-aturan yang sekarang kelihatannya
sempurna, mungkin akan ternyata kelak ada kekurangan-kekurangan atau
memuat sesuatu yang menjerat mereka, disebabkan oleh perubahan-perubahan
keadaan.
Lebih-lebih pada zaman sekarang ini, pada waktu harga barang-barang
dan tingginya upah sangat goncang, jauh daripada tetap, mudah dimaklumi
bahwa perjanjian-perburuhan yang diselenggarakan untuk waktu lebih dari
satu tahun, sukar dapat dipertahankan. Justru karena itu di samping
pasal 16 ditetapkan dalam pasal 17 bahwa masing-masing pihak
sewaktu-waktu dapat minta kepada pengadilan untuk membatalkan perjanjian
mereka.
Alasan yang agak memaksa (gewichtige redenen) adalah keadaan-keadaan
yang bilamana tidak diperhatikan menimbulkan rasa tidak adil. Walaupun
bagi pengadilan agak sukar untuk menentukan keadaan apakah yang agak
memaksa itu, hal ini tidak dapat dipergunakan sebagai alasan untuk
membiarkan mereka yang terjerat oleh sesuatu perjanjian yang oleh mereka
sendiri dirasakan sebagai tidak adil lagi.
Pasal 18
Walaupun di dalam perjanjian itu telah ditetapkan waktu berlakunya
perjanjian itu, di dalam perjanjian masih harus dimuat juga ketentuan
bahwa perjanjian itu akan habis apabila waktu itu telah berakhir.
Jika hal ini tidak ditentukan dan pernyataan pengakhiran tidak
diberikan, maka perjanjian itu dianggap diperpanjang. Ketentuan ini
perlu agar yang berkepentingan mengetahui benar-benar bilamana
perjanjian mereka berakhir berlaku, jangan sampai mereka nanti dengan
sekonyong-konyong menjumpai kenyataan bahwa antara mereka perjanjian itu
tidak lagi berlaku.
Pasal 19
Cara menyatakan pengakhiran ini perlu ditetapkan untuk mencegah
kesulitan-kesulitan yang mungkin timbul berhubung dengan pernyataan itu.
Pasal 20
Kepada semua pihak pada perjanjian-perburuhan itu diberikan
kesempatan untuk menentukan bahwa pernyataan itu hanya berlaku untuk
pihak yang mengatakannya dan bahwa perjanjian masih tetap berlaku bagi
pihak lain-lainnya.
Pasal 21
Aturan ini ialah aturan peralihan. Jika perjanjian-perburuhan yang
telah ada pada hari undang-undang ini berlaku diubah, maka selanjutnya
harus diturut aturan-aturan dari undang-undang ini.
Perjanjian-perburuhan itu tidak dapat diperpanjang atau dianggap
diperpanjang. Yang berkepentingan harus menyelenggarakan
perjanjian-perburuhan baru menurut undang-undang ini.
——————————–
CATATAN
No. 598a.SERIKAT BURUH. MAJIKAN. PERJANJIAN PERBURUHAN. Penjelasan
Undang-undang No. 21 tahun 1954, tentang perjanjian perburuhan antara
serikat buruh dan majikan.
RALAT.
Memori penjelasan Undang-undang No. 21 tahun 1954, tentang
“perjanjian Perburuhan Antara Serikat Buruh dan Majikan”, yang dimuat
dalam Tambahan Lembaran Negara No. 598, mulai dari kepalanya pada
halaman 1 hingga kata “ini” dalam kalimat kedua, alinea pertama pada
halaman 12, dibatalkan seluruhnya dan diganti dengan tekst baharu
seperti yang tercantum di bawah ini :
SARIKAT BURUH. MAJIKAN. PERJANJIAN PERBURUHAN. Penjelasan
Undang-undang No. 21 tahun 1954, tentang perjanjian perburuhan antara
serikat buruh dan majikan.
Umum :
1.Undang-undang yang mengatur suatu perjanjian antara dua belah pihak
pada pokoknya mengakui adanya dan berdasarkan atas kemauan dari kedua
belah pihak itu untuk mendapat persetujuan tentang apa yang
dikehendakinya. Dengan kata lain : adanya suatu keleluasaan bersepakat
(contractvrijheid). Suatu perjanjian perburuhan tak ada gunanya dan
tidak pada tempatnya, jika segala sesuatu ditentukan dan ditetapkan oleh
Pemerintah saja.
2.Tetapi walaupun demikian keleluasaan itu harus dibatasi, yakni
hanya di dalam lingkungan apa yang oleh Pemerintah dianggap layak. Sebab
Pemerintah memegang teguh tujuannya untuk melindungi siapa yang lemah,
agar tercapai sesuatu imbangan yang mendekatkan masyarakat kita kepada
suatu tujuan negara kita menjamin penghidupan yang layak bagi *796
kemanusiaan untuk tiap-tiap warga negara. Antara lain harus diperhatikan
ketentuan-ketentuan yang dimuat dalam, Undang-undang Kerja Tahun 1948″.
3.Dipandang dari sudut perlindungan itu. maka Undang-undang ini
merupakan suatu lanjutan, karena dengan Undang-undang ini buruh diberi
hak untuk bersama-sama (collectief) dengan jalan perwakilan menuju ke
arah tingkat yang lebih tinggi.
4.Perjanjian perburuhan (collectieve arbeidsovereenkomst) yang telah
diselenggarakan oleh serikat buruh itu, tidak dapat diabaikan begitu
saja oleh seorang buruh yang mengadakan perjanjian kerja (individueele
arbeidsovereenkomst) (pasal 9 ayat 1). Dan perjanjian perburuhan yang
sangat manfaat bagi buruh, oleh Menteri Perburuhan dapat dipaksakan
kepada majikan-majikan lainnya untuk dilaksanakan di dalam perusahaannya
masing-masing (pasal 11 ayat 1 dan 2).
5.Selanjutnya Undang-undang ini mengatur akibat-akibat dari tindakan
serikat buruh terhadap anggauta-anggautanya, hubungan anggauta-anggauta
itu dengan pihak lainnya pada perjanjian itu, hubungan suatu perjanjian
perburuhan dengan perjanjian kerja, hubungan suatu perjanjian perburuhan
dengan perjanjian perburuhan lainnya, dan sebagainya. Semua itu
mengenai soal-soal hukum yang dengan jelas diterangkan di dalam
penjelasan pasal demi pasal. Sekedar sebagai pegangan perlu diterangkan
apa yang dimaksudkan dengan beberapa istilah yang umum. Dengan serikat
buruh tidak hanya dimaksudkan suatu serikat buruh pada suatu perusahaan
atau suatu lapang usaha ataupun suatu buruh dari suatu keahlian (vak),
melainkan juga gabungan dari beberapa atau berbagai-bagai buruh.
Buruh ialah seorang yang melakukan pekerjaan di bawah pimpinan
majikan untuk sesuatu waktu dengan menerima upah, sedang majikan ialah
seorang pada siapa buruh itu bekerja.
Pasal Demi Pasal Pasal 1.
(1)Perjanjian perburuhan ialah peraturan induk bagi perjanjian kerja
antara seorang anggauta serikat buruh pada satu pihak dengan seorang
majikan atau seorang anggauta perkumpulan majikan pada pihak yang lain,
baik yang sudah maupun yang belum diselenggarakan. Serikat-serikat buruh
hanya dapat menyelenggarakan perjanjian perburuhan jika telah didaftar
di Kementerian Perburuhan.
Kata “pada umumnya” memberi kesempatan kepada kedua belah pihak untuk
juga memuat hal-hal yang bukan semata-mata mengenai syarat-syarat
perburuhan, umpamanya mengadakan panitya, terdiri dari anggauta-anggauta
buruh dan majikan) untuk mengawasi dijalankannya itu. Dengan demikian
maka kedua pihak merdeka mengisi perjanjian. Cara yang lain, yakni
menentukan satu hal demi satu hal apa yang boleh diatur di dalam
perjanjian perburuhan tidak dapat dipergunakan, karena agak kaku, yang
pada hari kemudian mungkin menghalang-halangi kemajuan perjanjian
perburuhan. Kemerdekaan kedua belah pihak tersebut hanya dibatasi dalam
*797 hal-hal tersebut dalam ayat 3. “Di dalam perjanjian kerja” berarti
sebagai telah dikatakan di atas, bahwa perjanjian Perburuhan yang pada
sesuatu waktu diselenggarakan itu tidak hanya berlaku untuk perjanjian
kerja yang dikemudian hari akan diselenggarakan, melainkan juga untuk
perjanjian kerja yang sudah diselenggarakan pada waktu itu.
(2)Disamping perjanjian kerja, yang pada pokoknya mengenai pekerjaan
yang dijalankan oleh buruh di bawah pimpinan majikan, untuk sesuatu
waktu dengan menerima upah terdapat pula : pertama perjanjian pekerjaan
borongan yang menyatakan pihak yang kesatu, pemborong, berjanji untuk
pihak yang lain, yang memborongkan, dengan harga yang tertentu
menghasilkan suatu buah pekerjaan yang telah ditetapkan, umpamanya
membuat rumah, kursi, dan lain-lain dan kedua perjanjian melakukan
sesuatu pekerjaan tertentu yang menyatakan bahwa pihak pertama berjanji
melakukan sesuatu pekerjaan dengan upah untuk pihak yang lain, umpamanya
antara seorang dokter dengan yang berobat, dan dalam hal itu kedua
macam pekerjaan itu tidak dilakukan dibawah pimpinan majikan, sehingga
dalam ayat 2 ini perlu ditentukan bahwa perjanjian perburuhan, dapat
juga diselenggarakan untuk pekerjaan tertentu, sesuatu-nya semata-mata
untuk menghilangkan keragu-raguan tentang dapat diselenggarakan atau
tidaknya perjanjian perburuhan bagi pekerjaan borongan dan perjanjian
melakukan sesuatu pekerjaan tertentu.
(3)Bahwasanya aturan-aturan yang bertentangan dengan hukum tentang
ketertiban umum atau dengan kesusilaan itu tidak sah, sudah selayaknya,
karena itu tidak perlu di sini diterangkan panjang lebar. Sebabnya
ketentuan ini didapat pada ayat 4 itu hanyalah untuk menegaskan sekali
lagi adanya azas (beginsel) itu dalam hukum perdata kita.
Larangan lainnya semata-mata ditujukan untuk menjaga timbulnya kedudukan yang bersifat monopolistis dari :
Serikat buruh yang memaksa seorang majikan untuk hanya menerima
umpamanya buruh keristen, buruh-buruh warga negara Indonesia, buruh
bangsa asing, buruh berhaluan sosialis atau buruh yang menjadi anggauta
dari perkumpulan A atau menolak umpamanya buruh Islam, buruh warga
negara Indonesia, buruh berhaluan Kominis atau buruh yang menjadi
anggauta dari perkumpulan B; majikan yang memaksa buruh untuk hanya
bekerja atau tidak boleh bekerja umpamanya pada majikan Keristen,
majikan warganegara Indonesia, majikan bangsa asing, majikan berhaluan
sosial atau majikan yang menjadi anggauta dari perkumpulan A.
Pasal 2.
(1)Karena pentingnya akibat perjanjian itu, maka dimintakan bentuk
yang tertentu. Yang dimaksud dengan surat resmi (authentiek) ialah surat
yang dibuat oleh orang atau pegawai yang berhak membuatnya umpamanya
notaris, sedang surat yang ditanda tangani oleh kedua belah pihak
(onderhandsche akte) ialah surat yang justru memuat perjanjian
perburuhan. (2)Cukup, jelas.
Pasal 3.
Karena perjanjian yang diselenggarakan itu berlaku buat
anggauta-anggauta maka perlu supaya isinya diberitahukan kepada mereka.
Caranya terserah kepada perkumpulan yang bersangkutan apakah dengan
lisan ataukah dengan memberikan turunan surat perjanjian kepada
anggauta-anggautanya.
Maksud pasal ini terutama ialah bahwa tidak tahunya seorang anggauta tidak dapat diajukan kepada pihak yang lain.
Pemberitahuan itu sebetulnya tidak berat bagi perkumpulan yang
bersangkutan karena pada umumnya anggauta-anggauta telah mengetahui pada
waktu menyetujuinya di dalam rapat anggauta.
Hukuman pelanggaran ini adalah suatu soal antara anggauta dengan
perkumpulannya (intern) yang harus diatur dalam peraturan dasarnya.
Pasal 4.
Mengenai kewajiban dan tanggung-jawab perkumpulan atas
anggauta-anggautanya yang harus memenuhi aturan-aturan dalam perjanjian
perburuhan, terdapat dua aliran yang sangat berlainan.
a.perkumpulan tersebut menanggung dengan sepenuhnya bahwa
anggauta-anggautanya akan memenuhi semua aturan-aturan itu, dan
perkumpulanlah yang bertanggung jawab bilamana anggauta-anggauta itu
melanggar perjanjian perburuhan.
b.perkumpulan tidak ikut campur dalam urusan aturan-aturan yang berlaku
bagi anggauta-anggautanya. Pelanggaran oleh anggauta-anggautanya
bukanlah tanggungannya. Pasal ini mengambil jalan tengah.
Aliran b yang menyatakan perkumpulan sedikitpun tidak bertanggung
jawab, memungkinkan perkumpulan dengan secara diam-diam
menghalang-halangi anggauta-anggautanya memenuhi kewajiban-kewajiban
mereka, tak dapat diturut karena ayat 1 mewajibkan perkumpulan
mengusahakan agar anggauta-anggautanya memenuhi kewajiban-kewajiban
mereka. Dengan demikian tidak cukuplah bilamana perkumpulan itu hanya
bersifat passief, tetapi harus juga bertindak actief ialah mengusahakan
agar anggauta-anggautanya memenuhi kewajiban-kewajiban mereka. Aliran a,
bilamana dimuat dalam Undang-undang, dapat menghalang-halangi kemajuan
perjanjian perburuhan karena mungkin banyak perkumpulan takut mengadakan
perjanjian perburuhan. Karena itu dalam ayat 2 hanya ditetapkan bahwa
perkumpulan hanya bertanggung jawab atas anggauta-anggautanya bilamana
hal ini ditentukan didalam perjanjian perburuhan itu sendiri. Jadi
terserah kepada masing-masing pihak.
Pasal 5.
Perjanjian perburuhan adalah salah satu usaha untuk menjernihkan
suasana dalam perusahaan. Apabila itu sudah tercapai, tujuan untuk
menghasilkan sebanyak-banyaknya harus segera dikejar. Oleh sebab itu
majikan harus memenuhi kewajibannya dan buruh harus sedikit-dikitnya
memberi minimum arbeids-prestatie.
Pasal 6, 7 dan 8.
Setelah pasal 4 menentukan kewajiban yang ditanggung oleh perkumpulan
yang menyelenggarakan perjanjian perburuhan, maka pasal 6, 7 dan 8
menetapkan kedudukan anggauta-anggauta terhadap perjanjian perburuhan
itu yang diselenggarakan oleh perkumpulan mereka masing-masing.
Sesuatu azas hukum yang pokok ialah bahwa sesuatu perjanjian hanya
berlaku antara pihak-pihak yang menyelenggarakan perjanjian itu, dan
tidak berlaku untuk orang ketiga.
Karena itu harus ditentukan dengan tegas dalam Undang-undang bahwa :
1.semua anggauta suatu perkumpulan yang menyelenggarakan perjanjian perburuhan terikat oleh perjanjian itu (pasal 6 ayat 1);
2.mereka yang kemudian menjadi anggauta (anggauta baru) suatu
perkumpulan yang menyelenggarakan perjanjian perburuhan, menjadi terikat
oleh perjanjian itu (pasal 6 ayat 1);
3.mereka yang kehilangan keanggautaannya, baik karena dipecat maupun
keluar atas permintaan sendiri, pada azasnya tetap terikat hingga waktu
berlakunya perjanjian itu habis (pasal 7);
4.mereka tetap terikat juga bilamana perkumpulan mereka dibubarkan (pasal 8). Ad 1 dan 2 Cukup jelas.
Maksud perkataan “tersangkut dalam perjanjian itu” (pasal 6 ayat 1) umpamanya demikian :
Serikat buruh paberik gula menyelenggarakan perjanjian perburuhan
untuk anggauta-anggauta buruh tehnik. Perjanjian ini tidak berlaku bagi
anggauta-anggauta buruh pengangkutan karena mereka ini tidak “tersangkut
dalam perjanjian itu”. Maksud pasal 6 ayat (2) ialah bahwa seorang
anggauta yang melanggar, bertanggung jawab terhadap perkumpulannya
sendiri dan terhadap perkumpulan yang menjadi pihak lainnya.
Ad 3. Pasal 7 ini ialah untuk mencegah keluarnya seorang anggauta
yang bermaksud menghindarkan diri dari kewajiban-kewajiban yang berlaku
baginya. Umpamanya seorang majikan keluar dari perkumpulan majikan,
hanyalah disebabkan untuk mencapai maksudnya mengadakan
perjanjian-perjanjian kerja yang lebih menguntungkan baginya.
Ad 4. Walaupun pasal 7 ayat 1 telah menentukan bahwa, bekas
anggauta-anggauta tetap terikat oleh perjanjian perburuhan dan azas
hukum perkumpulan menyatakan bahwa suatu perkumpulan yang dibubarkan
masih harus bertanggung jawab atas penyelesaian kewajiban-kewajibannya,
tetapi perlu hal itu ditentukan dengan tegas dalam pasal 8 dengan maksud
untuk menghilangkan keragu-raguan.
Pasal 9.
(1) Sebagai telah dikatakan pada penjelasan pasal 1 ayat 1,
perjanjian perburuhan ialah peraturan induk atau peraturan dasar bagi
perjanjian kerja antara seorang buruh dan seorang majikan yang terikat
oleh perjanjian perburuhan itu.
Pasal 9 ini sekarang menentukan dengan tegas kedudukan kedua jenis
perjanjian itu dan perhubungannya antara satu dengan lainnya. Karena
kedudukan perjanjian perburuhan sebagai aturan dasar itu, maka aturan
dalam perjanjian kerja yang bertentangan dengan sendirinya tidak
berlaku. Karena aturan-aturan yang bertentangan itu tidak berlaku, maka
perlulah dinyatakan dengan tegas manalah gantinya yang berlaku, karena
jika tidak demikian maka dapatlah diartikan bahwa soal itu tidak diatur
lagi dan bahwa yang dirugikan hanya dapat minta pengganti kerugian,
tidak juga untuk memenuhi aturan yang dimuat dalam perjanjian
perburuhan.
Pasal 9 ini juga penting karena justru oleh ketentuan itu yang
dirugikan (buruh) dapat memajukan sendiri perkaranya dimuka pengadilan.
Jika ketentuan tersebut dalam pasal 9 itu tidak ada, maka yang dapat
bertindak menurut pasal 13 hanyalah yang menjadi pihak dalam perjanjian
perburuhan.
(2) Sesuatu hal yang tidak sah adalah mutlak (absoluut) tetapi tidak
semua orang dapat memajukannya dimuka pengadilan karena sesuatu azas
dari hukum acara menetapkan bahwa untuk dapat memajukan sesuatu hal
dimuka pengadilan yang memajukannya itu harus mempunyai kepentingan.
Untuk menetapkan bahwa kedua belah pihak dalam perjanjian perburuhan
dapat memajukannya dengan tidak usah menyatakan kepentingannya itulah
maksud ayat (2) ini.
Pasal 10.
Pasal 9 diantaranya menentukan bahwa bilamana aturan di dalam
perjanjian kerja bertentangan dengan aturan di dalam perjanjian
perburuhan, maka aturan perjanjian perburuhan yang berlaku.
Pasal 10 inilah sekarang yang menentukan bahwa aturan-aturan di dalam
perjanjian perburuhan itu jugalah yang akan berlaku, bilamana
perjanjian kerja tidak memuat aturan-aturan itu.
Pasal 11.
(1) Sebagai pihak yang kuat, majikan oleh Menteri Perburuhan dapat
diwajibkan menepati aturan-aturan perjanjian perburuhan juga bilamana
dia berhubungan dengan buruh yang tidak terikat oleh perjanjian
perburuhan. Hal itu perlu agar majikan itu tidak dapat menerima buruh
misalnya dengan upah yang lebih rendah dan sebagainya.
Di dalam penjelasan pasal 6, 7 dan 8 dikatakan bahwa suatu azas hukum
yang pokok ialah bahwa suatu perjanjian hanya berlaku antara mereka
yang menyelenggarakan perjanjian itu dan tidak berlaku untu orang
ketiga. Karena itu maka ketiga pasal ini menentukan bahwa perjanjian
perburuhan yang diselenggarakan oleh pihak serikat buruh dengan majikan
berlaku juga untuk anggauta-anggauta serikat itu. Ketentuan itu telah
selayaknya, karena maksud perjanjian itu ialah justru menetapkan hal-hal
yang berlaku untuk anggauta. Jadi ketentuan itu ialah akibat langsung
dari sifat perjanjian perburuhan.
Lain halnya dengan kepastian dalam pasal 11 ini. Berlakunya
perjanjian perburuhan bagi orang ketiga yang bukan anggauta serikat
buruh, ialah bukan akibat yang langsung timbul karena perjanjian itu.
Karena itu agak tidak selayaknya kepastian itu ditetapkan di sini.
Tetapi justru untuk melindungi buruh yang bukan anggauta perlu
kepastian itu diadakan. Kepastian itu sifatnya tidak lagi semata-mata
mengatur (regelend) tetapi memaksa (dwingend).
Di atas telah diterangkan bahwa perintah ini berdasarkan atas maksud
melindungi buruh bukan anggauta, supaya dia juga merasakan kemajuan yang
akan dicapai oleh serikat buruh.
Mungkin perlindungan ini menimbulkan pikiran kurang setuju di pihak
pergerakan buruh, karena mungkin melemahkan pergerakan. Tetapi mengingat
rasa perikemanusiaan dan rasa solidariteit kaum buruh pada umumnya,
perlindungan itu akan mendapat sambutan gembira.
(2) Karena ayat 2 ini Menteri dapat memaksakan suatu perjanjian
perburuhan kepada buruh-buruh dan majikan-majikan yang tidak terikat
oleh perjanjian itu. Perjanjian itu harus dipenuhi oleh kedua golongan
itu. Tetapi lapang usahanya harus sama.
Misalnya perjanjian perburuhan antara serikat buruh perusahaan batik
dengan perusahaan batik, dapat dipaksakan kepada buruh dan majikan dari
perusahaan batik lainnya.
Bilamana Menteri itu akan mempergunakan haknya tergantung pada
keadaan, misalnya perjanjian perburuhan perusahaan batik di Jakarta,
sukar untuk dipaksakan pada perusahaan batik di desa di pegunungan.
(3)Cukup jelas.
Pasal 12.
Pasal 11 pokoknya melarang seorang majikan menyelenggarakan
perjanjian kerja dengan buruh yang tidak terikat yang bertentangan
dengan aturan perjanjian perburuhan, sedangkan maksud pasal 12 ini ialah
menyempurnakan pasal itu dengan menyatakan, bahwa seorang majikan atau
perkumpulan majikan yang telah mengadakan perjanjian perburuhan dengan
sesuatu serikat buruh dilarang mengadakan perjanjian perburuhan baru
dengan serikat buruh lain yang memuat syarat-syarat kerja yang kurang
dari pada yang termuat syarat-syarat kerja yang kurang dari pada yang
termuat dalam perjanjian perburuhan yang telah diselenggarakan itu.
Pasal 13.
Pasal 13 ini mengatur akibat dari pelanggaran-palanggaran yang
dilakukan oleh sesuatu pihak pada perjanjian perburuhan atau
anggauta-anggautanya seperti juga pasal 9.
Pasal 9 menetapkan, bahwa buruh dapat bertindak sendiri hanya
bilamana perjanjian kerjanya memuat aturan yang bertentangan dengan
aturan dari perjanjian perburuhan. Hak ini adalah akibat dari
pelanggaran perjanjian kerjanya sendiri yang harus sesuai dengan
aturan-aturan dari perjanjian perburuhan, sekali-kali bukan akibat dari
perjanjian perburuhan.
Pelanggaran-pelanggaran yang langsung mengenai perjanjian perburuhan
tidak dapat dituntut oleh buruh sendiri, melainkan harus dituntut oleh
serikat buruhnya. Ketentuan ini adalah penting karena kedudukan serikat
buruh itu baik psychologisch, maupun ekonomis tidak begitu lemah
terhadap majikan dari pada kedudukan buruh masing-masing, yang pada
umumnya kurang cakap dan kurang berani berhadapan dengan majikan.
Untuk mencegah jangan sampai serikat buruh atau buruh perseorangan
segaja berbuat bertentangan dengan maksud perjanjian perburuhan maka
majikan berhak menuntut serikat buruh atau buruh sendiri.
Pasal 14.
Ketentuan dalam pasal ini perlu dimuat karena kerugian dari
perkumpulan sebagai akibat pelanggaran acapkali tidak dapat dinyatakan
dengan uang.
Tidak ditentukan di sini, bahwa pengadilan yang menetapkan pengganti
kerugian itu, maksudnya memberi kelonggaran kepada kedua belah pihak
mengatur di dalam perjanjian perburuhan supaya hal itu umpamanya
ditetapkan oleh sebuah panitya.
Pasal 15.
Pasal ini memberi kesempatan kepada kedua belah pihak untuk
menetapkan sesuatu denda yang tertentu (boete-beding) di dalam
perjanjian mereka, sedangkan denda itu dapat diubah oleh pengadilan
bilamana kewajiban yang dikenakan denda itu sebagian telah dipenuhi.
Ketentuan dalam ayat-ayat ini diperlukan untuk menjaga keadilan.
Pasal 16 dan 17.
Maksud perjanjian perburuhan ialah untuk mencapai stabiliteit didalam
syarat-syarat bekerja (arbeidsvoorwaarden). Makin lama stabiliteit ini
dapat dipertahankan makin baik akibatnya bagi dunia perburuhan.
Dipandang dari sudut itu, maka tidak pada tempatnyalah menentukan batas
waktu berlakunya perjanjian perburuhan.
Tetapi disamping itu harus juga diperhatikan, bahwa mereka yang
menyelenggarakan perjanjian itu tidak selalu dapat menduga hal-hal yang
akan terjadi dikemudian hari. Aturan-aturan yang sekarang kelihatannya
sempurna, mungkin akan ternyata kelak ada kekurangan atau memuat sesuatu
yang menjirat mereka, disebabkan oleh perubahan-perubahan keadaan.
Lebih-lebih pada jaman sekarang ini, pada waktu harga barang-barang
dan tingginya upah sangat goncang jauh dari pada tetap, mudah dimaklumi
bahwa perjanjian perburuhan yang diselenggarakan untuk waktu lebih dari
dua tahun, sukar dapat dipertahankan. Justru karena itu disamping pasal
16 ditetapkan dalam pasal 17 bahwa masing-masing pihak sewaktu-waktu
dapat minta kepada pengadilan untuk membatalkan perjanjian mereka.
Alasan yang memaksa adalah keadaan-keadaan yang bilamana tidak
diperhatikan menimbulkan rasa tidak adil. Walaupun bagi pengadilan agak
sukar untuk menentukan keadaan apakah yang memaksa itu, hal ini tidak
dapat dipergunakan sebagai alasan untuk membiarkan mereka terjirat oleh
sesuatu perjanjian yang oleh mereka sendiri dirasakan sebagai tidak adil
lagi.
Pasal 18.
Walaupun di dalam perjanjian itu telah ditetapkan waktu berlakunya
perjanjian itu, di dalam perjanjian masih harus dimuat juga ketentuan
bahwa perjanjian itu akan habis apabila waktu itu telah berakhir. Jika
hal ini tidak ditentukan dan pernyataan pengakhiran tidak diberikan,
maka perjanjian itu dianggap diperpanjang. Ketentuan ini perlu agar yang
berkepentingan mengetahui benar-benar bilamana perjanjian mereka
berakhir berlaku, jangan sampai mereka nanti dengan sekonyong-konyong
menjumpai kenyataan bahwa antara mereka perjanjian itu tidak lagi
berlaku.
Pasal 19.
Cara menyatakan pengakhiran ini perlu ditetapkan untuk mencegah
kesulitan-kesulitan yang mungkin timbul berhubung dengan pernyataan itu.
Pasal 20.
Kepada semua pihak pada perjanjian perburuhan itu diberikan
kesempatan untuk menentukan bahwa pernyataan itu hanya berlaku untuk
pihak yang menyatakannya dan bahwa perjanjian masih tetap berlaku bagi
pihak lain-lainnya.
Pasal 21.
Aturan ini ialah aturan peralihan. Jika perjanjian perburuhan yang
telah ada pada hari Undang-undang ini berlaku diubah, maka selanjutnya
harus diturut aturan-aturan dari Undang-undang ini.
Perjanjian perburuhan itu tidak dapat diperpanjang atau dianggap
diperpanjang. Yang berkepentingan harus menjelenggarakan perjanjian
perburuhan baru menurut Undang-undang ini.
Diketahui :
Sekretariat Kementerian Kehakiman,
Mr. SOEDARJO
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 21 TAHUN 1954
TENTANG
PERJANJIAN PERBURUHAN ANTARA SERIKAT BURUH DAN MAJIKAN
NOMOR 21 TAHUN 1954
TENTANG
PERJANJIAN PERBURUHAN ANTARA SERIKAT BURUH DAN MAJIKAN
Presiden Republik Indonesia,
Menimbang : bahwa perlu diadakan aturan-aturan tentang perjanjian
mengenai syarat-syarat perburuhan antara serikat buruh dengan majikan;
Mengingat : pasal 36 dan 89 Undang-undang Dasar Sementara Republik
Indonesia;
Dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat;
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG PERJANJIAN PERBURUHAN ANTARA SERIKAT BURUH DAN MAJIKAN.
Pasal 1
(1) Perjanjian tentang syarta-syarat perburuhan antara serikat buruh
dengan majikan (disingkat perjanjian perburuhan) ialah perjanjian yang
diselenggarakan oleh serikat atau serikat-serikat buruh yang telah
didaftarkan pada Kementerian Perburuhan dengan majikan, majikan-majikan,
perkumpulan atau perkumpulan-perkumpulan majikan yang berbadan hukum,
yang pada umumnya atau semata-mata memuat syarat-syarat, yang harus
diperhatikan didalam perjanjian kerja.
(2) Perjanjian perburuhan dapat juga diselenggarakan untuk pekerjaan
borongan atau untuk perjanjian melakukan sesuatu pekerjaan dan didalam
hal ini berlaku juga ketentuan-ketentuan didalam undang-undang ini
tentang perjanjian kerja, buruh dan majikan.
(3) Sesuatu atauran yang mewajibkan seorang majikan supaya hanya
menerima atau menolak buruh mewajibkan seorang buruh hanya bekerja atau
tidak boleh bekerja pada majikan dari sesuatu golongan, baik berkenaan
dengan agama, golongan warga negara atau bangsa, maupun karena keyakinan
politik atau anggota dari sesuatu perkumpulan, adalah tidak sah.
Demikian juga halnya dengan atauran-aturan yang bertentangan dengan hukum tentang ketertiban umum atau dengan kesusilaan.
Pasal 2
(1) Perjanjian perburuhan harus dibuat dengan surat resmi atau surat yang ditanda tangani oleh kedua belah pihak.
(2) Didalam Peraturan Pemerintah ditetapkan ketentuan-ketentuan tentang cara membuat dan mengatur perjanjian itu.
Pasal 3
(1)Sesuatu serikat buruh atau perkumpulan majikan yang
menyelenggarakan perjanjian perburuhan, wajib memberitahukan isi
perjanjian itu kepada anggota-anggotanya. Demikian juga bilamana oleh
kedua belah pihak dibuat keterangan-keterangan terhadap perjanjian itu.
(2) Kewajiban tersebut pada ayat 1 berlaku juga, bilamana diadakan
perubahan-perubahan didalam perjanjian perburuhan atau bilamana waktu
berlakunya diperpanjang.
Pasal 4
(1)Sesuatu serikat buruh atau perkumpulan majikan yang
menyelenggarakan perjanjian perburuhan, wajib mengusahakan agar
anggota-anggotanya memenuhi aturan-aturan yang berlaku untuk mereka.
(2) Serikat buruh atau perkumpulan majikan tersebut hanya bertanggung
jawab atas anggota-anggotanya, bilamana hal ini bitentukan didalam
perjanjian perburuhan.
Pasal 5
Majikan dan buruh yang terikat oleh perjanjian perburuhan, wajib melaksanakan perjanjian itu sebaik-baiknya.
Pasal 6
(1)Mereka yang selama waktu berlakunya perjanjian perburuhan adalah
anggota atau menjadi anggota sesuatu serikat buruh atau perkumpulan
majikan yang menyelenggarakan perjanjian tersangkut didalam perjanjian
itu, terikat oleh perjanjian itu.
(2) Mereka bertanggung jawab terhadap masing-masing pihak pada
perjanjian perburuhan didalam hal menepati segala aturan, yang telah
ditentukan bagi mereka.
Pasal 7
(1)Anggota-anggota serikat buruh atau perkumpulan majikan tetap
terikat oleh perjanjian perburuhan, meskipun telah kehilangan
keanggotaannya.
(2) Mereka tidak lagi terikat, bilamana setelah mereka kehilangan keanggotaannya, perjanjian tersebut diubah.
(3) Jika waktu berlakunya perjanjian itu diperpanjang atau dianggap
diperpanjang sesudah mereka kehilangan keanggotaan, maka mereka hanya
terikat sampai pada waktu berlakunya perjanjian itu dengan tidak
diperpanjang akan habis.
Pasal 8
Pembubaran sesuatu serikat buruh atau perkumpulan majikan yang
menyelenggarakan perjanjian perburuhan, tidak mengubah hak-hak dan
kewajiban-kewajiban yang bersangkutan dengan perjanjian tersebut.
Pasal 9
(1) Sesuatu aturan didalam perjanjian kerja antara seorang buruh dan
seorang majikan yang bertentangan dengan perjanjian perburuhan yang
mengikat kedua mereka itu, tidak sah; didalam hal itu aturan-aturan
perjanjian perburuhan yang berlaku.
(2) Hal-hal yang tidak sah itu selalu dapat diajukan oleh tiap-tiap pihak dalam perjanjian perburuhan.
Pasal 10
Bilamana suatu perjanjian kerja tidak memuat aturan-aturan yang
ditetapkan didalam perjanjian perburuhan yang mengikat buruh dan majikan
itu juga, maka aturan-aturan perjanjian perburuhan itulah yang berlaku.
Pasal 11
(1)Menteri Perburuhan, setelah mendengar lebih dahulu pertimbangan
pihak-pihak yang bersangkutan, dapat menetapkan supaya seorang majikan
yang terikat oleh sesuatu perjanjian perburuhan memenuhi sebagian atau
semua aturan-aturannya, juga bilamana dia menyelenggarakan perjanjian
kerja dengan seorang buruh yang tidak terikat perjanjian perburuhan itu.
(2) Menteri tersebut dapat pula, setelah mendengan lebih dahulu
pertimbangan pihak-pihak yang bersangkutan, menetapkan supaya sebagian
atau seluruh perjanjian perburuhan yang mengenai suatu, lapang usaha
yang tertentu, dipenuhi juga oleh buruh-buruh dan majikan-majikan dari
lapang usaha yang sama, tidak terikat oleh perjanjian perburuhan
tersebut.
(3) Didalam Peraturan Pemerintah ditetapkan aturan-aturan tentang penetapan-penetapan tersebut pada ayat 1 dan 2.
Pasal 12
Seorang majikan atau perkumpulan majikan yang terikat oleh sesuatu
perjanjian perburuhan, tidak dapat menyelenggarakan perjanjian
perburuhan dengan serikat buruh lain, yang memuat syarat-syarat kerja
yang kurang dari pada yang termuat dalam perjanjian perburuhan yang
sudah ada.
Pasal 13
(1) Sesuatu serikat buruh yang menyelenggarakan perjanjian
perburuhan, dapat minta ganti kerugian, jika pihak yang lain pada
perjanjian itu atau seorang anggotanya bertindak bertentangan dengan
kewajibannya dalam perjanjian perburuhan tidak hanya untuk kerugian yang
dideritanya sendiri, melainkan juga untuk kerugian yang diderita oleh
anggota-anggotanya.
(2) Majikan yang menyelenggarakan perjanjian perburuhan, dapat minta
ganti kerugian kepada serikat buruh atau buruh, yang sengaja berbuat
bertentangan dengan kewajibannya.
Pasal 14
Bilamana kerugian itu tidak mungkin dinyatakan dengan uang, maka
pengganti kerugian itu, ditetapkan berupa sejumlah uang atas dasar
keadilan.
Pasal 15
(1) Mengenai pengganti kerugian didalam perjanjian perburuhan, dapat
ditetapkan aturan-aturan denda, yang menyimpang dari ketentuan tersebut
dalam pasal 12 dan 13.
(2) Aturan denda ini dapat diubah oleh pengadilan, bilamana kewajiban yang dikenakan hukuman itu untuk sebagian telah dipenuhi.
Pasal 16
(1) Sesuatu perjanjian perburuhan hanya dapat diselenggarakan untuk paling lama 2 tahun.
(2) Waktu itu dapat diperpanjang dengan paling lama 1 tahun lagi.
Pasal 17
(1)Masing-masing pihak pada Perjanjian perburuhan, karena
alasan-alasan yang memaksa, dapat minta kepada pengadilan supaya
membatalkan sebagian atau seluruhnya perjanjian itu.
(2) Sesuatu aturan didalam perjanjian itu, yang mengurangi atau melenyapkan ketentuan pada ayat 1, adalah tidak sah.
Pasal 18
Walaupun sesuatu perjanjian perburuhan diselenggarakan untuk waktu
yang tertentu, maka jika didalam perjanjian itu tidak ada ketentuan yang
lain, perjanjian itu dianggap sebagai diperpanjang terus menurut untuk
waktu yang sama tetapi tidak lebih dari satu tahun, kecuali jika ada
pernyataan untuk mengakhiri. Pernyataan itu harus diberitahukan
sekurang-kurangnya satu bulan sebelum waktu yang dimaksudkan itu habis.
Pasal 19
Pernyataan mengakhiri perjanjian perburuhan harus disampaikan kepada
semua pihak dalam perjanjian itu dan hanya dapat dilakukan dengan surat
tercatat.
Pasal 20
Bilamana didalam perjanjian perburuhan tidak ada ketentuan yang lain,
maka karena pernyataan untuk mengakhiri itu, perjanjian tersebut
berhenti berlaku bagi semua pihak pada perjanjian itu.
Pasal 21
Perjanjian perburuhan yang berlaku pada hari undang-undang ini mulai
berlaku, tetap berlaku sampai pada waktu berlakunya itu habis atau
perjanjian itu diubah; didalam hal itu selanjutnya harus diturut
aturan-aturan didalam undang-undang ini.
Pasal 22
Undang-undang ini disebut “Undang-undang perjanjian perburuhan tahun 1954”.
Pasal 23
Undang-undang ini mulai berlaku pada hari diundangkan.
Agar supaya setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
undang-undang ini dengan penempatan dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia.
Disahkan di Jakarta pada tanggal 28 Mei 1954 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
SUKARNO
Diundangkan pada tanggal 12 Juni 1954 MENTERI PERBURUHAN,
S.M. ABIDIN
MENTERI KEHAKIMAN
DJODY GONDOKUSUMO
MEMORI PENJELASAN UNDANG-UNDANG ATAS UNDANG-UNDANGREPUBLIK INDONESIA
NOMOR 21 TAHUN 1954 TENTANG PERJANJIAN MENGENAI SYARAT-SYARAT PERBURUHAN
ANTARA SERIKAT BURUH DAN MAJIKAN
UMUM:
1.Undang-undang yang mengatur suatu perjanjian antara dua belah
pihak, pada pokoknya mengakui adanya dan berdasarkan atas kemauan dari
kedua belah pihak itu untuk mendapat persetujuan tentang apa yang
dikehendakinya. Dengan kata lain: adanya suatu keleluasaan bersepakat
(contractwijheid). Suatu perjanjian-perburuhan tak ada gunanya dan tidak
pada tempatnya, jika segala sesuatu ditentukan dan ditetapkan oleh
Pemerintah saja.
2.Tetapi walaupun demikian, di dalam negara kita yang bukan
kapitalistis ini, keleluasan itu harus dibatasi, yakni hanya di dalam
lingkungan apa yang oleh Pemerintah dianggap layak. Sebab Pemerintah
memegang teguh tujuannya untuk menlindungi siapa yang lemah, agar
tercapai sesuatu imbangan yang mendekatkan masyarakat kita kepada suatu
tujuan negara kita menjamin penghidupan yang layak bagi kemanusiaan
untuk tiap-tiap warganegara. Antara lain harus diperhatikan
ketentuan-detentuan yang dimuat didalam Undang-undang Kerja
(Undang-undang No. 1 tahun 1951).
3. Dipandang dari sudut perlindungan itu, maka undang-undang ini
merupakan suatu lanjutan, karena dengan undang-undang ini buruh diberi
hak untuk bersama-sama (collectieve) dengan jalan perwakilan menuju ke
arah tingkat yang lebih tinggi. Lain daripada itu, Undang-undang ini
memberikan kepada serikat buruh yang terdaftar di Kementerian Perburuhan
kemampuan untuk bertindak di dalam lingkungan lapangan hukum *787
perjanjian-perburuhan. Ketentuan ini perlu karena undang-undang yang
memberikan kedudukan pendiri-hukum (rechtssubject) kepada serikat buruh
belum ada. Untuk memberikannya kedudukan ini dengan undang-undang ini
agak sukar dilakukan karena: pertama bukan tempatnya dan kedua belum
menyelami dengan seksama bagaimana akibat-akibatnya bagi serikat buruh
dalam pertumbuhan sekarang ini.
4.Perjanjian-perburuhan (collectieve arbeidsovereenkomst) yang telah
diselenggarakan oleh serikat buruh itu tidak dapat diabaikan dengan
begitu saja oleh seorang buruh yang mengadakan perjanjian-kerja
(individueele arbeidsovereenkomst) (pasal 9 ayat 1). Dan
perjanjian-perburuhan yang sangat manfaat bagi buruh, oleh Menteri
Perburuhan dapat dipaksakan kepada majikan-majikan lainnya untuk
dilaksanakan di dalam perusahaannya masing-masing (pasal 11 ayat 1 dan
2).
5.Selanjutnya undang-undang ini mengatur akibat-akibat dari tindakan
serikat buruh terhadap anggota-anggotanya, hubungan anggota-anggota itu
dengan pihak lainnya pada perjanjian itu, hubungan suatu
perjanjian-perburuhan dengan perjanjian kerja hubungan suatu
perjanjian-perburuhan dengan perburuhan lainnya dan sebagainya. Semua
itu mengenai soal-soal hukum (juridisch) yang dengan jelas diterangkan
di dalam penjelasan pasal demi pasal. Sekedar sebagai pegangan perlu
diterangkan apa yang dimaksudkan dengan beberapa istilah yang umum.
Dengan serikat buruh tidak hanya dimaksudkan suatu serikat buruh pada
suatu perusahaan atau suatu lapang usaha, ataupun suatu serikat buruh
dari suatu keahlian (vak), melainkan juga gabungan dari beberapa atau
berbagai-bagai serikat buruh. Buruh ialah seorang yang melakukan
pekerjaan di bawah pimpinan majikan untuk sesuatu waktu dengan menerima
upah, sedang majikan ialah seorang pada siapa buruh itu bekerja.
Pasal demi pasal
Pasal 1
(1) Perjanjian-perburuhan ialah peraturan induk bagi perjanjian kerja
antara seorang anggota serikat buruh pada satu pihak dengan seorang
majikan atau seorang anggota perkumpulan majikan pada pihak yang lain,
baik yang sudah maupun yang belum diselenggarakan. Serikat-serikat buruh
hanya dapat menyelenggarakan perjanjian-perburuhan jika telah didaftar
di Kementerian Perburuhan. Dengan pernyataan ini undang-undang ini
berkehendak memberikan kemampuan kepada serikat buruh untuk bertindak
dalam hukum, yakni bertindak sebagai penyelenggara perjanjian-perburuhan
ini dan di dalam hal-hal yang ditentukan di dalam undang-undang ini.
Kata “pada umumnya” memberi kesempatan kepada kedua belah pihak untuk
juga memuat hal-hal yang bukan semata-mata mengenai syarat-syarat
perburuhan, umpamanya mengadakan panitia, terdiri dari anggota-anggota
buruh dan majikan untuk mengawasi dijalankannya itu. Dengan demikian
maka kedua pihak merdeka mengisi perjanjian itu. Cara yang lain, yakni
menentukan satu hal demi satu hal apalah yang boleh diatur di dalam
perjanjian-perburuhan tidak dapat dipergunakan, karena agak kaku, yang
pada hari kemudian mungkin menghalang-halangi kemajuan
perjanjian-perburuhan. Kemerdekaan kedua belah pihak tersebut hanya
dibatasi dalam hal-hal tersebut dalam ayat 4. “Di dalam
perjanjian-bekerja” berarti sebagai telah dikatakan di atas, bahwa
perjanjian-perburuhan yang pada sesuatu waktu diselenggarakan itu tidak
hanya berlaku untuk perjanjian-kerja yang di kemudian hari akan
diselenggarakan, melainkan juga untuk perjanjian-kerja yang sudah
diselenggarakan pada waktu itu. Perjanjian-perburuhan adalah salah satu
usaha untuk menjernihkan suasana di dalam perusahaan. Apabila itu sudah
tercapai maka tujuan untuk menghasilkan sebanyak-banyaknya harus segera
dikejar. Oleh sebab itu majikan harus memenuhi kewajibannya dan buruh
harus sedikit-dikitnya memberi minimum arbeidsprestatie.
(2) Di samping perjanjian-kerja, yang pada pokoknya mengenai
pekerjaan yang dijalankan oleh buruh di bawah pimpinan majikan, untuk
sesuatu waktu dengan menerima upah terdapat pula: pertama
perjanjian-pekerjaan borongan yang menyatakan pihak yang kesatu,
pemborong, berjanji, untuk pihak yang lain, yang memborongkan, dengan
harga yang tertentu menghasilkan suatu buah pekerjaan yang telah
ditetapkan, umpamanya membuat rumah, kursi, dan lain-lainnya dan kedua
perjanjian melakukan sesuatu pekerjaan yang menyatakan bahwa pihak
pertama berjanji melakukan sesuatu pekerjaan dengan upah untuk pihak
yang lain, umpamanya antara seorang dokter dengan yang berobat, dan
dalam hal itu kedua macam pekerjaan itu tidak dilakukan di bawah
pimpinan majikan, sehingga dalam ayat 3 ini perlu ditentukan bahwa
perjanjian-perburuhan, dapat juga diselenggarakan untuk pekerjaan
borongan dan perjanjian melakukan sesuatu pekerjaan, sesuatunya
semata-mata untuk menghilangkan keragu-raguan tentang dapat
diselenggarakan atau tidaknya perjanjian-perburuhan bagi pekerjaan
borongan dan perjanjian melakukan sesuatu pekerjaan.
(3) Bahwasanya aturan-aturan yang bertentangan dengan hukum tentang
ketertiban umum atau dengan kesusilaan itu tidak sah, sudah selayaknya,
karena itu tidak perlu di sini diterangkan panjang lebar. Sebabnya
ketentuan ini didapat pada ayat 4 itu hanyalah untuk menegaskan sekali
lagi adanya azas (beginsel) itu dalam hukum perdata kita. Larangan
lainnya semata-mata ditujukan untuk menjaga timbulnya kedudukan yang
bersifat monopolistisch dari: serikat buruh yang memaksa seorang majikan
untuk hanya menerima umpamanya buruh Kristen, buruh-auruh warganegara
Indonesia bukan asli, buruh bangsa asing, buruh berhaluan sosialis atau
buruh yang menjadi anggota dari perkumpulan A atau menolak umpamanya
buruh Islam, buruh warga-negara Indonesia asli, buruh warganegara
Indonesia, buruh berhaluan komunis atau buruh yang menjadi anggota dari
perkumpulan B; majikan yang memaksa buruh untuk hanya bekerja atau tidak
boleh bekerja umpamanya pada majikan Kristen, majikan warganegara
Indonesia bukan asli, majikan bangsa asing, majikan berhaluan sosialis
atau majikan yang menjadi anggota dari perkumpulan A.
Pasal 2
Cukup jelas.
Pasal 3
(1) Karena pentingnya akibat perjanjian itu, maka dimintakan bentuk yang tertentu.
Yang dimaksud dengan surat resmi (authentiek) ialah surat yang dibuat
oleh orang atau pegawai yang berhak membuatnya umpamanya notaris,
sedang surat yang ditandatangani oleh kedua belah pihak (onderhandsche
akte) ialah surat yang justru memuat perjanjian-perburuhan. (2)
Berhubung dengan penilikan umum dari Kementerian Perburuhan yang
diserahi urusan terhadap perburuhan, maka Pemerintah harus mendapat
bahan-bahan yang cukup untuk memungkinkan penilikan itu dilakukan dengan
tepat dan cepat (effectief). Karena itu Pemerintah dapat memerintahkan
kepada sesuatu pihak untuk mendaftarkan surat-perjanjian itu pada
Pemerintah, memberi contoh surat perjanjian agar terdapat kesatuan dalam
bentuknya (uniformiteit) dan sebagainya, misalnya memuat aturan-aturan
tentang:
1.tingginya upah,
2.uang lembur,
3. upah pada waktu sakit,
4. upah pada Hari Raya,
5. pengawasan upah,
6. buku-upah,
7. waktu-kerja,
8. pemeliharaan waktu sakit,
9. waktu berlakunya perjanjian.
Pasal 4
Karena perjanjian yang diselenggarakan itu berlaku buat
anggota-anggota maka perlu supaya isinya diberitahukan kepada mereka.
Caranya terserah kepada perkumpulan yang bersangkutan apakah dengan
lisan ataukah dengan memberikan turunan surat perjanjian kepada
anggota-anggotanya.
Maksud pasal ini terutama ialah bahwa tidak tahunya seorang anggota tidak dapat diajukan kepada pihak yang lain.
Pemberitahuan itu sebetulnya, tidak berat bagi perkumpulan yang
bersangkutan karena pada umumnya anggota-anggota telah mengetahui pada
waktu menyetujuinya di dalam rapat anggota.
Hukum pelanggaran ini adalah suatu soal antara anggota dengan
perkumpulannya (intern) yang harus diatur dalam peraturan dasarnya.
Pasal 5
Mengenai kewajiban dan tanggung-jawab perkumpulan
atasanggota-anggotanya yang harus memenuhi aturan-aturan dalam
perjanjian-perburuhan, terdapat dua aliran yang sangat berlainan:
a.perkumpulan tersebut menanggung dengan sepenuhnya bahwa
anggota-anggotanya akan memenuhi semua aturan-aturan itu, dan
perkumpulanlah yang bertanggung-jawab bilamana anggota-anggota itu
melanggar perjanjian-perburuhan,
b.perkumpulan tidak ikut campur dalam urusan aturan-aturan yang berlaku
bagi anggota-anggotanya. Pelanggaran oleh *790 anggota-anggotanya
bukanlah tanggungannya.
Pasal ini mengambil jalan tengah.
Aliran b yang menyatakan perkumpulan sedikitpun tidak
bertanggung-jawab, memungkinkan perkumpulan dengan secara diam-diam
menghalang-halangi anggota-anggotanya memenuhi kewajiban-kewajiban
mereka, tak dapat diturut, karena ayat 1 mewajibkan perkumpulan
mengusahakan agar anggota-anggotanya memenuhi kewajiban-kewajiban
mereka.
Dengan demikian tidak cukuplah bilamana perkumpulan itu hanya
bersifat pasif, tetapi harus juga bertindak positif ialah mengusahakan
agar anggota-anggotanya memenuhi kewajiban-kewajiban mereka.
Aliran a, bilamana dimuat di dalam undang-undang, dapat
menghalang-halangi kemajuan perjanjian-perburuhan karena mungkin banyak
perkumpulan takut mengadakan perjanjian-perburuhan.
Karena itu dalam pasal 4 ayat 2 hanya ditetapkan bahwa perkumpulan
hanya bertanggung-jawab atas anggota-anggotanya, bilamana hal ini
ditentukan di dalam perjanjian-perburuhan itu sendiri. Jadi terserah
kepada masing-masing pihak.
Pasal 6, 7 dan 8
Setelah pasal 5 menentukan kewajiban yang ditanggung oleh perkumpulan
yang menyelenggarakan perjanjian-perburuhan, maka pasal 6, 7 dan 8
menetapkan kedudukan anggota-anggota terhadap perjanjian-perburuhan itu
yang diselenggarakan oleh perkumpulan mereka masing-masing.
Sesuatu azas hukum yang pokok ialah bahwa sesuatu perjanjian hanya
berlaku antara pihak-pihak yang menyelenggarakan perjanjian itu,
sekali-kali tidak juga berlaku untuk orang ketiga.
Karena itu harus ditentukan dengan tegas dalam undang-undang bahwa:
1.semua anggota suatu perkumpulan yang menyelenggarakan perjanjian-perburuhan terikat oleh perjanjian itu (pasal 6 ayat 1);
2.mereka yang kemudian menjadi anggota (anggota-baru) suatu
perkumpulan yang menyelenggarakan perjanjian-perburuhan, menjadi terikat
oleh perjanjian itu (pasal 6 ayat 1);
3.mereka yang kehilangan keanggotaannya, baik karena dipecat maupun
keluar atas permintaan sendiri, tetap terikat hingga waktu berlakunya
perjanjian itu habis, sungguhpun apabila waktu itu diperpanjang, atau
sampai perjanjian itu diubah (pasal 7);
4.mereka tetap terikat juga bilamana perkumpulan mereka dibubarkan (pasal 8).
Ad. 1 dan 2. Telah terang.
Perkataan “tersangkut dalam perjanjian itu” umpamanya demikian:
Serikat buruh pabrik gula menyelenggarakan perjanjian- *791
perburuhan untuk anggota-anggota buruh teknik. Perjanjian ini tidak
berlaku bagi anggota-anggota buruh pengangkutan karena mereka ini tidak
“tersangkut dalam perjanjian itu”. Maksud ayat 2 pasal 6 ialah bahwa
seorang anggota yang melanggar, bertanggungjawab terhadap perkumpulannya
sendiri dan terhadap perkumpulan yang menjadi pihak lainnya.
Ad. 3.Pasal 7 ini ialah untuk mencegah keluarnya seorang anggota yang
bermaksud menghindarkan diri dari kewajiban-dewajiban yang berlaku
baginya. Umpamanya seorang majikan keluar dari perkumpulan majikan,
hanyalah disebabkan untuk mencapai maksudnya mengadakan
perjanjian-perjanjian-kerja yang lebih menguntungkan baginya.
Ad. 4. Walaupun pasal 7 ayat 1 telah menentukan bahwa, bekas
anggota-anggota tetap terikat oleh pejanjian-perburuhan dan azas hukum
perkumpulan menyatakan bahwa sesuatu perkumpulan yang dibubarkan masih
harus bertanggung-jawab atas, penyelesaian kewajiban-kewajibannya,
tetapi perlu hal itu ditentukan dengan tegas dalam pasal 8, dengan
maksud untuk menghilangkan keragu-raguan.
Pasal 9
(1) Sebagai telah dikatakan pada penjelasan pasal 1 ayat 1,
perjanjian-perburuhan ialah peraturan induk atau peraturan dasar bagi
perjanjian-kerja antara seorang buruh dan seorang majikan yang terikat
oleh perjanjian-perburuhan itu. Pasal 9 ini sekarang menentukan dengan
tegas kedudukan kedua jenis perjanjian itu dan perhubungannya antara
satu dengan lainnya. Karena kedudukan perjanjian-perburuhan sebagai
aturan dasar itu, maka aturan dalam perjanjian-kerja yang bertentangan
dengan sendirinya tidak berlaku. Karena aturan-aturan yang bertentangan
itu tidak berlaku, maka perlulah dinyatakan dengan tegas manalah
gantinya yang berlaku, karena jika tidak demikian maka dapatlah
diartikan bahwa soal itu tidak diatur lagi dan bahwa yang dirugikan
hanya dapat minta pengganti kerugian, tidak juga untuk memenuhi aturan
yang dimuat dalam perjanjian-perburuhan.
Pasal 9 ini juga penting karena justru oleh ketentuan itu yang
dirugikan (buruh) dapat memajukan sendiri perkaranya di muka pengadilan.
Jika ketentuan tersebut dalam pasal 9 itu tidak ada, maka yang dapat
bertindak menurut pasal 13 hanyalah yang menjadi pihak dalam
perjanjian-perburuhan.
(2) Sesuatu hal yang tidak sah adalah mutlak (absoluut) tetapi tidak
semua orang dapat memajukannya di muka pengadilan karena sesuatu azas
hukum acara menetapkan bahwa untuk dapat memajukan sesuatu hal dimuka
pengadilan, yang memajukannya itu harus mempunyai kepentingan. Untuk
menetapkan bahwa kedua belah pihak dalam perjanjian-perburuhan dapat
mengajukannya dengan tidak usah menyatakan kepentingannya itulah maksud
ayat 2 ini.
Pasal 10
Pasal 9 di antaranya menentukan bahwa bilamana aturan di dalam
perjanjian-kerja bertentangan dengan aturan di dalam perjanjian- *792
perburuhan maka aturan perjanjian-perburuhan yang berlaku.
Pasal 10 inilah sekarang yang menentukan bahwa aturan-aturan di dalam
perjanjian-perburuhan itu jugalah yang akan berlaku, bilamana
perjanjian-kerja tidak memuat aturan-aturan itu.
Pasal 11
(1) Sebagai pihak yang kuat, majikan oleh Menteri yang diserahi
urusan perburuhan dapat diwajibkan menetapi aturan-aturan
perjanjian-perburuhan juga bilamana dia berhubungan dengan buruh yang
tidak terikat oleh perjanjian-perburuhan. Hal itu perlu agar majikan itu
tidak dapat menerima buruh misalnya dengan upah yang lebih rendah dan
sebagainya.
Di dalam penjelasan pasal 6, 7 dan 8 dikatakan bahwa suatu azas hukum
yang pokok ialah bahwa suatu perjanjian hanya berlaku antara mereka
yang menyelenggarakan perjanjian itu, sekali-kali tidak juga berlaku
untuk orang ketiga. Karena itu maka ketiga pasal ini menentukan bahwa
perjanjian-perburuhan yang diselenggarakan oleh pihak serikat buruh
dengan majikan berlaku juga untuk anggota-anggota serikat itu. Ketentuan
itu telah selayaknya, karena maksud perjanjian itu ialah justru
menetapkan hal-hal yang berlaku untuk anggota. Jadi ketentuan itu ialah
akibat langsung dari sifat perjanjian-perburuhan.
Lain halnya dengan kepastian dalam pasal 11 ini. Berlakunya
perjanjian-perburuhan bagi orang ketiga yang bukan anggota serikat
buruh, ialah akibat yang langsung timbul karena perjanjian itu. Karena
itu agak tidak selayaknya kepastian itu ditetapkan di sini.
Tetapi justru untuk melindungi buruh yang belum menjadi anggota perlu
kepastian itu diadakan. Di dalam praktek buruh barulah menjadi anggota
suatu serikat buruh bilamana dia sudah bekerja pada perusahaan yang
berhubungan dengan serikat buruh itu. Kepastian itu sifatnya tidak lagi
semata-mata mengatur (regelend) tetapi perintah (dwingend).
Di atas tidak diterangkan bahwa perintah ini berdasarkan atas maksud
melindungi buruh yang belum menjadi anggota, supaya dia juga merasakan
kemajuan yang akan dicapai oleh serikat buruh, yang dia belum menjadi
anggotanya.
Mungkin perlindungan ini menimbulkan pikiran kurang setuju di pihak
pergerakan buruh, karena mungkin melemahkan pergerakan. Tetapi mengingat
rasa peri-kemanusiaan dan rasa solidaritet kaum buruh pada umumnya,
perlindungan itu akan mendapat sambutan gembira, lagi pula sebagai telah
dikatakan di atas di dalam prakteknya buruh baru masuk menjadi anggota
kalau sudah bekerja. Hal ini sebagian besar terletak pada kebijaksanaan
pemimpin pergerakan.
(2) Karena ayat 2 ini Menteri dapat memaksakan suatu
perjanjian-perburuhan kepada buruh-buruh dan majikan-majikan yang tidak
terikat oleh perjanjian itu. Perjanjian itu harus dipenuhi oleh kedua
golongan itu. Tetapi lapang usahanya harus sama. Misalnya
perjanjian-perburuhan antara serikat buruh perusahaan batik dengan
perusahaan batik, dapat dipaksakan *793 kepada buruh dan majikan dari
perusahaan batik lainnya.
Bilamana Menteri itu akan mempergunakan haknya tergantung pada
keadaan, misalnya perjanjian-perburuhan perusahaan batik di Jakarta,
sukar untuk dipaksakan pada perusahaan batik di desa di pegunungan.
(3) Di dalam Peraturan Pemerintah nanti dapat dimuat ketentuan bahwa
inisiatif untuk memaksakan suatu perjanjian-perburuhan itu dapat
dimajukan pula oleh majikan-majikan yang menyelenggarakan perjanjian itu
atau oleh majikan-majikan yang bersangkutan dan akhirnya oleh serikat
buruh yang menyelenggarakan perjanjian itu atau serikat buruh dari
perusahaan itu sendiri.
Pasal 12
Pasal 11 pokoknya melarang seorang majikan menyelenggarakan
perjanjian-kerja dengan buruh yang tidak terikat yang bertentangan
dengan aturan perjanjian-perburuhan, sedangkan maksud pasal 12 ini ialah
menyempurnakan pasal itu dengan menyatakan bahwa seorang majikan atau
perkumpulan majikan yang telah mengadakan perjanjian-perburuhan dengan
sesuatu serikat buruh dilarang mengadakan perjanjian-perburuhan baru
dengan serikat buruh yang lain yang bertentangan dengan
perjanjian-perburuhan yang telah diselenggarakan itu.
Pasal 13
Pasal 13 ini mengatur akibat dari pelanggaran-pelanggaran yang
dilakukan oleh sesuatu pihak pada perjanjian-perburuhan atau
anggota-anggotanya seperti juga pasal 9.
Pasal 9 menetapkan bahwa buruh dapat bertindak sendiri hanya bilamana
perjanjian-kerjanya memuat aturan yang bertentangan dengan aturan dari
perjanjian-perburuhan. Hak ini adalah akibat dari
pelanggaran-perjanjian-kerjanya, sendiri yang harus sesuai dengan
aturan-aturan dari perjanjian-perburuhan, sekali-dali bukan akibat dari
perjanjian-perburuhan.
Pelanggaran-pelanggaran yang langsung mengenai perjanjian perburuhan
tidak dapat dituntut oleh buruh sendiri, melainkan harus dituntut oleh
serikat buruhnya. Ketentuan ini adalah penting karena kedudukan serikat
itu baik psychologis, maupun ekonomis tidak begitu lemah terhadap
majikan daripada kedudukan buruh masing-masing, yang pada umumnya kurang
cakap dan kurang berani berhadapan dengan majikan.
Untuk mencegah jangan sampai serikat buruh atau buruh perseorangan
sengaja berbuat bertentangan dengan maksud perjanjian-perburuhan maka
majikan berhak menuntut serikat buruh atau buruh sendiri.
Pasal 14
Ketentuan dalam pasal ini perlu dimuat karena kerugian dari
perkumpulan sebagai akibat pelanggaran acapkali tidak dapat dinyatakan
dengan uang.
Tidak ditentukan di sini bahwa pengadilan yang menetapkan *794
pengganti kerugian itu, maksudnya memberi kelonggaran kepada kedua belah
pihak mengatur di dalam perjanjian-perburuhan supaya hal itu umpamanya
ditetapkan oleh sebuah panitia.
Pasal 15
Pasal ini memberi kesempatan kepada kedua belah pihak untuk
menetapkan sesuatu denda yang tertentu (boete-beding) di dalam
perjanjian mereka, sedangkan denda itu dapat diubah oleh pengadilan
bilamana kewajiban yang dikenakan denda itu sebagian telah dipenuhi.
Ketentuan dalam ayat-ayat ini diperlukan untuk menjaga keadilan.
Pasal 16 dan 17
Maksud perjanjian-perburuhan ialah untuk mencapai stabliitet di dalam
syarat-syarat bekerja (arbeidsvoorwaarden). Makin lama stabilitet ini
dapat dipertahankan makin baik akibatnya bagi dunia perburuhan.
Dipandang dari sudut itu, maka tidak pada tempatnyalah menentukan batas
waktu berlakunya perjanjian-perburuhan.
Tetapi di samping itu harus juga diperhatikan bahwa mereka yang
menyelenggarakan perjanjian itu tidak selalu dapat menduga hal-hal yang
akan terjadi di kemudian hari. Aturan-aturan yang sekarang kelihatannya
sempurna, mungkin akan ternyata kelak ada kekurangan-kekurangan atau
memuat sesuatu yang menjerat mereka, disebabkan oleh perubahan-perubahan
keadaan.
Lebih-lebih pada zaman sekarang ini, pada waktu harga barang-barang
dan tingginya upah sangat goncang, jauh daripada tetap, mudah dimaklumi
bahwa perjanjian-perburuhan yang diselenggarakan untuk waktu lebih dari
satu tahun, sukar dapat dipertahankan. Justru karena itu di samping
pasal 16 ditetapkan dalam pasal 17 bahwa masing-masing pihak
sewaktu-waktu dapat minta kepada pengadilan untuk membatalkan perjanjian
mereka.
Alasan yang agak memaksa (gewichtige redenen) adalah keadaan-keadaan
yang bilamana tidak diperhatikan menimbulkan rasa tidak adil. Walaupun
bagi pengadilan agak sukar untuk menentukan keadaan apakah yang agak
memaksa itu, hal ini tidak dapat dipergunakan sebagai alasan untuk
membiarkan mereka yang terjerat oleh sesuatu perjanjian yang oleh mereka
sendiri dirasakan sebagai tidak adil lagi.
Pasal 18
Walaupun di dalam perjanjian itu telah ditetapkan waktu berlakunya
perjanjian itu, di dalam perjanjian masih harus dimuat juga ketentuan
bahwa perjanjian itu akan habis apabila waktu itu telah berakhir.
Jika hal ini tidak ditentukan dan pernyataan pengakhiran tidak
diberikan, maka perjanjian itu dianggap diperpanjang. Ketentuan ini
perlu agar yang berkepentingan mengetahui benar-benar bilamana
perjanjian mereka berakhir berlaku, jangan sampai mereka nanti dengan
sekonyong-konyong menjumpai kenyataan bahwa antara mereka perjanjian itu
tidak lagi berlaku.
Pasal 19
Cara menyatakan pengakhiran ini perlu ditetapkan untuk mencegah
kesulitan-kesulitan yang mungkin timbul berhubung dengan pernyataan itu.
Pasal 20
Kepada semua pihak pada perjanjian-perburuhan itu diberikan
kesempatan untuk menentukan bahwa pernyataan itu hanya berlaku untuk
pihak yang mengatakannya dan bahwa perjanjian masih tetap berlaku bagi
pihak lain-lainnya.
Pasal 21
Aturan ini ialah aturan peralihan. Jika perjanjian-perburuhan yang
telah ada pada hari undang-undang ini berlaku diubah, maka selanjutnya
harus diturut aturan-aturan dari undang-undang ini.
Perjanjian-perburuhan itu tidak dapat diperpanjang atau dianggap
diperpanjang. Yang berkepentingan harus menyelenggarakan
perjanjian-perburuhan baru menurut undang-undang ini.
——————————–
CATATAN
No. 598a.SERIKAT BURUH. MAJIKAN. PERJANJIAN PERBURUHAN. Penjelasan
Undang-undang No. 21 tahun 1954, tentang perjanjian perburuhan antara
serikat buruh dan majikan.
RALAT.
Memori penjelasan Undang-undang No. 21 tahun 1954, tentang
“perjanjian Perburuhan Antara Serikat Buruh dan Majikan”, yang dimuat
dalam Tambahan Lembaran Negara No. 598, mulai dari kepalanya pada
halaman 1 hingga kata “ini” dalam kalimat kedua, alinea pertama pada
halaman 12, dibatalkan seluruhnya dan diganti dengan tekst baharu
seperti yang tercantum di bawah ini :
SARIKAT BURUH. MAJIKAN. PERJANJIAN PERBURUHAN. Penjelasan
Undang-undang No. 21 tahun 1954, tentang perjanjian perburuhan antara
serikat buruh dan majikan.
Umum :
1.Undang-undang yang mengatur suatu perjanjian antara dua belah pihak
pada pokoknya mengakui adanya dan berdasarkan atas kemauan dari kedua
belah pihak itu untuk mendapat persetujuan tentang apa yang
dikehendakinya. Dengan kata lain : adanya suatu keleluasaan bersepakat
(contractvrijheid). Suatu perjanjian perburuhan tak ada gunanya dan
tidak pada tempatnya, jika segala sesuatu ditentukan dan ditetapkan oleh
Pemerintah saja.
2.Tetapi walaupun demikian keleluasaan itu harus dibatasi, yakni
hanya di dalam lingkungan apa yang oleh Pemerintah dianggap layak. Sebab
Pemerintah memegang teguh tujuannya untuk melindungi siapa yang lemah,
agar tercapai sesuatu imbangan yang mendekatkan masyarakat kita kepada
suatu tujuan negara kita menjamin penghidupan yang layak bagi *796
kemanusiaan untuk tiap-tiap warga negara. Antara lain harus diperhatikan
ketentuan-ketentuan yang dimuat dalam, Undang-undang Kerja Tahun 1948″.
3.Dipandang dari sudut perlindungan itu. maka Undang-undang ini
merupakan suatu lanjutan, karena dengan Undang-undang ini buruh diberi
hak untuk bersama-sama (collectief) dengan jalan perwakilan menuju ke
arah tingkat yang lebih tinggi.
4.Perjanjian perburuhan (collectieve arbeidsovereenkomst) yang telah
diselenggarakan oleh serikat buruh itu, tidak dapat diabaikan begitu
saja oleh seorang buruh yang mengadakan perjanjian kerja (individueele
arbeidsovereenkomst) (pasal 9 ayat 1). Dan perjanjian perburuhan yang
sangat manfaat bagi buruh, oleh Menteri Perburuhan dapat dipaksakan
kepada majikan-majikan lainnya untuk dilaksanakan di dalam perusahaannya
masing-masing (pasal 11 ayat 1 dan 2).
5.Selanjutnya Undang-undang ini mengatur akibat-akibat dari tindakan
serikat buruh terhadap anggauta-anggautanya, hubungan anggauta-anggauta
itu dengan pihak lainnya pada perjanjian itu, hubungan suatu perjanjian
perburuhan dengan perjanjian kerja, hubungan suatu perjanjian perburuhan
dengan perjanjian perburuhan lainnya, dan sebagainya. Semua itu
mengenai soal-soal hukum yang dengan jelas diterangkan di dalam
penjelasan pasal demi pasal. Sekedar sebagai pegangan perlu diterangkan
apa yang dimaksudkan dengan beberapa istilah yang umum. Dengan serikat
buruh tidak hanya dimaksudkan suatu serikat buruh pada suatu perusahaan
atau suatu lapang usaha ataupun suatu buruh dari suatu keahlian (vak),
melainkan juga gabungan dari beberapa atau berbagai-bagai buruh.
Buruh ialah seorang yang melakukan pekerjaan di bawah pimpinan
majikan untuk sesuatu waktu dengan menerima upah, sedang majikan ialah
seorang pada siapa buruh itu bekerja.
Pasal Demi Pasal Pasal 1.
(1)Perjanjian perburuhan ialah peraturan induk bagi perjanjian kerja
antara seorang anggauta serikat buruh pada satu pihak dengan seorang
majikan atau seorang anggauta perkumpulan majikan pada pihak yang lain,
baik yang sudah maupun yang belum diselenggarakan. Serikat-serikat buruh
hanya dapat menyelenggarakan perjanjian perburuhan jika telah didaftar
di Kementerian Perburuhan.
Kata “pada umumnya” memberi kesempatan kepada kedua belah pihak untuk
juga memuat hal-hal yang bukan semata-mata mengenai syarat-syarat
perburuhan, umpamanya mengadakan panitya, terdiri dari anggauta-anggauta
buruh dan majikan) untuk mengawasi dijalankannya itu. Dengan demikian
maka kedua pihak merdeka mengisi perjanjian. Cara yang lain, yakni
menentukan satu hal demi satu hal apa yang boleh diatur di dalam
perjanjian perburuhan tidak dapat dipergunakan, karena agak kaku, yang
pada hari kemudian mungkin menghalang-halangi kemajuan perjanjian
perburuhan. Kemerdekaan kedua belah pihak tersebut hanya dibatasi dalam
*797 hal-hal tersebut dalam ayat 3. “Di dalam perjanjian kerja” berarti
sebagai telah dikatakan di atas, bahwa perjanjian Perburuhan yang pada
sesuatu waktu diselenggarakan itu tidak hanya berlaku untuk perjanjian
kerja yang dikemudian hari akan diselenggarakan, melainkan juga untuk
perjanjian kerja yang sudah diselenggarakan pada waktu itu.
(2)Disamping perjanjian kerja, yang pada pokoknya mengenai pekerjaan
yang dijalankan oleh buruh di bawah pimpinan majikan, untuk sesuatu
waktu dengan menerima upah terdapat pula : pertama perjanjian pekerjaan
borongan yang menyatakan pihak yang kesatu, pemborong, berjanji untuk
pihak yang lain, yang memborongkan, dengan harga yang tertentu
menghasilkan suatu buah pekerjaan yang telah ditetapkan, umpamanya
membuat rumah, kursi, dan lain-lain dan kedua perjanjian melakukan
sesuatu pekerjaan tertentu yang menyatakan bahwa pihak pertama berjanji
melakukan sesuatu pekerjaan dengan upah untuk pihak yang lain, umpamanya
antara seorang dokter dengan yang berobat, dan dalam hal itu kedua
macam pekerjaan itu tidak dilakukan dibawah pimpinan majikan, sehingga
dalam ayat 2 ini perlu ditentukan bahwa perjanjian perburuhan, dapat
juga diselenggarakan untuk pekerjaan tertentu, sesuatu-nya semata-mata
untuk menghilangkan keragu-raguan tentang dapat diselenggarakan atau
tidaknya perjanjian perburuhan bagi pekerjaan borongan dan perjanjian
melakukan sesuatu pekerjaan tertentu.
(3)Bahwasanya aturan-aturan yang bertentangan dengan hukum tentang
ketertiban umum atau dengan kesusilaan itu tidak sah, sudah selayaknya,
karena itu tidak perlu di sini diterangkan panjang lebar. Sebabnya
ketentuan ini didapat pada ayat 4 itu hanyalah untuk menegaskan sekali
lagi adanya azas (beginsel) itu dalam hukum perdata kita.
Larangan lainnya semata-mata ditujukan untuk menjaga timbulnya kedudukan yang bersifat monopolistis dari :
Serikat buruh yang memaksa seorang majikan untuk hanya menerima
umpamanya buruh keristen, buruh-buruh warga negara Indonesia, buruh
bangsa asing, buruh berhaluan sosialis atau buruh yang menjadi anggauta
dari perkumpulan A atau menolak umpamanya buruh Islam, buruh warga
negara Indonesia, buruh berhaluan Kominis atau buruh yang menjadi
anggauta dari perkumpulan B; majikan yang memaksa buruh untuk hanya
bekerja atau tidak boleh bekerja umpamanya pada majikan Keristen,
majikan warganegara Indonesia, majikan bangsa asing, majikan berhaluan
sosial atau majikan yang menjadi anggauta dari perkumpulan A.
Pasal 2.
(1)Karena pentingnya akibat perjanjian itu, maka dimintakan bentuk
yang tertentu. Yang dimaksud dengan surat resmi (authentiek) ialah surat
yang dibuat oleh orang atau pegawai yang berhak membuatnya umpamanya
notaris, sedang surat yang ditanda tangani oleh kedua belah pihak
(onderhandsche akte) ialah surat yang justru memuat perjanjian
perburuhan. (2)Cukup, jelas.
Pasal 3.
Karena perjanjian yang diselenggarakan itu berlaku buat
anggauta-anggauta maka perlu supaya isinya diberitahukan kepada mereka.
Caranya terserah kepada perkumpulan yang bersangkutan apakah dengan
lisan ataukah dengan memberikan turunan surat perjanjian kepada
anggauta-anggautanya.
Maksud pasal ini terutama ialah bahwa tidak tahunya seorang anggauta tidak dapat diajukan kepada pihak yang lain.
Pemberitahuan itu sebetulnya tidak berat bagi perkumpulan yang
bersangkutan karena pada umumnya anggauta-anggauta telah mengetahui pada
waktu menyetujuinya di dalam rapat anggauta.
Hukuman pelanggaran ini adalah suatu soal antara anggauta dengan
perkumpulannya (intern) yang harus diatur dalam peraturan dasarnya.
Pasal 4.
Mengenai kewajiban dan tanggung-jawab perkumpulan atas
anggauta-anggautanya yang harus memenuhi aturan-aturan dalam perjanjian
perburuhan, terdapat dua aliran yang sangat berlainan.
a.perkumpulan tersebut menanggung dengan sepenuhnya bahwa
anggauta-anggautanya akan memenuhi semua aturan-aturan itu, dan
perkumpulanlah yang bertanggung jawab bilamana anggauta-anggauta itu
melanggar perjanjian perburuhan.
b.perkumpulan tidak ikut campur dalam urusan aturan-aturan yang berlaku
bagi anggauta-anggautanya. Pelanggaran oleh anggauta-anggautanya
bukanlah tanggungannya. Pasal ini mengambil jalan tengah.
Aliran b yang menyatakan perkumpulan sedikitpun tidak bertanggung
jawab, memungkinkan perkumpulan dengan secara diam-diam
menghalang-halangi anggauta-anggautanya memenuhi kewajiban-kewajiban
mereka, tak dapat diturut karena ayat 1 mewajibkan perkumpulan
mengusahakan agar anggauta-anggautanya memenuhi kewajiban-kewajiban
mereka. Dengan demikian tidak cukuplah bilamana perkumpulan itu hanya
bersifat passief, tetapi harus juga bertindak actief ialah mengusahakan
agar anggauta-anggautanya memenuhi kewajiban-kewajiban mereka. Aliran a,
bilamana dimuat dalam Undang-undang, dapat menghalang-halangi kemajuan
perjanjian perburuhan karena mungkin banyak perkumpulan takut mengadakan
perjanjian perburuhan. Karena itu dalam ayat 2 hanya ditetapkan bahwa
perkumpulan hanya bertanggung jawab atas anggauta-anggautanya bilamana
hal ini ditentukan didalam perjanjian perburuhan itu sendiri. Jadi
terserah kepada masing-masing pihak.
Pasal 5.
Perjanjian perburuhan adalah salah satu usaha untuk menjernihkan
suasana dalam perusahaan. Apabila itu sudah tercapai, tujuan untuk
menghasilkan sebanyak-banyaknya harus segera dikejar. Oleh sebab itu
majikan harus memenuhi kewajibannya dan buruh harus sedikit-dikitnya
memberi minimum arbeids-prestatie.
Pasal 6, 7 dan 8.
Setelah pasal 4 menentukan kewajiban yang ditanggung oleh perkumpulan
yang menyelenggarakan perjanjian perburuhan, maka pasal 6, 7 dan 8
menetapkan kedudukan anggauta-anggauta terhadap perjanjian perburuhan
itu yang diselenggarakan oleh perkumpulan mereka masing-masing.
Sesuatu azas hukum yang pokok ialah bahwa sesuatu perjanjian hanya
berlaku antara pihak-pihak yang menyelenggarakan perjanjian itu, dan
tidak berlaku untuk orang ketiga.
Karena itu harus ditentukan dengan tegas dalam Undang-undang bahwa :
1.semua anggauta suatu perkumpulan yang menyelenggarakan perjanjian perburuhan terikat oleh perjanjian itu (pasal 6 ayat 1);
2.mereka yang kemudian menjadi anggauta (anggauta baru) suatu
perkumpulan yang menyelenggarakan perjanjian perburuhan, menjadi terikat
oleh perjanjian itu (pasal 6 ayat 1);
3.mereka yang kehilangan keanggautaannya, baik karena dipecat maupun
keluar atas permintaan sendiri, pada azasnya tetap terikat hingga waktu
berlakunya perjanjian itu habis (pasal 7);
4.mereka tetap terikat juga bilamana perkumpulan mereka dibubarkan (pasal 8). Ad 1 dan 2 Cukup jelas.
Maksud perkataan “tersangkut dalam perjanjian itu” (pasal 6 ayat 1) umpamanya demikian :
Serikat buruh paberik gula menyelenggarakan perjanjian perburuhan
untuk anggauta-anggauta buruh tehnik. Perjanjian ini tidak berlaku bagi
anggauta-anggauta buruh pengangkutan karena mereka ini tidak “tersangkut
dalam perjanjian itu”. Maksud pasal 6 ayat (2) ialah bahwa seorang
anggauta yang melanggar, bertanggung jawab terhadap perkumpulannya
sendiri dan terhadap perkumpulan yang menjadi pihak lainnya.
Ad 3. Pasal 7 ini ialah untuk mencegah keluarnya seorang anggauta
yang bermaksud menghindarkan diri dari kewajiban-kewajiban yang berlaku
baginya. Umpamanya seorang majikan keluar dari perkumpulan majikan,
hanyalah disebabkan untuk mencapai maksudnya mengadakan
perjanjian-perjanjian kerja yang lebih menguntungkan baginya.
Ad 4. Walaupun pasal 7 ayat 1 telah menentukan bahwa, bekas
anggauta-anggauta tetap terikat oleh perjanjian perburuhan dan azas
hukum perkumpulan menyatakan bahwa suatu perkumpulan yang dibubarkan
masih harus bertanggung jawab atas penyelesaian kewajiban-kewajibannya,
tetapi perlu hal itu ditentukan dengan tegas dalam pasal 8 dengan maksud
untuk menghilangkan keragu-raguan.
Pasal 9.
(1) Sebagai telah dikatakan pada penjelasan pasal 1 ayat 1,
perjanjian perburuhan ialah peraturan induk atau peraturan dasar bagi
perjanjian kerja antara seorang buruh dan seorang majikan yang terikat
oleh perjanjian perburuhan itu.
Pasal 9 ini sekarang menentukan dengan tegas kedudukan kedua jenis
perjanjian itu dan perhubungannya antara satu dengan lainnya. Karena
kedudukan perjanjian perburuhan sebagai aturan dasar itu, maka aturan
dalam perjanjian kerja yang bertentangan dengan sendirinya tidak
berlaku. Karena aturan-aturan yang bertentangan itu tidak berlaku, maka
perlulah dinyatakan dengan tegas manalah gantinya yang berlaku, karena
jika tidak demikian maka dapatlah diartikan bahwa soal itu tidak diatur
lagi dan bahwa yang dirugikan hanya dapat minta pengganti kerugian,
tidak juga untuk memenuhi aturan yang dimuat dalam perjanjian
perburuhan.
Pasal 9 ini juga penting karena justru oleh ketentuan itu yang
dirugikan (buruh) dapat memajukan sendiri perkaranya dimuka pengadilan.
Jika ketentuan tersebut dalam pasal 9 itu tidak ada, maka yang dapat
bertindak menurut pasal 13 hanyalah yang menjadi pihak dalam perjanjian
perburuhan.
(2) Sesuatu hal yang tidak sah adalah mutlak (absoluut) tetapi tidak
semua orang dapat memajukannya dimuka pengadilan karena sesuatu azas
dari hukum acara menetapkan bahwa untuk dapat memajukan sesuatu hal
dimuka pengadilan yang memajukannya itu harus mempunyai kepentingan.
Untuk menetapkan bahwa kedua belah pihak dalam perjanjian perburuhan
dapat memajukannya dengan tidak usah menyatakan kepentingannya itulah
maksud ayat (2) ini.
Pasal 10.
Pasal 9 diantaranya menentukan bahwa bilamana aturan di dalam
perjanjian kerja bertentangan dengan aturan di dalam perjanjian
perburuhan, maka aturan perjanjian perburuhan yang berlaku.
Pasal 10 inilah sekarang yang menentukan bahwa aturan-aturan di dalam
perjanjian perburuhan itu jugalah yang akan berlaku, bilamana
perjanjian kerja tidak memuat aturan-aturan itu.
Pasal 11.
(1) Sebagai pihak yang kuat, majikan oleh Menteri Perburuhan dapat
diwajibkan menepati aturan-aturan perjanjian perburuhan juga bilamana
dia berhubungan dengan buruh yang tidak terikat oleh perjanjian
perburuhan. Hal itu perlu agar majikan itu tidak dapat menerima buruh
misalnya dengan upah yang lebih rendah dan sebagainya.
Di dalam penjelasan pasal 6, 7 dan 8 dikatakan bahwa suatu azas hukum
yang pokok ialah bahwa suatu perjanjian hanya berlaku antara mereka
yang menyelenggarakan perjanjian itu dan tidak berlaku untu orang
ketiga. Karena itu maka ketiga pasal ini menentukan bahwa perjanjian
perburuhan yang diselenggarakan oleh pihak serikat buruh dengan majikan
berlaku juga untuk anggauta-anggauta serikat itu. Ketentuan itu telah
selayaknya, karena maksud perjanjian itu ialah justru menetapkan hal-hal
yang berlaku untuk anggauta. Jadi ketentuan itu ialah akibat langsung
dari sifat perjanjian perburuhan.
Lain halnya dengan kepastian dalam pasal 11 ini. Berlakunya
perjanjian perburuhan bagi orang ketiga yang bukan anggauta serikat
buruh, ialah bukan akibat yang langsung timbul karena perjanjian itu.
Karena itu agak tidak selayaknya kepastian itu ditetapkan di sini.
Tetapi justru untuk melindungi buruh yang bukan anggauta perlu
kepastian itu diadakan. Kepastian itu sifatnya tidak lagi semata-mata
mengatur (regelend) tetapi memaksa (dwingend).
Di atas telah diterangkan bahwa perintah ini berdasarkan atas maksud
melindungi buruh bukan anggauta, supaya dia juga merasakan kemajuan yang
akan dicapai oleh serikat buruh.
Mungkin perlindungan ini menimbulkan pikiran kurang setuju di pihak
pergerakan buruh, karena mungkin melemahkan pergerakan. Tetapi mengingat
rasa perikemanusiaan dan rasa solidariteit kaum buruh pada umumnya,
perlindungan itu akan mendapat sambutan gembira.
(2) Karena ayat 2 ini Menteri dapat memaksakan suatu perjanjian
perburuhan kepada buruh-buruh dan majikan-majikan yang tidak terikat
oleh perjanjian itu. Perjanjian itu harus dipenuhi oleh kedua golongan
itu. Tetapi lapang usahanya harus sama.
Misalnya perjanjian perburuhan antara serikat buruh perusahaan batik
dengan perusahaan batik, dapat dipaksakan kepada buruh dan majikan dari
perusahaan batik lainnya.
Bilamana Menteri itu akan mempergunakan haknya tergantung pada
keadaan, misalnya perjanjian perburuhan perusahaan batik di Jakarta,
sukar untuk dipaksakan pada perusahaan batik di desa di pegunungan.
(3)Cukup jelas.
Pasal 12.
Pasal 11 pokoknya melarang seorang majikan menyelenggarakan
perjanjian kerja dengan buruh yang tidak terikat yang bertentangan
dengan aturan perjanjian perburuhan, sedangkan maksud pasal 12 ini ialah
menyempurnakan pasal itu dengan menyatakan, bahwa seorang majikan atau
perkumpulan majikan yang telah mengadakan perjanjian perburuhan dengan
sesuatu serikat buruh dilarang mengadakan perjanjian perburuhan baru
dengan serikat buruh lain yang memuat syarat-syarat kerja yang kurang
dari pada yang termuat syarat-syarat kerja yang kurang dari pada yang
termuat dalam perjanjian perburuhan yang telah diselenggarakan itu.
Pasal 13.
Pasal 13 ini mengatur akibat dari pelanggaran-palanggaran yang
dilakukan oleh sesuatu pihak pada perjanjian perburuhan atau
anggauta-anggautanya seperti juga pasal 9.
Pasal 9 menetapkan, bahwa buruh dapat bertindak sendiri hanya
bilamana perjanjian kerjanya memuat aturan yang bertentangan dengan
aturan dari perjanjian perburuhan. Hak ini adalah akibat dari
pelanggaran perjanjian kerjanya sendiri yang harus sesuai dengan
aturan-aturan dari perjanjian perburuhan, sekali-kali bukan akibat dari
perjanjian perburuhan.
Pelanggaran-pelanggaran yang langsung mengenai perjanjian perburuhan
tidak dapat dituntut oleh buruh sendiri, melainkan harus dituntut oleh
serikat buruhnya. Ketentuan ini adalah penting karena kedudukan serikat
buruh itu baik psychologisch, maupun ekonomis tidak begitu lemah
terhadap majikan dari pada kedudukan buruh masing-masing, yang pada
umumnya kurang cakap dan kurang berani berhadapan dengan majikan.
Untuk mencegah jangan sampai serikat buruh atau buruh perseorangan
segaja berbuat bertentangan dengan maksud perjanjian perburuhan maka
majikan berhak menuntut serikat buruh atau buruh sendiri.
Pasal 14.
Ketentuan dalam pasal ini perlu dimuat karena kerugian dari
perkumpulan sebagai akibat pelanggaran acapkali tidak dapat dinyatakan
dengan uang.
Tidak ditentukan di sini, bahwa pengadilan yang menetapkan pengganti
kerugian itu, maksudnya memberi kelonggaran kepada kedua belah pihak
mengatur di dalam perjanjian perburuhan supaya hal itu umpamanya
ditetapkan oleh sebuah panitya.
Pasal 15.
Pasal ini memberi kesempatan kepada kedua belah pihak untuk
menetapkan sesuatu denda yang tertentu (boete-beding) di dalam
perjanjian mereka, sedangkan denda itu dapat diubah oleh pengadilan
bilamana kewajiban yang dikenakan denda itu sebagian telah dipenuhi.
Ketentuan dalam ayat-ayat ini diperlukan untuk menjaga keadilan.
Pasal 16 dan 17.
Maksud perjanjian perburuhan ialah untuk mencapai stabiliteit didalam
syarat-syarat bekerja (arbeidsvoorwaarden). Makin lama stabiliteit ini
dapat dipertahankan makin baik akibatnya bagi dunia perburuhan.
Dipandang dari sudut itu, maka tidak pada tempatnyalah menentukan batas
waktu berlakunya perjanjian perburuhan.
Tetapi disamping itu harus juga diperhatikan, bahwa mereka yang
menyelenggarakan perjanjian itu tidak selalu dapat menduga hal-hal yang
akan terjadi dikemudian hari. Aturan-aturan yang sekarang kelihatannya
sempurna, mungkin akan ternyata kelak ada kekurangan atau memuat sesuatu
yang menjirat mereka, disebabkan oleh perubahan-perubahan keadaan.
Lebih-lebih pada jaman sekarang ini, pada waktu harga barang-barang
dan tingginya upah sangat goncang jauh dari pada tetap, mudah dimaklumi
bahwa perjanjian perburuhan yang diselenggarakan untuk waktu lebih dari
dua tahun, sukar dapat dipertahankan. Justru karena itu disamping pasal
16 ditetapkan dalam pasal 17 bahwa masing-masing pihak sewaktu-waktu
dapat minta kepada pengadilan untuk membatalkan perjanjian mereka.
Alasan yang memaksa adalah keadaan-keadaan yang bilamana tidak
diperhatikan menimbulkan rasa tidak adil. Walaupun bagi pengadilan agak
sukar untuk menentukan keadaan apakah yang memaksa itu, hal ini tidak
dapat dipergunakan sebagai alasan untuk membiarkan mereka terjirat oleh
sesuatu perjanjian yang oleh mereka sendiri dirasakan sebagai tidak adil
lagi.
Pasal 18.
Walaupun di dalam perjanjian itu telah ditetapkan waktu berlakunya
perjanjian itu, di dalam perjanjian masih harus dimuat juga ketentuan
bahwa perjanjian itu akan habis apabila waktu itu telah berakhir. Jika
hal ini tidak ditentukan dan pernyataan pengakhiran tidak diberikan,
maka perjanjian itu dianggap diperpanjang. Ketentuan ini perlu agar yang
berkepentingan mengetahui benar-benar bilamana perjanjian mereka
berakhir berlaku, jangan sampai mereka nanti dengan sekonyong-konyong
menjumpai kenyataan bahwa antara mereka perjanjian itu tidak lagi
berlaku.
Pasal 19.
Cara menyatakan pengakhiran ini perlu ditetapkan untuk mencegah
kesulitan-kesulitan yang mungkin timbul berhubung dengan pernyataan itu.
Pasal 20.
Kepada semua pihak pada perjanjian perburuhan itu diberikan
kesempatan untuk menentukan bahwa pernyataan itu hanya berlaku untuk
pihak yang menyatakannya dan bahwa perjanjian masih tetap berlaku bagi
pihak lain-lainnya.
Pasal 21.
Aturan ini ialah aturan peralihan. Jika perjanjian perburuhan yang
telah ada pada hari Undang-undang ini berlaku diubah, maka selanjutnya
harus diturut aturan-aturan dari Undang-undang ini.
Perjanjian perburuhan itu tidak dapat diperpanjang atau dianggap
diperpanjang. Yang berkepentingan harus menjelenggarakan perjanjian
perburuhan baru menurut Undang-undang ini.
Diketahui :
Sekretariat Kementerian Kehakiman,
Mr. SOEDARJO
Tidak ada komentar:
Posting Komentar