Senin, 19 September 2016

HUKUM PERBURUHAN

PENGERTIAN DAN RUANG LINGKUP HUKUM PERBURUHAN 




Pengertian

Hukum Perburuhan. Hukum Perburuhan pada dasarnya adalah sebuah hukum yang mengatur tentang perburuhan atau ketenaga-kerjaan (menurut saya pribadi). Sedangkan menurut PROF.IMAM SUPOMO ADALAH : Suatu himpunan peraturan, baik tertulis maupun tidak, yang berkenaan dengan suatu kejadian di mana seseorang bekerja pada orang lain dengan meneripa upah.
PENGATURAN HUKUM PERBURUHAN
* UNDANG-UNDANG NO. 13 TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN

UNSUR-UNSUR DARI HUKUM PERBURUHAN

Unsur-Unsur dari hukum perburuhan diantaranya adalah :
* Serangkaian peraturan
* Peraturan mengenai suatu kejadian
* Adanya orang yang bekerja pada orang lain
* Adanya balas jasa yang berupa upah.
* UPAH
Hak pekerja/buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha/pemberi kerja kepada pekerja/buruh yang ditetapkan dengan perjanjian kerja.
* HUBUNGAN KERJA
Hubungan kerja terjadi karena adanya perjanjian kerja antara majikan dengan pekerja/buruhnya(biasanya dalam bentuk kontrak tertulis).
Dasar perjanjian kerja :
-Kesepakatan
-Kecakapan melakukan perbuatan hukum
-Adanya pekerjaan yang diperjanjikan
-Pekerjaan yang diberikan tidak bertentangan dengan UU, ketertiban umum &
kesusilaan.
* PERJANJIAN KERJA
Adanya sebuah Perjanjian kerja yang ditanda-tangani oleh kedua belah pihak baik oleh bos atau pemimpin perusahaan dan juga oleh buruh/karyawan.
Perjanjian kerja tersebut memuat :
-Nama, alamat perusahaan dan jenis usaha
-Identitas pekerja
-Jabatan dan jenis pekerjaan
-Tempat pekerjaan
-Besarnya upah
-Tanda tangan para pihak.
* DLL.
Ruang Lingkup
Sedangkan menurut teori itu sendiri ada 4 lingkup Laku Hukum antara lain :
* Lingkup Laku Pribadi (Personengebied)
Yang termasuk dalam lingkup ini adalah Buruh, Pengusaha dan pengusaha (pemerintah).
* Lingkup Laku Menurut Waktu (Tijdsgebied)
Didalam Hukum Perburuhan, ada peristiwa – peristiwa tertentu yang timbul pada waktu berbeda yaitu :
– Sebelum Hubungan Kerja terjadi
– Pada saat hubugnan kerja terjadi
– Sesudah hubungan kerja terjadi
* Lingkup Laku menurut Wilayah (Ruimtegebied)
Pembatas wilayah berlakunya kaedah Hukum Perburuhan mencakup hal – hal sebagai berikut :
– Regional
Dalam hal ini dapat dibedakan dua wilayah, yaitu Non – sektoral Regional dan Sektoral Regional.
– Nasional
Dalam hal ini juga mencakup dua wilayah berlakunya hukum perburuhan, yaitu Non – Sektoral Nasional dan Sektor Nasional.
* Lingkup Waktu Menurut Hal Ikhwal
Dilihat dari materi muatan Hukum Perburuhan, maka dapat di golongkan kedalam beberapa hal, diantaranya :
– Hal – hal yang berkaitan dengan Hubungan Kerja atau Hubungan Perburuhan.
– Hal – hal yang berkaitan dengan Perlindungan Jaminan Sosial dan Asuransi
Tenaga Kerja.
– Hal – hal yang berkaitan dengan Keselamatan Kerja dan Kesehatan Kerja.
– Hal – hal yang berkaitan dengan masalah penyelesaian perselisihan
perburuhan dan pemutusan hubungan kerja.
– Hal – hal yang berkaitan dengan masalah pengerahan Tenaga Kerja dan
Rekrutmen.
Hukum Perburuhan, Adalah seperangkat aturan dan norma baik tertulis maupun tidak tertulis yang mengatur pola hubungan Industrial antara Pengusaha, disatu sisi, dan Pekerja atau buruh disisi yang lain. Tidak ada definisi baku mengenai hukum perburuhan di Indonesia. Buku-buku hukum Perburuhan di dominasi oleh karya-karya Prof. Imam Soepomo. Guru besar hukum perburuhan di Universitas Indonesia. karyanya antara lain : Pengantar Hukum Perburuhan; Hukum Perburuhan Bidang Hubungan Kerja dan Hukum Perburuhan, Undang-undang dan Peraturan-peraturan.
Belakangan, pasca Reformasi Hukum Perburuhan karya-karya Prof. Imam Soepomo dianggap oleh sebagian kalangan sudah tidak relevan lagi. hal ini terutama oleh aktivis Serikat Buruh dan advokat perburuhan. meskipun di perguruan tinggi yang ada Fakultas Hukumnya di seluruh Indonesia, masih menggunakan buku-buku karya Imam Soepomo sebagai rujukan wajib.
Sejarah Hukum Perburuhan
Pasca reformasi, hukum perburuhan memang mengalami perubahan luar biasa radikal. baik secara regulatif, politik, ideologis bahkan ekonomi Global. proses industrialisasi sebagai bagian dari gerak historis ekonomi politik suatu bangsa dalam perkembanganya mulai menuai momentumnya. hukum perburuhan, setidaknya menjadi peredam konflik kepentingan antara pekerja dan pengusaha sekaligus.
Sebagai Peredam Konflik, tentu ia tidak bisa diharapkan maksimal. faktanya, berbagai hak normatif perburuhan yang mustinya tidak perlu lagi jadi perdebatan, namun kenyataanya Undang-undang memberi peluang besar untuk memperselisihkan hak-hak normatif tersebut. memang Undang-undang perburuhan juga mengatur aturan pidanaya namun hal tersebut masih dirasa sulit oleh penegak hukumnya. disamping seabrek kelemahan lain yang kedepan musti segera dicarikan jalan keluarnya.
Masa Orde baru yang dipimpin oleh Presiden Soeharto benar-benar membatasi Gerakan Serikat Buruh dan Serikat Pekerja. saat itu Organisasi Buruh dibatasi hanya satu organisasi SPSI (Serikat Pekerja Seluruh Indonesia).
pola penyelesaia hubungan Industrialpun dianggap tidak adil dan cenderung represif. TNI saat itu, misalnya, terlibat langsung bahkan diberikan wewenang untuk turut serta menjadi bagian dari Pola Penyelesaian hubungan Industrial. Saat itu, sejarah mencatat kasus-kasus buruh yang terkenal di Jawa Timur misalnya Marsinah dan lain-lain.

Hukum Perburuhan era Reformasi
Era Reformasi benar-benar membuka lebar arus demokrasi. Secara regulatif, dan Gradual hukum perburuhan kemudian menemukan momentumnya. hal tersebut terepresentasi dalam tiga paket Undang-Undang perburuhan antara lain: Undang-undang No. 21 tahun 2000 Tentang Serikat Buruh, Undang-undang No.13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, dan Undang-Undang No.2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI).

PENGERTIAN DAN RUANG LINGKUP HUKUM PERBURUHAN
Pengertian
Hukum Perburuhan. Hukum Perburuhan pada dasarnya adalah sebuah hukum yang mengatur tentang perburuhan atau ketenaga-kerjaan (menurut saya pribadi). Sedangkan menurut PROF.IMAM SUPOMO ADALAH : Suatu himpunan peraturan, baik tertulis maupun tidak, yang berkenaan dengan suatu kejadian di mana seseorang bekerja pada orang lain dengan meneripa upah.
PENGATURAN HUKUM PERBURUHAN
* UNDANG-UNDANG NO. 13 TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN

UNSUR-UNSUR DARI HUKUM PERBURUHAN
Unsur-Unsur dari hukum perburuhan diantaranya adalah :
* Serangkaian peraturan
* Peraturan mengenai suatu kejadian
* Adanya orang yang bekerja pada orang lain
* Adanya balas jasa yang berupa upah.
* UPAH
Hak pekerja/buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha/pemberi kerja kepada pekerja/buruh yang ditetapkan dengan perjanjian kerja.

* HUBUNGAN KERJA
Hubungan kerja terjadi karena adanya perjanjian kerja antara majikan dengan pekerja/buruhnya(biasanya dalam bentuk kontrak tertulis).
Dasar perjanjian kerja :
-Kesepakatan
-Kecakapan melakukan perbuatan hukum
-Adanya pekerjaan yang diperjanjikan
-Pekerjaan yang diberikan tidak bertentangan dengan UU, ketertiban umum &
kesusilaan.

* PERJANJIAN KERJA
Adanya sebuah Perjanjian kerja yang ditanda-tangani oleh kedua belah pihak baik oleh bos atau pemimpin perusahaan dan juga oleh buruh/karyawan.
Perjanjian kerja tersebut memuat :
-Nama, alamat perusahaan dan jenis usaha
-Identitas pekerja
-Jabatan dan jenis pekerjaan
-Tempat pekerjaan
-Besarnya upah
-Tanda tangan para pihak.
* DLL.
Ruang Lingkup
Sedangkan menurut teori itu sendiri ada 4 lingkup Laku Hukum antara lain :
* Lingkup Laku Pribadi (Personengebied)
Yang termasuk dalam lingkup ini adalah Buruh, Pengusaha dan pengusaha (pemerintah).
* Lingkup Laku Menurut Waktu (Tijdsgebied)
Didalam Hukum Perburuhan, ada peristiwa – peristiwa tertentu yang timbul pada waktu berbeda yaitu :
– Sebelum Hubungan Kerja terjadi
– Pada saat hubugnan kerja terjadi
– Sesudah hubungan kerja terjadi
* Lingkup Laku menurut Wilayah (Ruimtegebied)
Pembatas wilayah berlakunya kaedah Hukum Perburuhan mencakup hal – hal sebagai berikut :
– Regional
Dalam hal ini dapat dibedakan dua wilayah, yaitu Non – sektoral Regional dan Sektoral Regional.
– Nasional
Dalam hal ini juga mencakup dua wilayah berlakunya hukum perburuhan, yaitu Non – Sektoral Nasional dan Sektor Nasional.
* Lingkup Waktu Menurut Hal Ikhwal
Dilihat dari materi muatan Hukum Perburuhan, maka dapat di golongkan kedalam beberapa hal, diantaranya :
– Hal – hal yang berkaitan dengan Hubungan Kerja atau Hubungan Perburuhan.
– Hal – hal yang berkaitan dengan Perlindungan Jaminan Sosial dan Asuransi
Tenaga Kerja.
– Hal – hal yang berkaitan dengan Keselamatan Kerja dan Kesehatan Kerja.
– Hal – hal yang berkaitan dengan masalah penyelesaian perselisihan
perburuhan dan pemutusan hubungan kerja.
– Hal – hal yang berkaitan dengan masalah pengerahan Tenaga Kerja dan
Rekrutmen.
Hukum Perburuhan, Adalah seperangkat aturan dan norma baik tertulis maupun tidak tertulis yang mengatur pola hubungan Industrial antara Pengusaha, disatu sisi, dan Pekerja atau buruh disisi yang lain. Tidak ada definisi baku mengenai hukum perburuhan di Indonesia. Buku-buku hukum Perburuhan di dominasi oleh karya-karya Prof. Imam Soepomo. Guru besar hukum perburuhan di Universitas Indonesia. karyanya antara lain : Pengantar Hukum Perburuhan; Hukum Perburuhan Bidang Hubungan Kerja dan Hukum Perburuhan, Undang-undang dan Peraturan-peraturan.
Belakangan, pasca Reformasi Hukum Perburuhan karya-karya Prof. Imam Soepomo dianggap oleh sebagian kalangan sudah tidak relevan lagi. hal ini terutama oleh aktivis Serikat Buruh dan advokat perburuhan. meskipun di perguruan tinggi yang ada Fakultas Hukumnya di seluruh Indonesia, masih menggunakan buku-buku karya Imam Soepomo sebagai rujukan wajib.


Sejarah Hukum Perburuhan

Pasca reformasi, hukum perburuhan memang mengalami perubahan luar biasa radikal. baik secara regulatif, politik, ideologis bahkan ekonomi Global. proses industrialisasi sebagai bagian dari gerak historis ekonomi politik suatu bangsa dalam perkembanganya mulai menuai momentumnya. hukum perburuhan, setidaknya menjadi peredam konflik kepentingan antara pekerja dan pengusaha sekaligus.
Sebagai Peredam Konflik, tentu ia tidak bisa diharapkan maksimal. faktanya, berbagai hak normatif perburuhan yang mustinya tidak perlu lagi jadi perdebatan, namun kenyataanya Undang-undang memberi peluang besar untuk memperselisihkan hak-hak normatif tersebut. memang Undang-undang perburuhan juga mengatur aturan pidanaya namun hal tersebut masih dirasa sulit oleh penegak hukumnya. disamping seabrek kelemahan lain yang kedepan musti segera dicarikan jalan keluarnya.
Masa Orde baru yang dipimpin oleh Presiden Soeharto benar-benar membatasi Gerakan Serikat Buruh dan Serikat Pekerja. saat itu Organisasi Buruh dibatasi hanya satu organisasi SPSI (Serikat Pekerja Seluruh Indonesia).
pola penyelesaia hubungan Industrialpun dianggap tidak adil dan cenderung represif. TNI saat itu, misalnya, terlibat langsung bahkan diberikan wewenang untuk turut serta menjadi bagian dari Pola Penyelesaian hubungan Industrial. Saat itu, sejarah mencatat kasus-kasus buruh yang terkenal di Jawa Timur misalnya Marsinah dan lain-lain.
Hukum Perburuhan era Reformasi
Era Reformasi benar-benar membuka lebar arus demokrasi. Secara regulatif, dan Gradual hukum perburuhan kemudian menemukan momentumnya. hal tersebut terepresentasi dalam tiga paket Undang-Undang perburuhan antara lain: Undang-undang No. 21 tahun 2000 Tentang Serikat Buruh, Undang-undang No.13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, dan Undang-Undang No.2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI).
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 21 TAHUN 1954
TENTANG
PERJANJIAN PERBURUHAN ANTARA SERIKAT BURUH DAN MAJIKAN
Presiden Republik Indonesia,
Menimbang : bahwa perlu diadakan aturan-aturan tentang perjanjian mengenai syarat-syarat perburuhan antara serikat buruh dengan majikan; Mengingat : pasal 36 dan 89 Undang-undang Dasar Sementara Republik Indonesia;
Dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat;
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG PERJANJIAN PERBURUHAN ANTARA SERIKAT BURUH DAN MAJIKAN.
Pasal 1
(1) Perjanjian tentang syarta-syarat perburuhan antara serikat buruh dengan majikan (disingkat perjanjian perburuhan) ialah perjanjian yang diselenggarakan oleh serikat atau serikat-serikat buruh yang telah didaftarkan pada Kementerian Perburuhan dengan majikan, majikan-majikan, perkumpulan atau perkumpulan-perkumpulan majikan yang berbadan hukum, yang pada umumnya atau semata-mata memuat syarat-syarat, yang harus diperhatikan didalam perjanjian kerja.
(2) Perjanjian perburuhan dapat juga diselenggarakan untuk pekerjaan borongan atau untuk perjanjian melakukan sesuatu pekerjaan dan didalam hal ini berlaku juga ketentuan-ketentuan didalam undang-undang ini tentang perjanjian kerja, buruh dan majikan.
(3) Sesuatu atauran yang mewajibkan seorang majikan supaya hanya menerima atau menolak buruh mewajibkan seorang buruh hanya bekerja atau tidak boleh bekerja pada majikan dari sesuatu golongan, baik berkenaan dengan agama, golongan warga negara atau bangsa, maupun karena keyakinan politik atau anggota dari sesuatu perkumpulan, adalah tidak sah.
Demikian juga halnya dengan atauran-aturan yang bertentangan dengan hukum tentang ketertiban umum atau dengan kesusilaan.
Pasal 2
(1) Perjanjian perburuhan harus dibuat dengan surat resmi atau surat yang ditanda tangani oleh kedua belah pihak.
(2) Didalam Peraturan Pemerintah ditetapkan ketentuan-ketentuan tentang cara membuat dan mengatur perjanjian itu.
Pasal 3
(1)Sesuatu serikat buruh atau perkumpulan majikan yang menyelenggarakan perjanjian perburuhan, wajib memberitahukan isi perjanjian itu kepada anggota-anggotanya. Demikian juga bilamana oleh kedua belah pihak dibuat keterangan-keterangan terhadap perjanjian itu.
(2) Kewajiban tersebut pada ayat 1 berlaku juga, bilamana diadakan perubahan-perubahan didalam perjanjian perburuhan atau bilamana waktu berlakunya diperpanjang.
Pasal 4
(1)Sesuatu serikat buruh atau perkumpulan majikan yang menyelenggarakan perjanjian perburuhan, wajib mengusahakan agar anggota-anggotanya memenuhi aturan-aturan yang berlaku untuk mereka.
(2) Serikat buruh atau perkumpulan majikan tersebut hanya bertanggung jawab atas anggota-anggotanya, bilamana hal ini bitentukan didalam perjanjian perburuhan.
Pasal 5
Majikan dan buruh yang terikat oleh perjanjian perburuhan, wajib melaksanakan perjanjian itu sebaik-baiknya.
Pasal 6
(1)Mereka yang selama waktu berlakunya perjanjian perburuhan adalah anggota atau menjadi anggota sesuatu serikat buruh atau perkumpulan majikan yang menyelenggarakan perjanjian tersangkut didalam perjanjian itu, terikat oleh perjanjian itu.
(2) Mereka bertanggung jawab terhadap masing-masing pihak pada perjanjian perburuhan didalam hal menepati segala aturan, yang telah ditentukan bagi mereka.
Pasal 7
(1)Anggota-anggota serikat buruh atau perkumpulan majikan tetap terikat oleh perjanjian perburuhan, meskipun telah kehilangan keanggotaannya.
(2) Mereka tidak lagi terikat, bilamana setelah mereka kehilangan keanggotaannya, perjanjian tersebut diubah.
(3) Jika waktu berlakunya perjanjian itu diperpanjang atau dianggap diperpanjang sesudah mereka kehilangan keanggotaan, maka mereka hanya terikat sampai pada waktu berlakunya perjanjian itu dengan tidak diperpanjang akan habis.
Pasal 8
Pembubaran sesuatu serikat buruh atau perkumpulan majikan yang menyelenggarakan perjanjian perburuhan, tidak mengubah hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang bersangkutan dengan perjanjian tersebut.
Pasal 9
(1) Sesuatu aturan didalam perjanjian kerja antara seorang buruh dan seorang majikan yang bertentangan dengan perjanjian perburuhan yang mengikat kedua mereka itu, tidak sah; didalam hal itu aturan-aturan perjanjian perburuhan yang berlaku.
(2) Hal-hal yang tidak sah itu selalu dapat diajukan oleh tiap-tiap pihak dalam perjanjian perburuhan.
Pasal 10
Bilamana suatu perjanjian kerja tidak memuat aturan-aturan yang ditetapkan didalam perjanjian perburuhan yang mengikat buruh dan majikan itu juga, maka aturan-aturan perjanjian perburuhan itulah yang berlaku.
Pasal 11
(1)Menteri Perburuhan, setelah mendengar lebih dahulu pertimbangan pihak-pihak yang bersangkutan, dapat menetapkan supaya seorang majikan yang terikat oleh sesuatu perjanjian perburuhan memenuhi sebagian atau semua aturan-aturannya, juga bilamana dia menyelenggarakan perjanjian kerja dengan seorang buruh yang tidak terikat perjanjian perburuhan itu.
(2) Menteri tersebut dapat pula, setelah mendengan lebih dahulu pertimbangan pihak-pihak yang bersangkutan, menetapkan supaya sebagian atau seluruh perjanjian perburuhan yang mengenai suatu, lapang usaha yang tertentu, dipenuhi juga oleh buruh-buruh dan majikan-majikan dari lapang usaha yang sama, tidak terikat oleh perjanjian perburuhan tersebut.
(3) Didalam Peraturan Pemerintah ditetapkan aturan-aturan tentang penetapan-penetapan tersebut pada ayat 1 dan 2.
Pasal 12
Seorang majikan atau perkumpulan majikan yang terikat oleh sesuatu perjanjian perburuhan, tidak dapat menyelenggarakan perjanjian perburuhan dengan serikat buruh lain, yang memuat syarat-syarat kerja yang kurang dari pada yang termuat dalam perjanjian perburuhan yang sudah ada.
Pasal 13
(1) Sesuatu serikat buruh yang menyelenggarakan perjanjian perburuhan, dapat minta ganti kerugian, jika pihak yang lain pada perjanjian itu atau seorang anggotanya bertindak bertentangan dengan kewajibannya dalam perjanjian perburuhan tidak hanya untuk kerugian yang dideritanya sendiri, melainkan juga untuk kerugian yang diderita oleh anggota-anggotanya.
(2) Majikan yang menyelenggarakan perjanjian perburuhan, dapat minta ganti kerugian kepada serikat buruh atau buruh, yang sengaja berbuat bertentangan dengan kewajibannya.
Pasal 14
Bilamana kerugian itu tidak mungkin dinyatakan dengan uang, maka pengganti kerugian itu, ditetapkan berupa sejumlah uang atas dasar keadilan.
Pasal 15
(1) Mengenai pengganti kerugian didalam perjanjian perburuhan, dapat ditetapkan aturan-aturan denda, yang menyimpang dari ketentuan tersebut dalam pasal 12 dan 13.
(2) Aturan denda ini dapat diubah oleh pengadilan, bilamana kewajiban yang dikenakan hukuman itu untuk sebagian telah dipenuhi.
Pasal 16
(1) Sesuatu perjanjian perburuhan hanya dapat diselenggarakan untuk paling lama 2 tahun.
(2) Waktu itu dapat diperpanjang dengan paling lama 1 tahun lagi.
Pasal 17
(1)Masing-masing pihak pada Perjanjian perburuhan, karena alasan-alasan yang memaksa, dapat minta kepada pengadilan supaya membatalkan sebagian atau seluruhnya perjanjian itu.
(2) Sesuatu aturan didalam perjanjian itu, yang mengurangi atau melenyapkan ketentuan pada ayat 1, adalah tidak sah.
Pasal 18
Walaupun sesuatu perjanjian perburuhan diselenggarakan untuk waktu yang tertentu, maka jika didalam perjanjian itu tidak ada ketentuan yang lain, perjanjian itu dianggap sebagai diperpanjang terus menurut untuk waktu yang sama tetapi tidak lebih dari satu tahun, kecuali jika ada pernyataan untuk mengakhiri. Pernyataan itu harus diberitahukan sekurang-kurangnya satu bulan sebelum waktu yang dimaksudkan itu habis.
Pasal 19
Pernyataan mengakhiri perjanjian perburuhan harus disampaikan kepada semua pihak dalam perjanjian itu dan hanya dapat dilakukan dengan surat tercatat.
Pasal 20
Bilamana didalam perjanjian perburuhan tidak ada ketentuan yang lain, maka karena pernyataan untuk mengakhiri itu, perjanjian tersebut berhenti berlaku bagi semua pihak pada perjanjian itu.
Pasal 21
Perjanjian perburuhan yang berlaku pada hari undang-undang ini mulai berlaku, tetap berlaku sampai pada waktu berlakunya itu habis atau perjanjian itu diubah; didalam hal itu selanjutnya harus diturut aturan-aturan didalam undang-undang ini.
Pasal 22
Undang-undang ini disebut “Undang-undang perjanjian perburuhan tahun 1954”.
Pasal 23
Undang-undang ini mulai berlaku pada hari diundangkan.
Agar supaya setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan pengundangan undang-undang ini dengan penempatan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta pada tanggal 28 Mei 1954 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
SUKARNO
Diundangkan pada tanggal 12 Juni 1954 MENTERI PERBURUHAN,
S.M. ABIDIN
MENTERI KEHAKIMAN
DJODY GONDOKUSUMO
MEMORI PENJELASAN UNDANG-UNDANG ATAS UNDANG-UNDANGREPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 1954 TENTANG PERJANJIAN MENGENAI SYARAT-SYARAT PERBURUHAN ANTARA SERIKAT BURUH DAN MAJIKAN
UMUM:
1.Undang-undang yang mengatur suatu perjanjian antara dua belah pihak, pada pokoknya mengakui adanya dan berdasarkan atas kemauan dari kedua belah pihak itu untuk mendapat persetujuan tentang apa yang dikehendakinya. Dengan kata lain: adanya suatu keleluasaan bersepakat (contractwijheid). Suatu perjanjian-perburuhan tak ada gunanya dan tidak pada tempatnya, jika segala sesuatu ditentukan dan ditetapkan oleh Pemerintah saja.
2.Tetapi walaupun demikian, di dalam negara kita yang bukan kapitalistis ini, keleluasan itu harus dibatasi, yakni hanya di dalam lingkungan apa yang oleh Pemerintah dianggap layak. Sebab Pemerintah memegang teguh tujuannya untuk menlindungi siapa yang lemah, agar tercapai sesuatu imbangan yang mendekatkan masyarakat kita kepada suatu tujuan negara kita menjamin penghidupan yang layak bagi kemanusiaan untuk tiap-tiap warganegara. Antara lain harus diperhatikan ketentuan-detentuan yang dimuat didalam Undang-undang Kerja (Undang-undang No. 1 tahun 1951).
3. Dipandang dari sudut perlindungan itu, maka undang-undang ini merupakan suatu lanjutan, karena dengan undang-undang ini buruh diberi hak untuk bersama-sama (collectieve) dengan jalan perwakilan menuju ke arah tingkat yang lebih tinggi. Lain daripada itu, Undang-undang ini memberikan kepada serikat buruh yang terdaftar di Kementerian Perburuhan kemampuan untuk bertindak di dalam lingkungan lapangan hukum *787 perjanjian-perburuhan. Ketentuan ini perlu karena undang-undang yang memberikan kedudukan pendiri-hukum (rechtssubject) kepada serikat buruh belum ada. Untuk memberikannya kedudukan ini dengan undang-undang ini agak sukar dilakukan karena: pertama bukan tempatnya dan kedua belum menyelami dengan seksama bagaimana akibat-akibatnya bagi serikat buruh dalam pertumbuhan sekarang ini.
4.Perjanjian-perburuhan (collectieve arbeidsovereenkomst) yang telah diselenggarakan oleh serikat buruh itu tidak dapat diabaikan dengan begitu saja oleh seorang buruh yang mengadakan perjanjian-kerja (individueele arbeidsovereenkomst) (pasal 9 ayat 1). Dan perjanjian-perburuhan yang sangat manfaat bagi buruh, oleh Menteri Perburuhan dapat dipaksakan kepada majikan-majikan lainnya untuk dilaksanakan di dalam perusahaannya masing-masing (pasal 11 ayat 1 dan 2).
5.Selanjutnya undang-undang ini mengatur akibat-akibat dari tindakan serikat buruh terhadap anggota-anggotanya, hubungan anggota-anggota itu dengan pihak lainnya pada perjanjian itu, hubungan suatu perjanjian-perburuhan dengan perjanjian kerja hubungan suatu perjanjian-perburuhan dengan perburuhan lainnya dan sebagainya. Semua itu mengenai soal-soal hukum (juridisch) yang dengan jelas diterangkan di dalam penjelasan pasal demi pasal. Sekedar sebagai pegangan perlu diterangkan apa yang dimaksudkan dengan beberapa istilah yang umum. Dengan serikat buruh tidak hanya dimaksudkan suatu serikat buruh pada suatu perusahaan atau suatu lapang usaha, ataupun suatu serikat buruh dari suatu keahlian (vak), melainkan juga gabungan dari beberapa atau berbagai-bagai serikat buruh. Buruh ialah seorang yang melakukan pekerjaan di bawah pimpinan majikan untuk sesuatu waktu dengan menerima upah, sedang majikan ialah seorang pada siapa buruh itu bekerja.
Pasal demi pasal
Pasal 1
(1) Perjanjian-perburuhan ialah peraturan induk bagi perjanjian kerja antara seorang anggota serikat buruh pada satu pihak dengan seorang majikan atau seorang anggota perkumpulan majikan pada pihak yang lain, baik yang sudah maupun yang belum diselenggarakan. Serikat-serikat buruh hanya dapat menyelenggarakan perjanjian-perburuhan jika telah didaftar di Kementerian Perburuhan. Dengan pernyataan ini undang-undang ini berkehendak memberikan kemampuan kepada serikat buruh untuk bertindak dalam hukum, yakni bertindak sebagai penyelenggara perjanjian-perburuhan ini dan di dalam hal-hal yang ditentukan di dalam undang-undang ini. Kata “pada umumnya” memberi kesempatan kepada kedua belah pihak untuk juga memuat hal-hal yang bukan semata-mata mengenai syarat-syarat perburuhan, umpamanya mengadakan panitia, terdiri dari anggota-anggota buruh dan majikan untuk mengawasi dijalankannya itu. Dengan demikian maka kedua pihak merdeka mengisi perjanjian itu. Cara yang lain, yakni menentukan satu hal demi satu hal apalah yang boleh diatur di dalam perjanjian-perburuhan tidak dapat dipergunakan, karena agak kaku, yang pada hari kemudian mungkin menghalang-halangi kemajuan perjanjian-perburuhan. Kemerdekaan kedua belah pihak tersebut hanya dibatasi dalam hal-hal tersebut dalam ayat 4. “Di dalam perjanjian-bekerja” berarti sebagai telah dikatakan di atas, bahwa perjanjian-perburuhan yang pada sesuatu waktu diselenggarakan itu tidak hanya berlaku untuk perjanjian-kerja yang di kemudian hari akan diselenggarakan, melainkan juga untuk perjanjian-kerja yang sudah diselenggarakan pada waktu itu. Perjanjian-perburuhan adalah salah satu usaha untuk menjernihkan suasana di dalam perusahaan. Apabila itu sudah tercapai maka tujuan untuk menghasilkan sebanyak-banyaknya harus segera dikejar. Oleh sebab itu majikan harus memenuhi kewajibannya dan buruh harus sedikit-dikitnya memberi minimum arbeidsprestatie.
(2) Di samping perjanjian-kerja, yang pada pokoknya mengenai pekerjaan yang dijalankan oleh buruh di bawah pimpinan majikan, untuk sesuatu waktu dengan menerima upah terdapat pula: pertama perjanjian-pekerjaan borongan yang menyatakan pihak yang kesatu, pemborong, berjanji, untuk pihak yang lain, yang memborongkan, dengan harga yang tertentu menghasilkan suatu buah pekerjaan yang telah ditetapkan, umpamanya membuat rumah, kursi, dan lain-lainnya dan kedua perjanjian melakukan sesuatu pekerjaan yang menyatakan bahwa pihak pertama berjanji melakukan sesuatu pekerjaan dengan upah untuk pihak yang lain, umpamanya antara seorang dokter dengan yang berobat, dan dalam hal itu kedua macam pekerjaan itu tidak dilakukan di bawah pimpinan majikan, sehingga dalam ayat 3 ini perlu ditentukan bahwa perjanjian-perburuhan, dapat juga diselenggarakan untuk pekerjaan borongan dan perjanjian melakukan sesuatu pekerjaan, sesuatunya semata-mata untuk menghilangkan keragu-raguan tentang dapat diselenggarakan atau tidaknya perjanjian-perburuhan bagi pekerjaan borongan dan perjanjian melakukan sesuatu pekerjaan.
(3) Bahwasanya aturan-aturan yang bertentangan dengan hukum tentang ketertiban umum atau dengan kesusilaan itu tidak sah, sudah selayaknya, karena itu tidak perlu di sini diterangkan panjang lebar. Sebabnya ketentuan ini didapat pada ayat 4 itu hanyalah untuk menegaskan sekali lagi adanya azas (beginsel) itu dalam hukum perdata kita. Larangan lainnya semata-mata ditujukan untuk menjaga timbulnya kedudukan yang bersifat monopolistisch dari: serikat buruh yang memaksa seorang majikan untuk hanya menerima umpamanya buruh Kristen, buruh-auruh warganegara Indonesia bukan asli, buruh bangsa asing, buruh berhaluan sosialis atau buruh yang menjadi anggota dari perkumpulan A atau menolak umpamanya buruh Islam, buruh warga-negara Indonesia asli, buruh warganegara Indonesia, buruh berhaluan komunis atau buruh yang menjadi anggota dari perkumpulan B; majikan yang memaksa buruh untuk hanya bekerja atau tidak boleh bekerja umpamanya pada majikan Kristen, majikan warganegara Indonesia bukan asli, majikan bangsa asing, majikan berhaluan sosialis atau majikan yang menjadi anggota dari perkumpulan A.
Pasal 2
Cukup jelas.
Pasal 3
(1) Karena pentingnya akibat perjanjian itu, maka dimintakan bentuk yang tertentu.
Yang dimaksud dengan surat resmi (authentiek) ialah surat yang dibuat oleh orang atau pegawai yang berhak membuatnya umpamanya notaris, sedang surat yang ditandatangani oleh kedua belah pihak (onderhandsche akte) ialah surat yang justru memuat perjanjian-perburuhan. (2) Berhubung dengan penilikan umum dari Kementerian Perburuhan yang diserahi urusan terhadap perburuhan, maka Pemerintah harus mendapat bahan-bahan yang cukup untuk memungkinkan penilikan itu dilakukan dengan tepat dan cepat (effectief). Karena itu Pemerintah dapat memerintahkan kepada sesuatu pihak untuk mendaftarkan surat-perjanjian itu pada Pemerintah, memberi contoh surat perjanjian agar terdapat kesatuan dalam bentuknya (uniformiteit) dan sebagainya, misalnya memuat aturan-aturan tentang:
1.tingginya upah,
2.uang lembur,
3. upah pada waktu sakit,
4. upah pada Hari Raya,
5. pengawasan upah,
6. buku-upah,
7. waktu-kerja,
8. pemeliharaan waktu sakit,
9. waktu berlakunya perjanjian.
Pasal 4
Karena perjanjian yang diselenggarakan itu berlaku buat anggota-anggota maka perlu supaya isinya diberitahukan kepada mereka. Caranya terserah kepada perkumpulan yang bersangkutan apakah dengan lisan ataukah dengan memberikan turunan surat perjanjian kepada anggota-anggotanya.
Maksud pasal ini terutama ialah bahwa tidak tahunya seorang anggota tidak dapat diajukan kepada pihak yang lain.
Pemberitahuan itu sebetulnya, tidak berat bagi perkumpulan yang bersangkutan karena pada umumnya anggota-anggota telah mengetahui pada waktu menyetujuinya di dalam rapat anggota.
Hukum pelanggaran ini adalah suatu soal antara anggota dengan perkumpulannya (intern) yang harus diatur dalam peraturan dasarnya.
Pasal 5
Mengenai kewajiban dan tanggung-jawab perkumpulan atasanggota-anggotanya yang harus memenuhi aturan-aturan dalam perjanjian-perburuhan, terdapat dua aliran yang sangat berlainan:
a.perkumpulan tersebut menanggung dengan sepenuhnya bahwa anggota-anggotanya akan memenuhi semua aturan-aturan itu, dan perkumpulanlah yang bertanggung-jawab bilamana anggota-anggota itu melanggar perjanjian-perburuhan,
b.perkumpulan tidak ikut campur dalam urusan aturan-aturan yang berlaku bagi anggota-anggotanya. Pelanggaran oleh *790 anggota-anggotanya bukanlah tanggungannya.
Pasal ini mengambil jalan tengah.
Aliran b yang menyatakan perkumpulan sedikitpun tidak bertanggung-jawab, memungkinkan perkumpulan dengan secara diam-diam menghalang-halangi anggota-anggotanya memenuhi kewajiban-kewajiban mereka, tak dapat diturut, karena ayat 1 mewajibkan perkumpulan mengusahakan agar anggota-anggotanya memenuhi kewajiban-kewajiban mereka.
Dengan demikian tidak cukuplah bilamana perkumpulan itu hanya bersifat pasif, tetapi harus juga bertindak positif ialah mengusahakan agar anggota-anggotanya memenuhi kewajiban-kewajiban mereka.
Aliran a, bilamana dimuat di dalam undang-undang, dapat menghalang-halangi kemajuan perjanjian-perburuhan karena mungkin banyak perkumpulan takut mengadakan perjanjian-perburuhan.
Karena itu dalam pasal 4 ayat 2 hanya ditetapkan bahwa perkumpulan hanya bertanggung-jawab atas anggota-anggotanya, bilamana hal ini ditentukan di dalam perjanjian-perburuhan itu sendiri. Jadi terserah kepada masing-masing pihak.
Pasal 6, 7 dan 8
Setelah pasal 5 menentukan kewajiban yang ditanggung oleh perkumpulan yang menyelenggarakan perjanjian-perburuhan, maka pasal 6, 7 dan 8 menetapkan kedudukan anggota-anggota terhadap perjanjian-perburuhan itu yang diselenggarakan oleh perkumpulan mereka masing-masing.
Sesuatu azas hukum yang pokok ialah bahwa sesuatu perjanjian hanya berlaku antara pihak-pihak yang menyelenggarakan perjanjian itu, sekali-kali tidak juga berlaku untuk orang ketiga.
Karena itu harus ditentukan dengan tegas dalam undang-undang bahwa:
1.semua anggota suatu perkumpulan yang menyelenggarakan perjanjian-perburuhan terikat oleh perjanjian itu (pasal 6 ayat 1);
2.mereka yang kemudian menjadi anggota (anggota-baru) suatu perkumpulan yang menyelenggarakan perjanjian-perburuhan, menjadi terikat oleh perjanjian itu (pasal 6 ayat 1);
3.mereka yang kehilangan keanggotaannya, baik karena dipecat maupun keluar atas permintaan sendiri, tetap terikat hingga waktu berlakunya perjanjian itu habis, sungguhpun apabila waktu itu diperpanjang, atau sampai perjanjian itu diubah (pasal 7);
4.mereka tetap terikat juga bilamana perkumpulan mereka dibubarkan (pasal 8).
Ad. 1 dan 2. Telah terang.
Perkataan “tersangkut dalam perjanjian itu” umpamanya demikian:
Serikat buruh pabrik gula menyelenggarakan perjanjian- *791 perburuhan untuk anggota-anggota buruh teknik. Perjanjian ini tidak berlaku bagi anggota-anggota buruh pengangkutan karena mereka ini tidak “tersangkut dalam perjanjian itu”. Maksud ayat 2 pasal 6 ialah bahwa seorang anggota yang melanggar, bertanggungjawab terhadap perkumpulannya sendiri dan terhadap perkumpulan yang menjadi pihak lainnya.
Ad. 3.Pasal 7 ini ialah untuk mencegah keluarnya seorang anggota yang bermaksud menghindarkan diri dari kewajiban-dewajiban yang berlaku baginya. Umpamanya seorang majikan keluar dari perkumpulan majikan, hanyalah disebabkan untuk mencapai maksudnya mengadakan perjanjian-perjanjian-kerja yang lebih menguntungkan baginya.
Ad. 4. Walaupun pasal 7 ayat 1 telah menentukan bahwa, bekas anggota-anggota tetap terikat oleh pejanjian-perburuhan dan azas hukum perkumpulan menyatakan bahwa sesuatu perkumpulan yang dibubarkan masih harus bertanggung-jawab atas, penyelesaian kewajiban-kewajibannya, tetapi perlu hal itu ditentukan dengan tegas dalam pasal 8, dengan maksud untuk menghilangkan keragu-raguan.
Pasal 9
(1) Sebagai telah dikatakan pada penjelasan pasal 1 ayat 1, perjanjian-perburuhan ialah peraturan induk atau peraturan dasar bagi perjanjian-kerja antara seorang buruh dan seorang majikan yang terikat oleh perjanjian-perburuhan itu. Pasal 9 ini sekarang menentukan dengan tegas kedudukan kedua jenis perjanjian itu dan perhubungannya antara satu dengan lainnya. Karena kedudukan perjanjian-perburuhan sebagai aturan dasar itu, maka aturan dalam perjanjian-kerja yang bertentangan dengan sendirinya tidak berlaku. Karena aturan-aturan yang bertentangan itu tidak berlaku, maka perlulah dinyatakan dengan tegas manalah gantinya yang berlaku, karena jika tidak demikian maka dapatlah diartikan bahwa soal itu tidak diatur lagi dan bahwa yang dirugikan hanya dapat minta pengganti kerugian, tidak juga untuk memenuhi aturan yang dimuat dalam perjanjian-perburuhan.
Pasal 9 ini juga penting karena justru oleh ketentuan itu yang dirugikan (buruh) dapat memajukan sendiri perkaranya di muka pengadilan. Jika ketentuan tersebut dalam pasal 9 itu tidak ada, maka yang dapat bertindak menurut pasal 13 hanyalah yang menjadi pihak dalam perjanjian-perburuhan.
(2) Sesuatu hal yang tidak sah adalah mutlak (absoluut) tetapi tidak semua orang dapat memajukannya di muka pengadilan karena sesuatu azas hukum acara menetapkan bahwa untuk dapat memajukan sesuatu hal dimuka pengadilan, yang memajukannya itu harus mempunyai kepentingan. Untuk menetapkan bahwa kedua belah pihak dalam perjanjian-perburuhan dapat mengajukannya dengan tidak usah menyatakan kepentingannya itulah maksud ayat 2 ini.
Pasal 10
Pasal 9 di antaranya menentukan bahwa bilamana aturan di dalam perjanjian-kerja bertentangan dengan aturan di dalam perjanjian- *792 perburuhan maka aturan perjanjian-perburuhan yang berlaku.
Pasal 10 inilah sekarang yang menentukan bahwa aturan-aturan di dalam perjanjian-perburuhan itu jugalah yang akan berlaku, bilamana perjanjian-kerja tidak memuat aturan-aturan itu.
Pasal 11
(1) Sebagai pihak yang kuat, majikan oleh Menteri yang diserahi urusan perburuhan dapat diwajibkan menetapi aturan-aturan perjanjian-perburuhan juga bilamana dia berhubungan dengan buruh yang tidak terikat oleh perjanjian-perburuhan. Hal itu perlu agar majikan itu tidak dapat menerima buruh misalnya dengan upah yang lebih rendah dan sebagainya.
Di dalam penjelasan pasal 6, 7 dan 8 dikatakan bahwa suatu azas hukum yang pokok ialah bahwa suatu perjanjian hanya berlaku antara mereka yang menyelenggarakan perjanjian itu, sekali-kali tidak juga berlaku untuk orang ketiga. Karena itu maka ketiga pasal ini menentukan bahwa perjanjian-perburuhan yang diselenggarakan oleh pihak serikat buruh dengan majikan berlaku juga untuk anggota-anggota serikat itu. Ketentuan itu telah selayaknya, karena maksud perjanjian itu ialah justru menetapkan hal-hal yang berlaku untuk anggota. Jadi ketentuan itu ialah akibat langsung dari sifat perjanjian-perburuhan.
Lain halnya dengan kepastian dalam pasal 11 ini. Berlakunya perjanjian-perburuhan bagi orang ketiga yang bukan anggota serikat buruh, ialah akibat yang langsung timbul karena perjanjian itu. Karena itu agak tidak selayaknya kepastian itu ditetapkan di sini.
Tetapi justru untuk melindungi buruh yang belum menjadi anggota perlu kepastian itu diadakan. Di dalam praktek buruh barulah menjadi anggota suatu serikat buruh bilamana dia sudah bekerja pada perusahaan yang berhubungan dengan serikat buruh itu. Kepastian itu sifatnya tidak lagi semata-mata mengatur (regelend) tetapi perintah (dwingend).
Di atas tidak diterangkan bahwa perintah ini berdasarkan atas maksud melindungi buruh yang belum menjadi anggota, supaya dia juga merasakan kemajuan yang akan dicapai oleh serikat buruh, yang dia belum menjadi anggotanya.
Mungkin perlindungan ini menimbulkan pikiran kurang setuju di pihak pergerakan buruh, karena mungkin melemahkan pergerakan. Tetapi mengingat rasa peri-kemanusiaan dan rasa solidaritet kaum buruh pada umumnya, perlindungan itu akan mendapat sambutan gembira, lagi pula sebagai telah dikatakan di atas di dalam prakteknya buruh baru masuk menjadi anggota kalau sudah bekerja. Hal ini sebagian besar terletak pada kebijaksanaan pemimpin pergerakan.
(2) Karena ayat 2 ini Menteri dapat memaksakan suatu perjanjian-perburuhan kepada buruh-buruh dan majikan-majikan yang tidak terikat oleh perjanjian itu. Perjanjian itu harus dipenuhi oleh kedua golongan itu. Tetapi lapang usahanya harus sama. Misalnya perjanjian-perburuhan antara serikat buruh perusahaan batik dengan perusahaan batik, dapat dipaksakan *793 kepada buruh dan majikan dari perusahaan batik lainnya.
Bilamana Menteri itu akan mempergunakan haknya tergantung pada keadaan, misalnya perjanjian-perburuhan perusahaan batik di Jakarta, sukar untuk dipaksakan pada perusahaan batik di desa di pegunungan.
(3) Di dalam Peraturan Pemerintah nanti dapat dimuat ketentuan bahwa inisiatif untuk memaksakan suatu perjanjian-perburuhan itu dapat dimajukan pula oleh majikan-majikan yang menyelenggarakan perjanjian itu atau oleh majikan-majikan yang bersangkutan dan akhirnya oleh serikat buruh yang menyelenggarakan perjanjian itu atau serikat buruh dari perusahaan itu sendiri.
Pasal 12
Pasal 11 pokoknya melarang seorang majikan menyelenggarakan perjanjian-kerja dengan buruh yang tidak terikat yang bertentangan dengan aturan perjanjian-perburuhan, sedangkan maksud pasal 12 ini ialah menyempurnakan pasal itu dengan menyatakan bahwa seorang majikan atau perkumpulan majikan yang telah mengadakan perjanjian-perburuhan dengan sesuatu serikat buruh dilarang mengadakan perjanjian-perburuhan baru dengan serikat buruh yang lain yang bertentangan dengan perjanjian-perburuhan yang telah diselenggarakan itu.
Pasal 13
Pasal 13 ini mengatur akibat dari pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh sesuatu pihak pada perjanjian-perburuhan atau anggota-anggotanya seperti juga pasal 9.
Pasal 9 menetapkan bahwa buruh dapat bertindak sendiri hanya bilamana perjanjian-kerjanya memuat aturan yang bertentangan dengan aturan dari perjanjian-perburuhan. Hak ini adalah akibat dari pelanggaran-perjanjian-kerjanya, sendiri yang harus sesuai dengan aturan-aturan dari perjanjian-perburuhan, sekali-dali bukan akibat dari perjanjian-perburuhan.
Pelanggaran-pelanggaran yang langsung mengenai perjanjian perburuhan tidak dapat dituntut oleh buruh sendiri, melainkan harus dituntut oleh serikat buruhnya. Ketentuan ini adalah penting karena kedudukan serikat itu baik psychologis, maupun ekonomis tidak begitu lemah terhadap majikan daripada kedudukan buruh masing-masing, yang pada umumnya kurang cakap dan kurang berani berhadapan dengan majikan.
Untuk mencegah jangan sampai serikat buruh atau buruh perseorangan sengaja berbuat bertentangan dengan maksud perjanjian-perburuhan maka majikan berhak menuntut serikat buruh atau buruh sendiri.
Pasal 14
Ketentuan dalam pasal ini perlu dimuat karena kerugian dari perkumpulan sebagai akibat pelanggaran acapkali tidak dapat dinyatakan dengan uang.
Tidak ditentukan di sini bahwa pengadilan yang menetapkan *794 pengganti kerugian itu, maksudnya memberi kelonggaran kepada kedua belah pihak mengatur di dalam perjanjian-perburuhan supaya hal itu umpamanya ditetapkan oleh sebuah panitia.
Pasal 15
Pasal ini memberi kesempatan kepada kedua belah pihak untuk menetapkan sesuatu denda yang tertentu (boete-beding) di dalam perjanjian mereka, sedangkan denda itu dapat diubah oleh pengadilan bilamana kewajiban yang dikenakan denda itu sebagian telah dipenuhi. Ketentuan dalam ayat-ayat ini diperlukan untuk menjaga keadilan.
Pasal 16 dan 17
Maksud perjanjian-perburuhan ialah untuk mencapai stabliitet di dalam syarat-syarat bekerja (arbeidsvoorwaarden). Makin lama stabilitet ini dapat dipertahankan makin baik akibatnya bagi dunia perburuhan. Dipandang dari sudut itu, maka tidak pada tempatnyalah menentukan batas waktu berlakunya perjanjian-perburuhan.
Tetapi di samping itu harus juga diperhatikan bahwa mereka yang menyelenggarakan perjanjian itu tidak selalu dapat menduga hal-hal yang akan terjadi di kemudian hari. Aturan-aturan yang sekarang kelihatannya sempurna, mungkin akan ternyata kelak ada kekurangan-kekurangan atau memuat sesuatu yang menjerat mereka, disebabkan oleh perubahan-perubahan keadaan.
Lebih-lebih pada zaman sekarang ini, pada waktu harga barang-barang dan tingginya upah sangat goncang, jauh daripada tetap, mudah dimaklumi bahwa perjanjian-perburuhan yang diselenggarakan untuk waktu lebih dari satu tahun, sukar dapat dipertahankan. Justru karena itu di samping pasal 16 ditetapkan dalam pasal 17 bahwa masing-masing pihak sewaktu-waktu dapat minta kepada pengadilan untuk membatalkan perjanjian mereka.
Alasan yang agak memaksa (gewichtige redenen) adalah keadaan-keadaan yang bilamana tidak diperhatikan menimbulkan rasa tidak adil. Walaupun bagi pengadilan agak sukar untuk menentukan keadaan apakah yang agak memaksa itu, hal ini tidak dapat dipergunakan sebagai alasan untuk membiarkan mereka yang terjerat oleh sesuatu perjanjian yang oleh mereka sendiri dirasakan sebagai tidak adil lagi.
Pasal 18
Walaupun di dalam perjanjian itu telah ditetapkan waktu berlakunya perjanjian itu, di dalam perjanjian masih harus dimuat juga ketentuan bahwa perjanjian itu akan habis apabila waktu itu telah berakhir.
Jika hal ini tidak ditentukan dan pernyataan pengakhiran tidak diberikan, maka perjanjian itu dianggap diperpanjang. Ketentuan ini perlu agar yang berkepentingan mengetahui benar-benar bilamana perjanjian mereka berakhir berlaku, jangan sampai mereka nanti dengan sekonyong-konyong menjumpai kenyataan bahwa antara mereka perjanjian itu tidak lagi berlaku.
Pasal 19
Cara menyatakan pengakhiran ini perlu ditetapkan untuk mencegah kesulitan-kesulitan yang mungkin timbul berhubung dengan pernyataan itu.
Pasal 20
Kepada semua pihak pada perjanjian-perburuhan itu diberikan kesempatan untuk menentukan bahwa pernyataan itu hanya berlaku untuk pihak yang mengatakannya dan bahwa perjanjian masih tetap berlaku bagi pihak lain-lainnya.
Pasal 21
Aturan ini ialah aturan peralihan. Jika perjanjian-perburuhan yang telah ada pada hari undang-undang ini berlaku diubah, maka selanjutnya harus diturut aturan-aturan dari undang-undang ini. Perjanjian-perburuhan itu tidak dapat diperpanjang atau dianggap diperpanjang. Yang berkepentingan harus menyelenggarakan perjanjian-perburuhan baru menurut undang-undang ini.
——————————–
CATATAN
No. 598a.SERIKAT BURUH. MAJIKAN. PERJANJIAN PERBURUHAN. Penjelasan Undang-undang No. 21 tahun 1954, tentang perjanjian perburuhan antara serikat buruh dan majikan.
RALAT.
Memori penjelasan Undang-undang No. 21 tahun 1954, tentang “perjanjian Perburuhan Antara Serikat Buruh dan Majikan”, yang dimuat dalam Tambahan Lembaran Negara No. 598, mulai dari kepalanya pada halaman 1 hingga kata “ini” dalam kalimat kedua, alinea pertama pada halaman 12, dibatalkan seluruhnya dan diganti dengan tekst baharu seperti yang tercantum di bawah ini :
SARIKAT BURUH. MAJIKAN. PERJANJIAN PERBURUHAN. Penjelasan Undang-undang No. 21 tahun 1954, tentang perjanjian perburuhan antara serikat buruh dan majikan.
Umum :
1.Undang-undang yang mengatur suatu perjanjian antara dua belah pihak pada pokoknya mengakui adanya dan berdasarkan atas kemauan dari kedua belah pihak itu untuk mendapat persetujuan tentang apa yang dikehendakinya. Dengan kata lain : adanya suatu keleluasaan bersepakat (contractvrijheid). Suatu perjanjian perburuhan tak ada gunanya dan tidak pada tempatnya, jika segala sesuatu ditentukan dan ditetapkan oleh Pemerintah saja.
2.Tetapi walaupun demikian keleluasaan itu harus dibatasi, yakni hanya di dalam lingkungan apa yang oleh Pemerintah dianggap layak. Sebab Pemerintah memegang teguh tujuannya untuk melindungi siapa yang lemah, agar tercapai sesuatu imbangan yang mendekatkan masyarakat kita kepada suatu tujuan negara kita menjamin penghidupan yang layak bagi *796 kemanusiaan untuk tiap-tiap warga negara. Antara lain harus diperhatikan ketentuan-ketentuan yang dimuat dalam, Undang-undang Kerja Tahun 1948″.
3.Dipandang dari sudut perlindungan itu. maka Undang-undang ini merupakan suatu lanjutan, karena dengan Undang-undang ini buruh diberi hak untuk bersama-sama (collectief) dengan jalan perwakilan menuju ke arah tingkat yang lebih tinggi.
4.Perjanjian perburuhan (collectieve arbeidsovereenkomst) yang telah diselenggarakan oleh serikat buruh itu, tidak dapat diabaikan begitu saja oleh seorang buruh yang mengadakan perjanjian kerja (individueele arbeidsovereenkomst) (pasal 9 ayat 1). Dan perjanjian perburuhan yang sangat manfaat bagi buruh, oleh Menteri Perburuhan dapat dipaksakan kepada majikan-majikan lainnya untuk dilaksanakan di dalam perusahaannya masing-masing (pasal 11 ayat 1 dan 2).
5.Selanjutnya Undang-undang ini mengatur akibat-akibat dari tindakan serikat buruh terhadap anggauta-anggautanya, hubungan anggauta-anggauta itu dengan pihak lainnya pada perjanjian itu, hubungan suatu perjanjian perburuhan dengan perjanjian kerja, hubungan suatu perjanjian perburuhan dengan perjanjian perburuhan lainnya, dan sebagainya. Semua itu mengenai soal-soal hukum yang dengan jelas diterangkan di dalam penjelasan pasal demi pasal. Sekedar sebagai pegangan perlu diterangkan apa yang dimaksudkan dengan beberapa istilah yang umum. Dengan serikat buruh tidak hanya dimaksudkan suatu serikat buruh pada suatu perusahaan atau suatu lapang usaha ataupun suatu buruh dari suatu keahlian (vak), melainkan juga gabungan dari beberapa atau berbagai-bagai buruh.
Buruh ialah seorang yang melakukan pekerjaan di bawah pimpinan majikan untuk sesuatu waktu dengan menerima upah, sedang majikan ialah seorang pada siapa buruh itu bekerja.
Pasal Demi Pasal Pasal 1.
(1)Perjanjian perburuhan ialah peraturan induk bagi perjanjian kerja antara seorang anggauta serikat buruh pada satu pihak dengan seorang majikan atau seorang anggauta perkumpulan majikan pada pihak yang lain, baik yang sudah maupun yang belum diselenggarakan. Serikat-serikat buruh hanya dapat menyelenggarakan perjanjian perburuhan jika telah didaftar di Kementerian Perburuhan.
Kata “pada umumnya” memberi kesempatan kepada kedua belah pihak untuk juga memuat hal-hal yang bukan semata-mata mengenai syarat-syarat perburuhan, umpamanya mengadakan panitya, terdiri dari anggauta-anggauta buruh dan majikan) untuk mengawasi dijalankannya itu. Dengan demikian maka kedua pihak merdeka mengisi perjanjian. Cara yang lain, yakni menentukan satu hal demi satu hal apa yang boleh diatur di dalam perjanjian perburuhan tidak dapat dipergunakan, karena agak kaku, yang pada hari kemudian mungkin menghalang-halangi kemajuan perjanjian perburuhan. Kemerdekaan kedua belah pihak tersebut hanya dibatasi dalam *797 hal-hal tersebut dalam ayat 3. “Di dalam perjanjian kerja” berarti sebagai telah dikatakan di atas, bahwa perjanjian Perburuhan yang pada sesuatu waktu diselenggarakan itu tidak hanya berlaku untuk perjanjian kerja yang dikemudian hari akan diselenggarakan, melainkan juga untuk perjanjian kerja yang sudah diselenggarakan pada waktu itu.
(2)Disamping perjanjian kerja, yang pada pokoknya mengenai pekerjaan yang dijalankan oleh buruh di bawah pimpinan majikan, untuk sesuatu waktu dengan menerima upah terdapat pula : pertama perjanjian pekerjaan borongan yang menyatakan pihak yang kesatu, pemborong, berjanji untuk pihak yang lain, yang memborongkan, dengan harga yang tertentu menghasilkan suatu buah pekerjaan yang telah ditetapkan, umpamanya membuat rumah, kursi, dan lain-lain dan kedua perjanjian melakukan sesuatu pekerjaan tertentu yang menyatakan bahwa pihak pertama berjanji melakukan sesuatu pekerjaan dengan upah untuk pihak yang lain, umpamanya antara seorang dokter dengan yang berobat, dan dalam hal itu kedua macam pekerjaan itu tidak dilakukan dibawah pimpinan majikan, sehingga dalam ayat 2 ini perlu ditentukan bahwa perjanjian perburuhan, dapat juga diselenggarakan untuk pekerjaan tertentu, sesuatu-nya semata-mata untuk menghilangkan keragu-raguan tentang dapat diselenggarakan atau tidaknya perjanjian perburuhan bagi pekerjaan borongan dan perjanjian melakukan sesuatu pekerjaan tertentu.
(3)Bahwasanya aturan-aturan yang bertentangan dengan hukum tentang ketertiban umum atau dengan kesusilaan itu tidak sah, sudah selayaknya, karena itu tidak perlu di sini diterangkan panjang lebar. Sebabnya ketentuan ini didapat pada ayat 4 itu hanyalah untuk menegaskan sekali lagi adanya azas (beginsel) itu dalam hukum perdata kita.
Larangan lainnya semata-mata ditujukan untuk menjaga timbulnya kedudukan yang bersifat monopolistis dari :
Serikat buruh yang memaksa seorang majikan untuk hanya menerima umpamanya buruh keristen, buruh-buruh warga negara Indonesia, buruh bangsa asing, buruh berhaluan sosialis atau buruh yang menjadi anggauta dari perkumpulan A atau menolak umpamanya buruh Islam, buruh warga negara Indonesia, buruh berhaluan Kominis atau buruh yang menjadi anggauta dari perkumpulan B; majikan yang memaksa buruh untuk hanya bekerja atau tidak boleh bekerja umpamanya pada majikan Keristen, majikan warganegara Indonesia, majikan bangsa asing, majikan berhaluan sosial atau majikan yang menjadi anggauta dari perkumpulan A.
Pasal 2.
(1)Karena pentingnya akibat perjanjian itu, maka dimintakan bentuk yang tertentu. Yang dimaksud dengan surat resmi (authentiek) ialah surat yang dibuat oleh orang atau pegawai yang berhak membuatnya umpamanya notaris, sedang surat yang ditanda tangani oleh kedua belah pihak (onderhandsche akte) ialah surat yang justru memuat perjanjian perburuhan. (2)Cukup, jelas.
Pasal 3.
Karena perjanjian yang diselenggarakan itu berlaku buat anggauta-anggauta maka perlu supaya isinya diberitahukan kepada mereka. Caranya terserah kepada perkumpulan yang bersangkutan apakah dengan lisan ataukah dengan memberikan turunan surat perjanjian kepada anggauta-anggautanya.
Maksud pasal ini terutama ialah bahwa tidak tahunya seorang anggauta tidak dapat diajukan kepada pihak yang lain.
Pemberitahuan itu sebetulnya tidak berat bagi perkumpulan yang bersangkutan karena pada umumnya anggauta-anggauta telah mengetahui pada waktu menyetujuinya di dalam rapat anggauta.
Hukuman pelanggaran ini adalah suatu soal antara anggauta dengan perkumpulannya (intern) yang harus diatur dalam peraturan dasarnya.
Pasal 4.
Mengenai kewajiban dan tanggung-jawab perkumpulan atas anggauta-anggautanya yang harus memenuhi aturan-aturan dalam perjanjian perburuhan, terdapat dua aliran yang sangat berlainan.
a.perkumpulan tersebut menanggung dengan sepenuhnya bahwa anggauta-anggautanya akan memenuhi semua aturan-aturan itu, dan perkumpulanlah yang bertanggung jawab bilamana anggauta-anggauta itu melanggar perjanjian perburuhan.
b.perkumpulan tidak ikut campur dalam urusan aturan-aturan yang berlaku bagi anggauta-anggautanya. Pelanggaran oleh anggauta-anggautanya bukanlah tanggungannya. Pasal ini mengambil jalan tengah.
Aliran b yang menyatakan perkumpulan sedikitpun tidak bertanggung jawab, memungkinkan perkumpulan dengan secara diam-diam menghalang-halangi anggauta-anggautanya memenuhi kewajiban-kewajiban mereka, tak dapat diturut karena ayat 1 mewajibkan perkumpulan mengusahakan agar anggauta-anggautanya memenuhi kewajiban-kewajiban mereka. Dengan demikian tidak cukuplah bilamana perkumpulan itu hanya bersifat passief, tetapi harus juga bertindak actief ialah mengusahakan agar anggauta-anggautanya memenuhi kewajiban-kewajiban mereka. Aliran a, bilamana dimuat dalam Undang-undang, dapat menghalang-halangi kemajuan perjanjian perburuhan karena mungkin banyak perkumpulan takut mengadakan perjanjian perburuhan. Karena itu dalam ayat 2 hanya ditetapkan bahwa perkumpulan hanya bertanggung jawab atas anggauta-anggautanya bilamana hal ini ditentukan didalam perjanjian perburuhan itu sendiri. Jadi terserah kepada masing-masing pihak.
Pasal 5.
Perjanjian perburuhan adalah salah satu usaha untuk menjernihkan suasana dalam perusahaan. Apabila itu sudah tercapai, tujuan untuk menghasilkan sebanyak-banyaknya harus segera dikejar. Oleh sebab itu majikan harus memenuhi kewajibannya dan buruh harus sedikit-dikitnya memberi minimum arbeids-prestatie.
Pasal 6, 7 dan 8.
Setelah pasal 4 menentukan kewajiban yang ditanggung oleh perkumpulan yang menyelenggarakan perjanjian perburuhan, maka pasal 6, 7 dan 8 menetapkan kedudukan anggauta-anggauta terhadap perjanjian perburuhan itu yang diselenggarakan oleh perkumpulan mereka masing-masing.
Sesuatu azas hukum yang pokok ialah bahwa sesuatu perjanjian hanya berlaku antara pihak-pihak yang menyelenggarakan perjanjian itu, dan tidak berlaku untuk orang ketiga.
Karena itu harus ditentukan dengan tegas dalam Undang-undang bahwa :
1.semua anggauta suatu perkumpulan yang menyelenggarakan perjanjian perburuhan terikat oleh perjanjian itu (pasal 6 ayat 1);
2.mereka yang kemudian menjadi anggauta (anggauta baru) suatu perkumpulan yang menyelenggarakan perjanjian perburuhan, menjadi terikat oleh perjanjian itu (pasal 6 ayat 1);
3.mereka yang kehilangan keanggautaannya, baik karena dipecat maupun keluar atas permintaan sendiri, pada azasnya tetap terikat hingga waktu berlakunya perjanjian itu habis (pasal 7);
4.mereka tetap terikat juga bilamana perkumpulan mereka dibubarkan (pasal 8). Ad 1 dan 2 Cukup jelas.
Maksud perkataan “tersangkut dalam perjanjian itu” (pasal 6 ayat 1) umpamanya demikian :
Serikat buruh paberik gula menyelenggarakan perjanjian perburuhan untuk anggauta-anggauta buruh tehnik. Perjanjian ini tidak berlaku bagi anggauta-anggauta buruh pengangkutan karena mereka ini tidak “tersangkut dalam perjanjian itu”. Maksud pasal 6 ayat (2) ialah bahwa seorang anggauta yang melanggar, bertanggung jawab terhadap perkumpulannya sendiri dan terhadap perkumpulan yang menjadi pihak lainnya.
Ad 3. Pasal 7 ini ialah untuk mencegah keluarnya seorang anggauta yang bermaksud menghindarkan diri dari kewajiban-kewajiban yang berlaku baginya. Umpamanya seorang majikan keluar dari perkumpulan majikan, hanyalah disebabkan untuk mencapai maksudnya mengadakan perjanjian-perjanjian kerja yang lebih menguntungkan baginya.
Ad 4. Walaupun pasal 7 ayat 1 telah menentukan bahwa, bekas anggauta-anggauta tetap terikat oleh perjanjian perburuhan dan azas hukum perkumpulan menyatakan bahwa suatu perkumpulan yang dibubarkan masih harus bertanggung jawab atas penyelesaian kewajiban-kewajibannya, tetapi perlu hal itu ditentukan dengan tegas dalam pasal 8 dengan maksud untuk menghilangkan keragu-raguan.
Pasal 9.
(1) Sebagai telah dikatakan pada penjelasan pasal 1 ayat 1, perjanjian perburuhan ialah peraturan induk atau peraturan dasar bagi perjanjian kerja antara seorang buruh dan seorang majikan yang terikat oleh perjanjian perburuhan itu.
Pasal 9 ini sekarang menentukan dengan tegas kedudukan kedua jenis perjanjian itu dan perhubungannya antara satu dengan lainnya. Karena kedudukan perjanjian perburuhan sebagai aturan dasar itu, maka aturan dalam perjanjian kerja yang bertentangan dengan sendirinya tidak berlaku. Karena aturan-aturan yang bertentangan itu tidak berlaku, maka perlulah dinyatakan dengan tegas manalah gantinya yang berlaku, karena jika tidak demikian maka dapatlah diartikan bahwa soal itu tidak diatur lagi dan bahwa yang dirugikan hanya dapat minta pengganti kerugian, tidak juga untuk memenuhi aturan yang dimuat dalam perjanjian perburuhan.
Pasal 9 ini juga penting karena justru oleh ketentuan itu yang dirugikan (buruh) dapat memajukan sendiri perkaranya dimuka pengadilan. Jika ketentuan tersebut dalam pasal 9 itu tidak ada, maka yang dapat bertindak menurut pasal 13 hanyalah yang menjadi pihak dalam perjanjian perburuhan.
(2) Sesuatu hal yang tidak sah adalah mutlak (absoluut) tetapi tidak semua orang dapat memajukannya dimuka pengadilan karena sesuatu azas dari hukum acara menetapkan bahwa untuk dapat memajukan sesuatu hal dimuka pengadilan yang memajukannya itu harus mempunyai kepentingan. Untuk menetapkan bahwa kedua belah pihak dalam perjanjian perburuhan dapat memajukannya dengan tidak usah menyatakan kepentingannya itulah maksud ayat (2) ini.
Pasal 10.
Pasal 9 diantaranya menentukan bahwa bilamana aturan di dalam perjanjian kerja bertentangan dengan aturan di dalam perjanjian perburuhan, maka aturan perjanjian perburuhan yang berlaku.
Pasal 10 inilah sekarang yang menentukan bahwa aturan-aturan di dalam perjanjian perburuhan itu jugalah yang akan berlaku, bilamana perjanjian kerja tidak memuat aturan-aturan itu.
Pasal 11.
(1) Sebagai pihak yang kuat, majikan oleh Menteri Perburuhan dapat diwajibkan menepati aturan-aturan perjanjian perburuhan juga bilamana dia berhubungan dengan buruh yang tidak terikat oleh perjanjian perburuhan. Hal itu perlu agar majikan itu tidak dapat menerima buruh misalnya dengan upah yang lebih rendah dan sebagainya.
Di dalam penjelasan pasal 6, 7 dan 8 dikatakan bahwa suatu azas hukum yang pokok ialah bahwa suatu perjanjian hanya berlaku antara mereka yang menyelenggarakan perjanjian itu dan tidak berlaku untu orang ketiga. Karena itu maka ketiga pasal ini menentukan bahwa perjanjian perburuhan yang diselenggarakan oleh pihak serikat buruh dengan majikan berlaku juga untuk anggauta-anggauta serikat itu. Ketentuan itu telah selayaknya, karena maksud perjanjian itu ialah justru menetapkan hal-hal yang berlaku untuk anggauta. Jadi ketentuan itu ialah akibat langsung dari sifat perjanjian perburuhan.
Lain halnya dengan kepastian dalam pasal 11 ini. Berlakunya perjanjian perburuhan bagi orang ketiga yang bukan anggauta serikat buruh, ialah bukan akibat yang langsung timbul karena perjanjian itu. Karena itu agak tidak selayaknya kepastian itu ditetapkan di sini.
Tetapi justru untuk melindungi buruh yang bukan anggauta perlu kepastian itu diadakan. Kepastian itu sifatnya tidak lagi semata-mata mengatur (regelend) tetapi memaksa (dwingend).
Di atas telah diterangkan bahwa perintah ini berdasarkan atas maksud melindungi buruh bukan anggauta, supaya dia juga merasakan kemajuan yang akan dicapai oleh serikat buruh.
Mungkin perlindungan ini menimbulkan pikiran kurang setuju di pihak pergerakan buruh, karena mungkin melemahkan pergerakan. Tetapi mengingat rasa perikemanusiaan dan rasa solidariteit kaum buruh pada umumnya, perlindungan itu akan mendapat sambutan gembira.
(2) Karena ayat 2 ini Menteri dapat memaksakan suatu perjanjian perburuhan kepada buruh-buruh dan majikan-majikan yang tidak terikat oleh perjanjian itu. Perjanjian itu harus dipenuhi oleh kedua golongan itu. Tetapi lapang usahanya harus sama.
Misalnya perjanjian perburuhan antara serikat buruh perusahaan batik dengan perusahaan batik, dapat dipaksakan kepada buruh dan majikan dari perusahaan batik lainnya.
Bilamana Menteri itu akan mempergunakan haknya tergantung pada keadaan, misalnya perjanjian perburuhan perusahaan batik di Jakarta, sukar untuk dipaksakan pada perusahaan batik di desa di pegunungan.
(3)Cukup jelas.
Pasal 12.
Pasal 11 pokoknya melarang seorang majikan menyelenggarakan perjanjian kerja dengan buruh yang tidak terikat yang bertentangan dengan aturan perjanjian perburuhan, sedangkan maksud pasal 12 ini ialah menyempurnakan pasal itu dengan menyatakan, bahwa seorang majikan atau perkumpulan majikan yang telah mengadakan perjanjian perburuhan dengan sesuatu serikat buruh dilarang mengadakan perjanjian perburuhan baru dengan serikat buruh lain yang memuat syarat-syarat kerja yang kurang dari pada yang termuat syarat-syarat kerja yang kurang dari pada yang termuat dalam perjanjian perburuhan yang telah diselenggarakan itu.
Pasal 13.
Pasal 13 ini mengatur akibat dari pelanggaran-palanggaran yang dilakukan oleh sesuatu pihak pada perjanjian perburuhan atau anggauta-anggautanya seperti juga pasal 9.
Pasal 9 menetapkan, bahwa buruh dapat bertindak sendiri hanya bilamana perjanjian kerjanya memuat aturan yang bertentangan dengan aturan dari perjanjian perburuhan. Hak ini adalah akibat dari pelanggaran perjanjian kerjanya sendiri yang harus sesuai dengan aturan-aturan dari perjanjian perburuhan, sekali-kali bukan akibat dari perjanjian perburuhan.
Pelanggaran-pelanggaran yang langsung mengenai perjanjian perburuhan tidak dapat dituntut oleh buruh sendiri, melainkan harus dituntut oleh serikat buruhnya. Ketentuan ini adalah penting karena kedudukan serikat buruh itu baik psychologisch, maupun ekonomis tidak begitu lemah terhadap majikan dari pada kedudukan buruh masing-masing, yang pada umumnya kurang cakap dan kurang berani berhadapan dengan majikan.
Untuk mencegah jangan sampai serikat buruh atau buruh perseorangan segaja berbuat bertentangan dengan maksud perjanjian perburuhan maka majikan berhak menuntut serikat buruh atau buruh sendiri.
Pasal 14.
Ketentuan dalam pasal ini perlu dimuat karena kerugian dari perkumpulan sebagai akibat pelanggaran acapkali tidak dapat dinyatakan dengan uang.
Tidak ditentukan di sini, bahwa pengadilan yang menetapkan pengganti kerugian itu, maksudnya memberi kelonggaran kepada kedua belah pihak mengatur di dalam perjanjian perburuhan supaya hal itu umpamanya ditetapkan oleh sebuah panitya.
Pasal 15.
Pasal ini memberi kesempatan kepada kedua belah pihak untuk menetapkan sesuatu denda yang tertentu (boete-beding) di dalam perjanjian mereka, sedangkan denda itu dapat diubah oleh pengadilan bilamana kewajiban yang dikenakan denda itu sebagian telah dipenuhi. Ketentuan dalam ayat-ayat ini diperlukan untuk menjaga keadilan.
Pasal 16 dan 17.
Maksud perjanjian perburuhan ialah untuk mencapai stabiliteit didalam syarat-syarat bekerja (arbeidsvoorwaarden). Makin lama stabiliteit ini dapat dipertahankan makin baik akibatnya bagi dunia perburuhan. Dipandang dari sudut itu, maka tidak pada tempatnyalah menentukan batas waktu berlakunya perjanjian perburuhan.
Tetapi disamping itu harus juga diperhatikan, bahwa mereka yang menyelenggarakan perjanjian itu tidak selalu dapat menduga hal-hal yang akan terjadi dikemudian hari. Aturan-aturan yang sekarang kelihatannya sempurna, mungkin akan ternyata kelak ada kekurangan atau memuat sesuatu yang menjirat mereka, disebabkan oleh perubahan-perubahan keadaan.
Lebih-lebih pada jaman sekarang ini, pada waktu harga barang-barang dan tingginya upah sangat goncang jauh dari pada tetap, mudah dimaklumi bahwa perjanjian perburuhan yang diselenggarakan untuk waktu lebih dari dua tahun, sukar dapat dipertahankan. Justru karena itu disamping pasal 16 ditetapkan dalam pasal 17 bahwa masing-masing pihak sewaktu-waktu dapat minta kepada pengadilan untuk membatalkan perjanjian mereka.
Alasan yang memaksa adalah keadaan-keadaan yang bilamana tidak diperhatikan menimbulkan rasa tidak adil. Walaupun bagi pengadilan agak sukar untuk menentukan keadaan apakah yang memaksa itu, hal ini tidak dapat dipergunakan sebagai alasan untuk membiarkan mereka terjirat oleh sesuatu perjanjian yang oleh mereka sendiri dirasakan sebagai tidak adil lagi.
Pasal 18.
Walaupun di dalam perjanjian itu telah ditetapkan waktu berlakunya perjanjian itu, di dalam perjanjian masih harus dimuat juga ketentuan bahwa perjanjian itu akan habis apabila waktu itu telah berakhir. Jika hal ini tidak ditentukan dan pernyataan pengakhiran tidak diberikan, maka perjanjian itu dianggap diperpanjang. Ketentuan ini perlu agar yang berkepentingan mengetahui benar-benar bilamana perjanjian mereka berakhir berlaku, jangan sampai mereka nanti dengan sekonyong-konyong menjumpai kenyataan bahwa antara mereka perjanjian itu tidak lagi berlaku.
Pasal 19.
Cara menyatakan pengakhiran ini perlu ditetapkan untuk mencegah kesulitan-kesulitan yang mungkin timbul berhubung dengan pernyataan itu.
Pasal 20.
Kepada semua pihak pada perjanjian perburuhan itu diberikan kesempatan untuk menentukan bahwa pernyataan itu hanya berlaku untuk pihak yang menyatakannya dan bahwa perjanjian masih tetap berlaku bagi pihak lain-lainnya.
Pasal 21.
Aturan ini ialah aturan peralihan. Jika perjanjian perburuhan yang telah ada pada hari Undang-undang ini berlaku diubah, maka selanjutnya harus diturut aturan-aturan dari Undang-undang ini.
Perjanjian perburuhan itu tidak dapat diperpanjang atau dianggap diperpanjang. Yang berkepentingan harus menjelenggarakan perjanjian perburuhan baru menurut Undang-undang ini.
Diketahui :

Sekretariat Kementerian Kehakiman,
Mr. SOEDARJO

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 21 TAHUN 1954
TENTANG
PERJANJIAN PERBURUHAN ANTARA SERIKAT BURUH DAN MAJIKAN
Presiden Republik Indonesia,
Menimbang : bahwa perlu diadakan aturan-aturan tentang perjanjian mengenai syarat-syarat perburuhan antara serikat buruh dengan majikan; Mengingat : pasal 36 dan 89 Undang-undang Dasar Sementara Republik Indonesia;
Dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat;
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG PERJANJIAN PERBURUHAN ANTARA SERIKAT BURUH DAN MAJIKAN.
Pasal 1
(1) Perjanjian tentang syarta-syarat perburuhan antara serikat buruh dengan majikan (disingkat perjanjian perburuhan) ialah perjanjian yang diselenggarakan oleh serikat atau serikat-serikat buruh yang telah didaftarkan pada Kementerian Perburuhan dengan majikan, majikan-majikan, perkumpulan atau perkumpulan-perkumpulan majikan yang berbadan hukum, yang pada umumnya atau semata-mata memuat syarat-syarat, yang harus diperhatikan didalam perjanjian kerja.
(2) Perjanjian perburuhan dapat juga diselenggarakan untuk pekerjaan borongan atau untuk perjanjian melakukan sesuatu pekerjaan dan didalam hal ini berlaku juga ketentuan-ketentuan didalam undang-undang ini tentang perjanjian kerja, buruh dan majikan.
(3) Sesuatu atauran yang mewajibkan seorang majikan supaya hanya menerima atau menolak buruh mewajibkan seorang buruh hanya bekerja atau tidak boleh bekerja pada majikan dari sesuatu golongan, baik berkenaan dengan agama, golongan warga negara atau bangsa, maupun karena keyakinan politik atau anggota dari sesuatu perkumpulan, adalah tidak sah.
Demikian juga halnya dengan atauran-aturan yang bertentangan dengan hukum tentang ketertiban umum atau dengan kesusilaan.
Pasal 2
(1) Perjanjian perburuhan harus dibuat dengan surat resmi atau surat yang ditanda tangani oleh kedua belah pihak.
(2) Didalam Peraturan Pemerintah ditetapkan ketentuan-ketentuan tentang cara membuat dan mengatur perjanjian itu.
Pasal 3
(1)Sesuatu serikat buruh atau perkumpulan majikan yang menyelenggarakan perjanjian perburuhan, wajib memberitahukan isi perjanjian itu kepada anggota-anggotanya. Demikian juga bilamana oleh kedua belah pihak dibuat keterangan-keterangan terhadap perjanjian itu.
(2) Kewajiban tersebut pada ayat 1 berlaku juga, bilamana diadakan perubahan-perubahan didalam perjanjian perburuhan atau bilamana waktu berlakunya diperpanjang.
Pasal 4
(1)Sesuatu serikat buruh atau perkumpulan majikan yang menyelenggarakan perjanjian perburuhan, wajib mengusahakan agar anggota-anggotanya memenuhi aturan-aturan yang berlaku untuk mereka.
(2) Serikat buruh atau perkumpulan majikan tersebut hanya bertanggung jawab atas anggota-anggotanya, bilamana hal ini bitentukan didalam perjanjian perburuhan.
Pasal 5
Majikan dan buruh yang terikat oleh perjanjian perburuhan, wajib melaksanakan perjanjian itu sebaik-baiknya.
Pasal 6
(1)Mereka yang selama waktu berlakunya perjanjian perburuhan adalah anggota atau menjadi anggota sesuatu serikat buruh atau perkumpulan majikan yang menyelenggarakan perjanjian tersangkut didalam perjanjian itu, terikat oleh perjanjian itu.
(2) Mereka bertanggung jawab terhadap masing-masing pihak pada perjanjian perburuhan didalam hal menepati segala aturan, yang telah ditentukan bagi mereka.
Pasal 7
(1)Anggota-anggota serikat buruh atau perkumpulan majikan tetap terikat oleh perjanjian perburuhan, meskipun telah kehilangan keanggotaannya.
(2) Mereka tidak lagi terikat, bilamana setelah mereka kehilangan keanggotaannya, perjanjian tersebut diubah.
(3) Jika waktu berlakunya perjanjian itu diperpanjang atau dianggap diperpanjang sesudah mereka kehilangan keanggotaan, maka mereka hanya terikat sampai pada waktu berlakunya perjanjian itu dengan tidak diperpanjang akan habis.
Pasal 8
Pembubaran sesuatu serikat buruh atau perkumpulan majikan yang menyelenggarakan perjanjian perburuhan, tidak mengubah hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang bersangkutan dengan perjanjian tersebut.
Pasal 9
(1) Sesuatu aturan didalam perjanjian kerja antara seorang buruh dan seorang majikan yang bertentangan dengan perjanjian perburuhan yang mengikat kedua mereka itu, tidak sah; didalam hal itu aturan-aturan perjanjian perburuhan yang berlaku.
(2) Hal-hal yang tidak sah itu selalu dapat diajukan oleh tiap-tiap pihak dalam perjanjian perburuhan.
Pasal 10
Bilamana suatu perjanjian kerja tidak memuat aturan-aturan yang ditetapkan didalam perjanjian perburuhan yang mengikat buruh dan majikan itu juga, maka aturan-aturan perjanjian perburuhan itulah yang berlaku.
Pasal 11
(1)Menteri Perburuhan, setelah mendengar lebih dahulu pertimbangan pihak-pihak yang bersangkutan, dapat menetapkan supaya seorang majikan yang terikat oleh sesuatu perjanjian perburuhan memenuhi sebagian atau semua aturan-aturannya, juga bilamana dia menyelenggarakan perjanjian kerja dengan seorang buruh yang tidak terikat perjanjian perburuhan itu.
(2) Menteri tersebut dapat pula, setelah mendengan lebih dahulu pertimbangan pihak-pihak yang bersangkutan, menetapkan supaya sebagian atau seluruh perjanjian perburuhan yang mengenai suatu, lapang usaha yang tertentu, dipenuhi juga oleh buruh-buruh dan majikan-majikan dari lapang usaha yang sama, tidak terikat oleh perjanjian perburuhan tersebut.
(3) Didalam Peraturan Pemerintah ditetapkan aturan-aturan tentang penetapan-penetapan tersebut pada ayat 1 dan 2.
Pasal 12
Seorang majikan atau perkumpulan majikan yang terikat oleh sesuatu perjanjian perburuhan, tidak dapat menyelenggarakan perjanjian perburuhan dengan serikat buruh lain, yang memuat syarat-syarat kerja yang kurang dari pada yang termuat dalam perjanjian perburuhan yang sudah ada.
Pasal 13
(1) Sesuatu serikat buruh yang menyelenggarakan perjanjian perburuhan, dapat minta ganti kerugian, jika pihak yang lain pada perjanjian itu atau seorang anggotanya bertindak bertentangan dengan kewajibannya dalam perjanjian perburuhan tidak hanya untuk kerugian yang dideritanya sendiri, melainkan juga untuk kerugian yang diderita oleh anggota-anggotanya.
(2) Majikan yang menyelenggarakan perjanjian perburuhan, dapat minta ganti kerugian kepada serikat buruh atau buruh, yang sengaja berbuat bertentangan dengan kewajibannya.
Pasal 14
Bilamana kerugian itu tidak mungkin dinyatakan dengan uang, maka pengganti kerugian itu, ditetapkan berupa sejumlah uang atas dasar keadilan.
Pasal 15
(1) Mengenai pengganti kerugian didalam perjanjian perburuhan, dapat ditetapkan aturan-aturan denda, yang menyimpang dari ketentuan tersebut dalam pasal 12 dan 13.
(2) Aturan denda ini dapat diubah oleh pengadilan, bilamana kewajiban yang dikenakan hukuman itu untuk sebagian telah dipenuhi.
Pasal 16
(1) Sesuatu perjanjian perburuhan hanya dapat diselenggarakan untuk paling lama 2 tahun.
(2) Waktu itu dapat diperpanjang dengan paling lama 1 tahun lagi.
Pasal 17
(1)Masing-masing pihak pada Perjanjian perburuhan, karena alasan-alasan yang memaksa, dapat minta kepada pengadilan supaya membatalkan sebagian atau seluruhnya perjanjian itu.
(2) Sesuatu aturan didalam perjanjian itu, yang mengurangi atau melenyapkan ketentuan pada ayat 1, adalah tidak sah.
Pasal 18
Walaupun sesuatu perjanjian perburuhan diselenggarakan untuk waktu yang tertentu, maka jika didalam perjanjian itu tidak ada ketentuan yang lain, perjanjian itu dianggap sebagai diperpanjang terus menurut untuk waktu yang sama tetapi tidak lebih dari satu tahun, kecuali jika ada pernyataan untuk mengakhiri. Pernyataan itu harus diberitahukan sekurang-kurangnya satu bulan sebelum waktu yang dimaksudkan itu habis.
Pasal 19
Pernyataan mengakhiri perjanjian perburuhan harus disampaikan kepada semua pihak dalam perjanjian itu dan hanya dapat dilakukan dengan surat tercatat.
Pasal 20
Bilamana didalam perjanjian perburuhan tidak ada ketentuan yang lain, maka karena pernyataan untuk mengakhiri itu, perjanjian tersebut berhenti berlaku bagi semua pihak pada perjanjian itu.
Pasal 21
Perjanjian perburuhan yang berlaku pada hari undang-undang ini mulai berlaku, tetap berlaku sampai pada waktu berlakunya itu habis atau perjanjian itu diubah; didalam hal itu selanjutnya harus diturut aturan-aturan didalam undang-undang ini.
Pasal 22
Undang-undang ini disebut “Undang-undang perjanjian perburuhan tahun 1954”.
Pasal 23
Undang-undang ini mulai berlaku pada hari diundangkan.
Agar supaya setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan pengundangan undang-undang ini dengan penempatan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta pada tanggal 28 Mei 1954 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
SUKARNO
Diundangkan pada tanggal 12 Juni 1954 MENTERI PERBURUHAN,
S.M. ABIDIN
MENTERI KEHAKIMAN
DJODY GONDOKUSUMO
MEMORI PENJELASAN UNDANG-UNDANG ATAS UNDANG-UNDANGREPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 1954 TENTANG PERJANJIAN MENGENAI SYARAT-SYARAT PERBURUHAN ANTARA SERIKAT BURUH DAN MAJIKAN
UMUM:
1.Undang-undang yang mengatur suatu perjanjian antara dua belah pihak, pada pokoknya mengakui adanya dan berdasarkan atas kemauan dari kedua belah pihak itu untuk mendapat persetujuan tentang apa yang dikehendakinya. Dengan kata lain: adanya suatu keleluasaan bersepakat (contractwijheid). Suatu perjanjian-perburuhan tak ada gunanya dan tidak pada tempatnya, jika segala sesuatu ditentukan dan ditetapkan oleh Pemerintah saja.
2.Tetapi walaupun demikian, di dalam negara kita yang bukan kapitalistis ini, keleluasan itu harus dibatasi, yakni hanya di dalam lingkungan apa yang oleh Pemerintah dianggap layak. Sebab Pemerintah memegang teguh tujuannya untuk menlindungi siapa yang lemah, agar tercapai sesuatu imbangan yang mendekatkan masyarakat kita kepada suatu tujuan negara kita menjamin penghidupan yang layak bagi kemanusiaan untuk tiap-tiap warganegara. Antara lain harus diperhatikan ketentuan-detentuan yang dimuat didalam Undang-undang Kerja (Undang-undang No. 1 tahun 1951).
3. Dipandang dari sudut perlindungan itu, maka undang-undang ini merupakan suatu lanjutan, karena dengan undang-undang ini buruh diberi hak untuk bersama-sama (collectieve) dengan jalan perwakilan menuju ke arah tingkat yang lebih tinggi. Lain daripada itu, Undang-undang ini memberikan kepada serikat buruh yang terdaftar di Kementerian Perburuhan kemampuan untuk bertindak di dalam lingkungan lapangan hukum *787 perjanjian-perburuhan. Ketentuan ini perlu karena undang-undang yang memberikan kedudukan pendiri-hukum (rechtssubject) kepada serikat buruh belum ada. Untuk memberikannya kedudukan ini dengan undang-undang ini agak sukar dilakukan karena: pertama bukan tempatnya dan kedua belum menyelami dengan seksama bagaimana akibat-akibatnya bagi serikat buruh dalam pertumbuhan sekarang ini.
4.Perjanjian-perburuhan (collectieve arbeidsovereenkomst) yang telah diselenggarakan oleh serikat buruh itu tidak dapat diabaikan dengan begitu saja oleh seorang buruh yang mengadakan perjanjian-kerja (individueele arbeidsovereenkomst) (pasal 9 ayat 1). Dan perjanjian-perburuhan yang sangat manfaat bagi buruh, oleh Menteri Perburuhan dapat dipaksakan kepada majikan-majikan lainnya untuk dilaksanakan di dalam perusahaannya masing-masing (pasal 11 ayat 1 dan 2).
5.Selanjutnya undang-undang ini mengatur akibat-akibat dari tindakan serikat buruh terhadap anggota-anggotanya, hubungan anggota-anggota itu dengan pihak lainnya pada perjanjian itu, hubungan suatu perjanjian-perburuhan dengan perjanjian kerja hubungan suatu perjanjian-perburuhan dengan perburuhan lainnya dan sebagainya. Semua itu mengenai soal-soal hukum (juridisch) yang dengan jelas diterangkan di dalam penjelasan pasal demi pasal. Sekedar sebagai pegangan perlu diterangkan apa yang dimaksudkan dengan beberapa istilah yang umum. Dengan serikat buruh tidak hanya dimaksudkan suatu serikat buruh pada suatu perusahaan atau suatu lapang usaha, ataupun suatu serikat buruh dari suatu keahlian (vak), melainkan juga gabungan dari beberapa atau berbagai-bagai serikat buruh. Buruh ialah seorang yang melakukan pekerjaan di bawah pimpinan majikan untuk sesuatu waktu dengan menerima upah, sedang majikan ialah seorang pada siapa buruh itu bekerja.
Pasal demi pasal
Pasal 1
(1) Perjanjian-perburuhan ialah peraturan induk bagi perjanjian kerja antara seorang anggota serikat buruh pada satu pihak dengan seorang majikan atau seorang anggota perkumpulan majikan pada pihak yang lain, baik yang sudah maupun yang belum diselenggarakan. Serikat-serikat buruh hanya dapat menyelenggarakan perjanjian-perburuhan jika telah didaftar di Kementerian Perburuhan. Dengan pernyataan ini undang-undang ini berkehendak memberikan kemampuan kepada serikat buruh untuk bertindak dalam hukum, yakni bertindak sebagai penyelenggara perjanjian-perburuhan ini dan di dalam hal-hal yang ditentukan di dalam undang-undang ini. Kata “pada umumnya” memberi kesempatan kepada kedua belah pihak untuk juga memuat hal-hal yang bukan semata-mata mengenai syarat-syarat perburuhan, umpamanya mengadakan panitia, terdiri dari anggota-anggota buruh dan majikan untuk mengawasi dijalankannya itu. Dengan demikian maka kedua pihak merdeka mengisi perjanjian itu. Cara yang lain, yakni menentukan satu hal demi satu hal apalah yang boleh diatur di dalam perjanjian-perburuhan tidak dapat dipergunakan, karena agak kaku, yang pada hari kemudian mungkin menghalang-halangi kemajuan perjanjian-perburuhan. Kemerdekaan kedua belah pihak tersebut hanya dibatasi dalam hal-hal tersebut dalam ayat 4. “Di dalam perjanjian-bekerja” berarti sebagai telah dikatakan di atas, bahwa perjanjian-perburuhan yang pada sesuatu waktu diselenggarakan itu tidak hanya berlaku untuk perjanjian-kerja yang di kemudian hari akan diselenggarakan, melainkan juga untuk perjanjian-kerja yang sudah diselenggarakan pada waktu itu. Perjanjian-perburuhan adalah salah satu usaha untuk menjernihkan suasana di dalam perusahaan. Apabila itu sudah tercapai maka tujuan untuk menghasilkan sebanyak-banyaknya harus segera dikejar. Oleh sebab itu majikan harus memenuhi kewajibannya dan buruh harus sedikit-dikitnya memberi minimum arbeidsprestatie.
(2) Di samping perjanjian-kerja, yang pada pokoknya mengenai pekerjaan yang dijalankan oleh buruh di bawah pimpinan majikan, untuk sesuatu waktu dengan menerima upah terdapat pula: pertama perjanjian-pekerjaan borongan yang menyatakan pihak yang kesatu, pemborong, berjanji, untuk pihak yang lain, yang memborongkan, dengan harga yang tertentu menghasilkan suatu buah pekerjaan yang telah ditetapkan, umpamanya membuat rumah, kursi, dan lain-lainnya dan kedua perjanjian melakukan sesuatu pekerjaan yang menyatakan bahwa pihak pertama berjanji melakukan sesuatu pekerjaan dengan upah untuk pihak yang lain, umpamanya antara seorang dokter dengan yang berobat, dan dalam hal itu kedua macam pekerjaan itu tidak dilakukan di bawah pimpinan majikan, sehingga dalam ayat 3 ini perlu ditentukan bahwa perjanjian-perburuhan, dapat juga diselenggarakan untuk pekerjaan borongan dan perjanjian melakukan sesuatu pekerjaan, sesuatunya semata-mata untuk menghilangkan keragu-raguan tentang dapat diselenggarakan atau tidaknya perjanjian-perburuhan bagi pekerjaan borongan dan perjanjian melakukan sesuatu pekerjaan.
(3) Bahwasanya aturan-aturan yang bertentangan dengan hukum tentang ketertiban umum atau dengan kesusilaan itu tidak sah, sudah selayaknya, karena itu tidak perlu di sini diterangkan panjang lebar. Sebabnya ketentuan ini didapat pada ayat 4 itu hanyalah untuk menegaskan sekali lagi adanya azas (beginsel) itu dalam hukum perdata kita. Larangan lainnya semata-mata ditujukan untuk menjaga timbulnya kedudukan yang bersifat monopolistisch dari: serikat buruh yang memaksa seorang majikan untuk hanya menerima umpamanya buruh Kristen, buruh-auruh warganegara Indonesia bukan asli, buruh bangsa asing, buruh berhaluan sosialis atau buruh yang menjadi anggota dari perkumpulan A atau menolak umpamanya buruh Islam, buruh warga-negara Indonesia asli, buruh warganegara Indonesia, buruh berhaluan komunis atau buruh yang menjadi anggota dari perkumpulan B; majikan yang memaksa buruh untuk hanya bekerja atau tidak boleh bekerja umpamanya pada majikan Kristen, majikan warganegara Indonesia bukan asli, majikan bangsa asing, majikan berhaluan sosialis atau majikan yang menjadi anggota dari perkumpulan A.
Pasal 2
Cukup jelas.
Pasal 3
(1) Karena pentingnya akibat perjanjian itu, maka dimintakan bentuk yang tertentu.
Yang dimaksud dengan surat resmi (authentiek) ialah surat yang dibuat oleh orang atau pegawai yang berhak membuatnya umpamanya notaris, sedang surat yang ditandatangani oleh kedua belah pihak (onderhandsche akte) ialah surat yang justru memuat perjanjian-perburuhan. (2) Berhubung dengan penilikan umum dari Kementerian Perburuhan yang diserahi urusan terhadap perburuhan, maka Pemerintah harus mendapat bahan-bahan yang cukup untuk memungkinkan penilikan itu dilakukan dengan tepat dan cepat (effectief). Karena itu Pemerintah dapat memerintahkan kepada sesuatu pihak untuk mendaftarkan surat-perjanjian itu pada Pemerintah, memberi contoh surat perjanjian agar terdapat kesatuan dalam bentuknya (uniformiteit) dan sebagainya, misalnya memuat aturan-aturan tentang:
1.tingginya upah,
2.uang lembur,
3. upah pada waktu sakit,
4. upah pada Hari Raya,
5. pengawasan upah,
6. buku-upah,
7. waktu-kerja,
8. pemeliharaan waktu sakit,
9. waktu berlakunya perjanjian.
Pasal 4
Karena perjanjian yang diselenggarakan itu berlaku buat anggota-anggota maka perlu supaya isinya diberitahukan kepada mereka. Caranya terserah kepada perkumpulan yang bersangkutan apakah dengan lisan ataukah dengan memberikan turunan surat perjanjian kepada anggota-anggotanya.
Maksud pasal ini terutama ialah bahwa tidak tahunya seorang anggota tidak dapat diajukan kepada pihak yang lain.
Pemberitahuan itu sebetulnya, tidak berat bagi perkumpulan yang bersangkutan karena pada umumnya anggota-anggota telah mengetahui pada waktu menyetujuinya di dalam rapat anggota.
Hukum pelanggaran ini adalah suatu soal antara anggota dengan perkumpulannya (intern) yang harus diatur dalam peraturan dasarnya.
Pasal 5
Mengenai kewajiban dan tanggung-jawab perkumpulan atasanggota-anggotanya yang harus memenuhi aturan-aturan dalam perjanjian-perburuhan, terdapat dua aliran yang sangat berlainan:
a.perkumpulan tersebut menanggung dengan sepenuhnya bahwa anggota-anggotanya akan memenuhi semua aturan-aturan itu, dan perkumpulanlah yang bertanggung-jawab bilamana anggota-anggota itu melanggar perjanjian-perburuhan,
b.perkumpulan tidak ikut campur dalam urusan aturan-aturan yang berlaku bagi anggota-anggotanya. Pelanggaran oleh *790 anggota-anggotanya bukanlah tanggungannya.
Pasal ini mengambil jalan tengah.
Aliran b yang menyatakan perkumpulan sedikitpun tidak bertanggung-jawab, memungkinkan perkumpulan dengan secara diam-diam menghalang-halangi anggota-anggotanya memenuhi kewajiban-kewajiban mereka, tak dapat diturut, karena ayat 1 mewajibkan perkumpulan mengusahakan agar anggota-anggotanya memenuhi kewajiban-kewajiban mereka.
Dengan demikian tidak cukuplah bilamana perkumpulan itu hanya bersifat pasif, tetapi harus juga bertindak positif ialah mengusahakan agar anggota-anggotanya memenuhi kewajiban-kewajiban mereka.
Aliran a, bilamana dimuat di dalam undang-undang, dapat menghalang-halangi kemajuan perjanjian-perburuhan karena mungkin banyak perkumpulan takut mengadakan perjanjian-perburuhan.
Karena itu dalam pasal 4 ayat 2 hanya ditetapkan bahwa perkumpulan hanya bertanggung-jawab atas anggota-anggotanya, bilamana hal ini ditentukan di dalam perjanjian-perburuhan itu sendiri. Jadi terserah kepada masing-masing pihak.
Pasal 6, 7 dan 8
Setelah pasal 5 menentukan kewajiban yang ditanggung oleh perkumpulan yang menyelenggarakan perjanjian-perburuhan, maka pasal 6, 7 dan 8 menetapkan kedudukan anggota-anggota terhadap perjanjian-perburuhan itu yang diselenggarakan oleh perkumpulan mereka masing-masing.
Sesuatu azas hukum yang pokok ialah bahwa sesuatu perjanjian hanya berlaku antara pihak-pihak yang menyelenggarakan perjanjian itu, sekali-kali tidak juga berlaku untuk orang ketiga.
Karena itu harus ditentukan dengan tegas dalam undang-undang bahwa:
1.semua anggota suatu perkumpulan yang menyelenggarakan perjanjian-perburuhan terikat oleh perjanjian itu (pasal 6 ayat 1);
2.mereka yang kemudian menjadi anggota (anggota-baru) suatu perkumpulan yang menyelenggarakan perjanjian-perburuhan, menjadi terikat oleh perjanjian itu (pasal 6 ayat 1);
3.mereka yang kehilangan keanggotaannya, baik karena dipecat maupun keluar atas permintaan sendiri, tetap terikat hingga waktu berlakunya perjanjian itu habis, sungguhpun apabila waktu itu diperpanjang, atau sampai perjanjian itu diubah (pasal 7);
4.mereka tetap terikat juga bilamana perkumpulan mereka dibubarkan (pasal 8).
Ad. 1 dan 2. Telah terang.
Perkataan “tersangkut dalam perjanjian itu” umpamanya demikian:
Serikat buruh pabrik gula menyelenggarakan perjanjian- *791 perburuhan untuk anggota-anggota buruh teknik. Perjanjian ini tidak berlaku bagi anggota-anggota buruh pengangkutan karena mereka ini tidak “tersangkut dalam perjanjian itu”. Maksud ayat 2 pasal 6 ialah bahwa seorang anggota yang melanggar, bertanggungjawab terhadap perkumpulannya sendiri dan terhadap perkumpulan yang menjadi pihak lainnya.
Ad. 3.Pasal 7 ini ialah untuk mencegah keluarnya seorang anggota yang bermaksud menghindarkan diri dari kewajiban-dewajiban yang berlaku baginya. Umpamanya seorang majikan keluar dari perkumpulan majikan, hanyalah disebabkan untuk mencapai maksudnya mengadakan perjanjian-perjanjian-kerja yang lebih menguntungkan baginya.
Ad. 4. Walaupun pasal 7 ayat 1 telah menentukan bahwa, bekas anggota-anggota tetap terikat oleh pejanjian-perburuhan dan azas hukum perkumpulan menyatakan bahwa sesuatu perkumpulan yang dibubarkan masih harus bertanggung-jawab atas, penyelesaian kewajiban-kewajibannya, tetapi perlu hal itu ditentukan dengan tegas dalam pasal 8, dengan maksud untuk menghilangkan keragu-raguan.
Pasal 9
(1) Sebagai telah dikatakan pada penjelasan pasal 1 ayat 1, perjanjian-perburuhan ialah peraturan induk atau peraturan dasar bagi perjanjian-kerja antara seorang buruh dan seorang majikan yang terikat oleh perjanjian-perburuhan itu. Pasal 9 ini sekarang menentukan dengan tegas kedudukan kedua jenis perjanjian itu dan perhubungannya antara satu dengan lainnya. Karena kedudukan perjanjian-perburuhan sebagai aturan dasar itu, maka aturan dalam perjanjian-kerja yang bertentangan dengan sendirinya tidak berlaku. Karena aturan-aturan yang bertentangan itu tidak berlaku, maka perlulah dinyatakan dengan tegas manalah gantinya yang berlaku, karena jika tidak demikian maka dapatlah diartikan bahwa soal itu tidak diatur lagi dan bahwa yang dirugikan hanya dapat minta pengganti kerugian, tidak juga untuk memenuhi aturan yang dimuat dalam perjanjian-perburuhan.
Pasal 9 ini juga penting karena justru oleh ketentuan itu yang dirugikan (buruh) dapat memajukan sendiri perkaranya di muka pengadilan. Jika ketentuan tersebut dalam pasal 9 itu tidak ada, maka yang dapat bertindak menurut pasal 13 hanyalah yang menjadi pihak dalam perjanjian-perburuhan.
(2) Sesuatu hal yang tidak sah adalah mutlak (absoluut) tetapi tidak semua orang dapat memajukannya di muka pengadilan karena sesuatu azas hukum acara menetapkan bahwa untuk dapat memajukan sesuatu hal dimuka pengadilan, yang memajukannya itu harus mempunyai kepentingan. Untuk menetapkan bahwa kedua belah pihak dalam perjanjian-perburuhan dapat mengajukannya dengan tidak usah menyatakan kepentingannya itulah maksud ayat 2 ini.
Pasal 10
Pasal 9 di antaranya menentukan bahwa bilamana aturan di dalam perjanjian-kerja bertentangan dengan aturan di dalam perjanjian- *792 perburuhan maka aturan perjanjian-perburuhan yang berlaku.
Pasal 10 inilah sekarang yang menentukan bahwa aturan-aturan di dalam perjanjian-perburuhan itu jugalah yang akan berlaku, bilamana perjanjian-kerja tidak memuat aturan-aturan itu.
Pasal 11
(1) Sebagai pihak yang kuat, majikan oleh Menteri yang diserahi urusan perburuhan dapat diwajibkan menetapi aturan-aturan perjanjian-perburuhan juga bilamana dia berhubungan dengan buruh yang tidak terikat oleh perjanjian-perburuhan. Hal itu perlu agar majikan itu tidak dapat menerima buruh misalnya dengan upah yang lebih rendah dan sebagainya.
Di dalam penjelasan pasal 6, 7 dan 8 dikatakan bahwa suatu azas hukum yang pokok ialah bahwa suatu perjanjian hanya berlaku antara mereka yang menyelenggarakan perjanjian itu, sekali-kali tidak juga berlaku untuk orang ketiga. Karena itu maka ketiga pasal ini menentukan bahwa perjanjian-perburuhan yang diselenggarakan oleh pihak serikat buruh dengan majikan berlaku juga untuk anggota-anggota serikat itu. Ketentuan itu telah selayaknya, karena maksud perjanjian itu ialah justru menetapkan hal-hal yang berlaku untuk anggota. Jadi ketentuan itu ialah akibat langsung dari sifat perjanjian-perburuhan.
Lain halnya dengan kepastian dalam pasal 11 ini. Berlakunya perjanjian-perburuhan bagi orang ketiga yang bukan anggota serikat buruh, ialah akibat yang langsung timbul karena perjanjian itu. Karena itu agak tidak selayaknya kepastian itu ditetapkan di sini.
Tetapi justru untuk melindungi buruh yang belum menjadi anggota perlu kepastian itu diadakan. Di dalam praktek buruh barulah menjadi anggota suatu serikat buruh bilamana dia sudah bekerja pada perusahaan yang berhubungan dengan serikat buruh itu. Kepastian itu sifatnya tidak lagi semata-mata mengatur (regelend) tetapi perintah (dwingend).
Di atas tidak diterangkan bahwa perintah ini berdasarkan atas maksud melindungi buruh yang belum menjadi anggota, supaya dia juga merasakan kemajuan yang akan dicapai oleh serikat buruh, yang dia belum menjadi anggotanya.
Mungkin perlindungan ini menimbulkan pikiran kurang setuju di pihak pergerakan buruh, karena mungkin melemahkan pergerakan. Tetapi mengingat rasa peri-kemanusiaan dan rasa solidaritet kaum buruh pada umumnya, perlindungan itu akan mendapat sambutan gembira, lagi pula sebagai telah dikatakan di atas di dalam prakteknya buruh baru masuk menjadi anggota kalau sudah bekerja. Hal ini sebagian besar terletak pada kebijaksanaan pemimpin pergerakan.
(2) Karena ayat 2 ini Menteri dapat memaksakan suatu perjanjian-perburuhan kepada buruh-buruh dan majikan-majikan yang tidak terikat oleh perjanjian itu. Perjanjian itu harus dipenuhi oleh kedua golongan itu. Tetapi lapang usahanya harus sama. Misalnya perjanjian-perburuhan antara serikat buruh perusahaan batik dengan perusahaan batik, dapat dipaksakan *793 kepada buruh dan majikan dari perusahaan batik lainnya.
Bilamana Menteri itu akan mempergunakan haknya tergantung pada keadaan, misalnya perjanjian-perburuhan perusahaan batik di Jakarta, sukar untuk dipaksakan pada perusahaan batik di desa di pegunungan.
(3) Di dalam Peraturan Pemerintah nanti dapat dimuat ketentuan bahwa inisiatif untuk memaksakan suatu perjanjian-perburuhan itu dapat dimajukan pula oleh majikan-majikan yang menyelenggarakan perjanjian itu atau oleh majikan-majikan yang bersangkutan dan akhirnya oleh serikat buruh yang menyelenggarakan perjanjian itu atau serikat buruh dari perusahaan itu sendiri.
Pasal 12
Pasal 11 pokoknya melarang seorang majikan menyelenggarakan perjanjian-kerja dengan buruh yang tidak terikat yang bertentangan dengan aturan perjanjian-perburuhan, sedangkan maksud pasal 12 ini ialah menyempurnakan pasal itu dengan menyatakan bahwa seorang majikan atau perkumpulan majikan yang telah mengadakan perjanjian-perburuhan dengan sesuatu serikat buruh dilarang mengadakan perjanjian-perburuhan baru dengan serikat buruh yang lain yang bertentangan dengan perjanjian-perburuhan yang telah diselenggarakan itu.
Pasal 13
Pasal 13 ini mengatur akibat dari pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh sesuatu pihak pada perjanjian-perburuhan atau anggota-anggotanya seperti juga pasal 9.
Pasal 9 menetapkan bahwa buruh dapat bertindak sendiri hanya bilamana perjanjian-kerjanya memuat aturan yang bertentangan dengan aturan dari perjanjian-perburuhan. Hak ini adalah akibat dari pelanggaran-perjanjian-kerjanya, sendiri yang harus sesuai dengan aturan-aturan dari perjanjian-perburuhan, sekali-dali bukan akibat dari perjanjian-perburuhan.
Pelanggaran-pelanggaran yang langsung mengenai perjanjian perburuhan tidak dapat dituntut oleh buruh sendiri, melainkan harus dituntut oleh serikat buruhnya. Ketentuan ini adalah penting karena kedudukan serikat itu baik psychologis, maupun ekonomis tidak begitu lemah terhadap majikan daripada kedudukan buruh masing-masing, yang pada umumnya kurang cakap dan kurang berani berhadapan dengan majikan.
Untuk mencegah jangan sampai serikat buruh atau buruh perseorangan sengaja berbuat bertentangan dengan maksud perjanjian-perburuhan maka majikan berhak menuntut serikat buruh atau buruh sendiri.
Pasal 14
Ketentuan dalam pasal ini perlu dimuat karena kerugian dari perkumpulan sebagai akibat pelanggaran acapkali tidak dapat dinyatakan dengan uang.
Tidak ditentukan di sini bahwa pengadilan yang menetapkan *794 pengganti kerugian itu, maksudnya memberi kelonggaran kepada kedua belah pihak mengatur di dalam perjanjian-perburuhan supaya hal itu umpamanya ditetapkan oleh sebuah panitia.
Pasal 15
Pasal ini memberi kesempatan kepada kedua belah pihak untuk menetapkan sesuatu denda yang tertentu (boete-beding) di dalam perjanjian mereka, sedangkan denda itu dapat diubah oleh pengadilan bilamana kewajiban yang dikenakan denda itu sebagian telah dipenuhi. Ketentuan dalam ayat-ayat ini diperlukan untuk menjaga keadilan.
Pasal 16 dan 17
Maksud perjanjian-perburuhan ialah untuk mencapai stabliitet di dalam syarat-syarat bekerja (arbeidsvoorwaarden). Makin lama stabilitet ini dapat dipertahankan makin baik akibatnya bagi dunia perburuhan. Dipandang dari sudut itu, maka tidak pada tempatnyalah menentukan batas waktu berlakunya perjanjian-perburuhan.
Tetapi di samping itu harus juga diperhatikan bahwa mereka yang menyelenggarakan perjanjian itu tidak selalu dapat menduga hal-hal yang akan terjadi di kemudian hari. Aturan-aturan yang sekarang kelihatannya sempurna, mungkin akan ternyata kelak ada kekurangan-kekurangan atau memuat sesuatu yang menjerat mereka, disebabkan oleh perubahan-perubahan keadaan.
Lebih-lebih pada zaman sekarang ini, pada waktu harga barang-barang dan tingginya upah sangat goncang, jauh daripada tetap, mudah dimaklumi bahwa perjanjian-perburuhan yang diselenggarakan untuk waktu lebih dari satu tahun, sukar dapat dipertahankan. Justru karena itu di samping pasal 16 ditetapkan dalam pasal 17 bahwa masing-masing pihak sewaktu-waktu dapat minta kepada pengadilan untuk membatalkan perjanjian mereka.
Alasan yang agak memaksa (gewichtige redenen) adalah keadaan-keadaan yang bilamana tidak diperhatikan menimbulkan rasa tidak adil. Walaupun bagi pengadilan agak sukar untuk menentukan keadaan apakah yang agak memaksa itu, hal ini tidak dapat dipergunakan sebagai alasan untuk membiarkan mereka yang terjerat oleh sesuatu perjanjian yang oleh mereka sendiri dirasakan sebagai tidak adil lagi.
Pasal 18
Walaupun di dalam perjanjian itu telah ditetapkan waktu berlakunya perjanjian itu, di dalam perjanjian masih harus dimuat juga ketentuan bahwa perjanjian itu akan habis apabila waktu itu telah berakhir.
Jika hal ini tidak ditentukan dan pernyataan pengakhiran tidak diberikan, maka perjanjian itu dianggap diperpanjang. Ketentuan ini perlu agar yang berkepentingan mengetahui benar-benar bilamana perjanjian mereka berakhir berlaku, jangan sampai mereka nanti dengan sekonyong-konyong menjumpai kenyataan bahwa antara mereka perjanjian itu tidak lagi berlaku.
Pasal 19
Cara menyatakan pengakhiran ini perlu ditetapkan untuk mencegah kesulitan-kesulitan yang mungkin timbul berhubung dengan pernyataan itu.
Pasal 20
Kepada semua pihak pada perjanjian-perburuhan itu diberikan kesempatan untuk menentukan bahwa pernyataan itu hanya berlaku untuk pihak yang mengatakannya dan bahwa perjanjian masih tetap berlaku bagi pihak lain-lainnya.
Pasal 21
Aturan ini ialah aturan peralihan. Jika perjanjian-perburuhan yang telah ada pada hari undang-undang ini berlaku diubah, maka selanjutnya harus diturut aturan-aturan dari undang-undang ini. Perjanjian-perburuhan itu tidak dapat diperpanjang atau dianggap diperpanjang. Yang berkepentingan harus menyelenggarakan perjanjian-perburuhan baru menurut undang-undang ini.
——————————–
CATATAN
No. 598a.SERIKAT BURUH. MAJIKAN. PERJANJIAN PERBURUHAN. Penjelasan Undang-undang No. 21 tahun 1954, tentang perjanjian perburuhan antara serikat buruh dan majikan.
RALAT.
Memori penjelasan Undang-undang No. 21 tahun 1954, tentang “perjanjian Perburuhan Antara Serikat Buruh dan Majikan”, yang dimuat dalam Tambahan Lembaran Negara No. 598, mulai dari kepalanya pada halaman 1 hingga kata “ini” dalam kalimat kedua, alinea pertama pada halaman 12, dibatalkan seluruhnya dan diganti dengan tekst baharu seperti yang tercantum di bawah ini :
SARIKAT BURUH. MAJIKAN. PERJANJIAN PERBURUHAN. Penjelasan Undang-undang No. 21 tahun 1954, tentang perjanjian perburuhan antara serikat buruh dan majikan.
Umum :
1.Undang-undang yang mengatur suatu perjanjian antara dua belah pihak pada pokoknya mengakui adanya dan berdasarkan atas kemauan dari kedua belah pihak itu untuk mendapat persetujuan tentang apa yang dikehendakinya. Dengan kata lain : adanya suatu keleluasaan bersepakat (contractvrijheid). Suatu perjanjian perburuhan tak ada gunanya dan tidak pada tempatnya, jika segala sesuatu ditentukan dan ditetapkan oleh Pemerintah saja.
2.Tetapi walaupun demikian keleluasaan itu harus dibatasi, yakni hanya di dalam lingkungan apa yang oleh Pemerintah dianggap layak. Sebab Pemerintah memegang teguh tujuannya untuk melindungi siapa yang lemah, agar tercapai sesuatu imbangan yang mendekatkan masyarakat kita kepada suatu tujuan negara kita menjamin penghidupan yang layak bagi *796 kemanusiaan untuk tiap-tiap warga negara. Antara lain harus diperhatikan ketentuan-ketentuan yang dimuat dalam, Undang-undang Kerja Tahun 1948″.
3.Dipandang dari sudut perlindungan itu. maka Undang-undang ini merupakan suatu lanjutan, karena dengan Undang-undang ini buruh diberi hak untuk bersama-sama (collectief) dengan jalan perwakilan menuju ke arah tingkat yang lebih tinggi.
4.Perjanjian perburuhan (collectieve arbeidsovereenkomst) yang telah diselenggarakan oleh serikat buruh itu, tidak dapat diabaikan begitu saja oleh seorang buruh yang mengadakan perjanjian kerja (individueele arbeidsovereenkomst) (pasal 9 ayat 1). Dan perjanjian perburuhan yang sangat manfaat bagi buruh, oleh Menteri Perburuhan dapat dipaksakan kepada majikan-majikan lainnya untuk dilaksanakan di dalam perusahaannya masing-masing (pasal 11 ayat 1 dan 2).
5.Selanjutnya Undang-undang ini mengatur akibat-akibat dari tindakan serikat buruh terhadap anggauta-anggautanya, hubungan anggauta-anggauta itu dengan pihak lainnya pada perjanjian itu, hubungan suatu perjanjian perburuhan dengan perjanjian kerja, hubungan suatu perjanjian perburuhan dengan perjanjian perburuhan lainnya, dan sebagainya. Semua itu mengenai soal-soal hukum yang dengan jelas diterangkan di dalam penjelasan pasal demi pasal. Sekedar sebagai pegangan perlu diterangkan apa yang dimaksudkan dengan beberapa istilah yang umum. Dengan serikat buruh tidak hanya dimaksudkan suatu serikat buruh pada suatu perusahaan atau suatu lapang usaha ataupun suatu buruh dari suatu keahlian (vak), melainkan juga gabungan dari beberapa atau berbagai-bagai buruh.
Buruh ialah seorang yang melakukan pekerjaan di bawah pimpinan majikan untuk sesuatu waktu dengan menerima upah, sedang majikan ialah seorang pada siapa buruh itu bekerja.
Pasal Demi Pasal Pasal 1.
(1)Perjanjian perburuhan ialah peraturan induk bagi perjanjian kerja antara seorang anggauta serikat buruh pada satu pihak dengan seorang majikan atau seorang anggauta perkumpulan majikan pada pihak yang lain, baik yang sudah maupun yang belum diselenggarakan. Serikat-serikat buruh hanya dapat menyelenggarakan perjanjian perburuhan jika telah didaftar di Kementerian Perburuhan.
Kata “pada umumnya” memberi kesempatan kepada kedua belah pihak untuk juga memuat hal-hal yang bukan semata-mata mengenai syarat-syarat perburuhan, umpamanya mengadakan panitya, terdiri dari anggauta-anggauta buruh dan majikan) untuk mengawasi dijalankannya itu. Dengan demikian maka kedua pihak merdeka mengisi perjanjian. Cara yang lain, yakni menentukan satu hal demi satu hal apa yang boleh diatur di dalam perjanjian perburuhan tidak dapat dipergunakan, karena agak kaku, yang pada hari kemudian mungkin menghalang-halangi kemajuan perjanjian perburuhan. Kemerdekaan kedua belah pihak tersebut hanya dibatasi dalam *797 hal-hal tersebut dalam ayat 3. “Di dalam perjanjian kerja” berarti sebagai telah dikatakan di atas, bahwa perjanjian Perburuhan yang pada sesuatu waktu diselenggarakan itu tidak hanya berlaku untuk perjanjian kerja yang dikemudian hari akan diselenggarakan, melainkan juga untuk perjanjian kerja yang sudah diselenggarakan pada waktu itu.
(2)Disamping perjanjian kerja, yang pada pokoknya mengenai pekerjaan yang dijalankan oleh buruh di bawah pimpinan majikan, untuk sesuatu waktu dengan menerima upah terdapat pula : pertama perjanjian pekerjaan borongan yang menyatakan pihak yang kesatu, pemborong, berjanji untuk pihak yang lain, yang memborongkan, dengan harga yang tertentu menghasilkan suatu buah pekerjaan yang telah ditetapkan, umpamanya membuat rumah, kursi, dan lain-lain dan kedua perjanjian melakukan sesuatu pekerjaan tertentu yang menyatakan bahwa pihak pertama berjanji melakukan sesuatu pekerjaan dengan upah untuk pihak yang lain, umpamanya antara seorang dokter dengan yang berobat, dan dalam hal itu kedua macam pekerjaan itu tidak dilakukan dibawah pimpinan majikan, sehingga dalam ayat 2 ini perlu ditentukan bahwa perjanjian perburuhan, dapat juga diselenggarakan untuk pekerjaan tertentu, sesuatu-nya semata-mata untuk menghilangkan keragu-raguan tentang dapat diselenggarakan atau tidaknya perjanjian perburuhan bagi pekerjaan borongan dan perjanjian melakukan sesuatu pekerjaan tertentu.
(3)Bahwasanya aturan-aturan yang bertentangan dengan hukum tentang ketertiban umum atau dengan kesusilaan itu tidak sah, sudah selayaknya, karena itu tidak perlu di sini diterangkan panjang lebar. Sebabnya ketentuan ini didapat pada ayat 4 itu hanyalah untuk menegaskan sekali lagi adanya azas (beginsel) itu dalam hukum perdata kita.
Larangan lainnya semata-mata ditujukan untuk menjaga timbulnya kedudukan yang bersifat monopolistis dari :
Serikat buruh yang memaksa seorang majikan untuk hanya menerima umpamanya buruh keristen, buruh-buruh warga negara Indonesia, buruh bangsa asing, buruh berhaluan sosialis atau buruh yang menjadi anggauta dari perkumpulan A atau menolak umpamanya buruh Islam, buruh warga negara Indonesia, buruh berhaluan Kominis atau buruh yang menjadi anggauta dari perkumpulan B; majikan yang memaksa buruh untuk hanya bekerja atau tidak boleh bekerja umpamanya pada majikan Keristen, majikan warganegara Indonesia, majikan bangsa asing, majikan berhaluan sosial atau majikan yang menjadi anggauta dari perkumpulan A.
Pasal 2.
(1)Karena pentingnya akibat perjanjian itu, maka dimintakan bentuk yang tertentu. Yang dimaksud dengan surat resmi (authentiek) ialah surat yang dibuat oleh orang atau pegawai yang berhak membuatnya umpamanya notaris, sedang surat yang ditanda tangani oleh kedua belah pihak (onderhandsche akte) ialah surat yang justru memuat perjanjian perburuhan. (2)Cukup, jelas.
Pasal 3.
Karena perjanjian yang diselenggarakan itu berlaku buat anggauta-anggauta maka perlu supaya isinya diberitahukan kepada mereka. Caranya terserah kepada perkumpulan yang bersangkutan apakah dengan lisan ataukah dengan memberikan turunan surat perjanjian kepada anggauta-anggautanya.
Maksud pasal ini terutama ialah bahwa tidak tahunya seorang anggauta tidak dapat diajukan kepada pihak yang lain.
Pemberitahuan itu sebetulnya tidak berat bagi perkumpulan yang bersangkutan karena pada umumnya anggauta-anggauta telah mengetahui pada waktu menyetujuinya di dalam rapat anggauta.
Hukuman pelanggaran ini adalah suatu soal antara anggauta dengan perkumpulannya (intern) yang harus diatur dalam peraturan dasarnya.
Pasal 4.
Mengenai kewajiban dan tanggung-jawab perkumpulan atas anggauta-anggautanya yang harus memenuhi aturan-aturan dalam perjanjian perburuhan, terdapat dua aliran yang sangat berlainan.
a.perkumpulan tersebut menanggung dengan sepenuhnya bahwa anggauta-anggautanya akan memenuhi semua aturan-aturan itu, dan perkumpulanlah yang bertanggung jawab bilamana anggauta-anggauta itu melanggar perjanjian perburuhan.
b.perkumpulan tidak ikut campur dalam urusan aturan-aturan yang berlaku bagi anggauta-anggautanya. Pelanggaran oleh anggauta-anggautanya bukanlah tanggungannya. Pasal ini mengambil jalan tengah.
Aliran b yang menyatakan perkumpulan sedikitpun tidak bertanggung jawab, memungkinkan perkumpulan dengan secara diam-diam menghalang-halangi anggauta-anggautanya memenuhi kewajiban-kewajiban mereka, tak dapat diturut karena ayat 1 mewajibkan perkumpulan mengusahakan agar anggauta-anggautanya memenuhi kewajiban-kewajiban mereka. Dengan demikian tidak cukuplah bilamana perkumpulan itu hanya bersifat passief, tetapi harus juga bertindak actief ialah mengusahakan agar anggauta-anggautanya memenuhi kewajiban-kewajiban mereka. Aliran a, bilamana dimuat dalam Undang-undang, dapat menghalang-halangi kemajuan perjanjian perburuhan karena mungkin banyak perkumpulan takut mengadakan perjanjian perburuhan. Karena itu dalam ayat 2 hanya ditetapkan bahwa perkumpulan hanya bertanggung jawab atas anggauta-anggautanya bilamana hal ini ditentukan didalam perjanjian perburuhan itu sendiri. Jadi terserah kepada masing-masing pihak.
Pasal 5.
Perjanjian perburuhan adalah salah satu usaha untuk menjernihkan suasana dalam perusahaan. Apabila itu sudah tercapai, tujuan untuk menghasilkan sebanyak-banyaknya harus segera dikejar. Oleh sebab itu majikan harus memenuhi kewajibannya dan buruh harus sedikit-dikitnya memberi minimum arbeids-prestatie.
Pasal 6, 7 dan 8.
Setelah pasal 4 menentukan kewajiban yang ditanggung oleh perkumpulan yang menyelenggarakan perjanjian perburuhan, maka pasal 6, 7 dan 8 menetapkan kedudukan anggauta-anggauta terhadap perjanjian perburuhan itu yang diselenggarakan oleh perkumpulan mereka masing-masing.
Sesuatu azas hukum yang pokok ialah bahwa sesuatu perjanjian hanya berlaku antara pihak-pihak yang menyelenggarakan perjanjian itu, dan tidak berlaku untuk orang ketiga.
Karena itu harus ditentukan dengan tegas dalam Undang-undang bahwa :
1.semua anggauta suatu perkumpulan yang menyelenggarakan perjanjian perburuhan terikat oleh perjanjian itu (pasal 6 ayat 1);
2.mereka yang kemudian menjadi anggauta (anggauta baru) suatu perkumpulan yang menyelenggarakan perjanjian perburuhan, menjadi terikat oleh perjanjian itu (pasal 6 ayat 1);
3.mereka yang kehilangan keanggautaannya, baik karena dipecat maupun keluar atas permintaan sendiri, pada azasnya tetap terikat hingga waktu berlakunya perjanjian itu habis (pasal 7);
4.mereka tetap terikat juga bilamana perkumpulan mereka dibubarkan (pasal 8). Ad 1 dan 2 Cukup jelas.
Maksud perkataan “tersangkut dalam perjanjian itu” (pasal 6 ayat 1) umpamanya demikian :
Serikat buruh paberik gula menyelenggarakan perjanjian perburuhan untuk anggauta-anggauta buruh tehnik. Perjanjian ini tidak berlaku bagi anggauta-anggauta buruh pengangkutan karena mereka ini tidak “tersangkut dalam perjanjian itu”. Maksud pasal 6 ayat (2) ialah bahwa seorang anggauta yang melanggar, bertanggung jawab terhadap perkumpulannya sendiri dan terhadap perkumpulan yang menjadi pihak lainnya.
Ad 3. Pasal 7 ini ialah untuk mencegah keluarnya seorang anggauta yang bermaksud menghindarkan diri dari kewajiban-kewajiban yang berlaku baginya. Umpamanya seorang majikan keluar dari perkumpulan majikan, hanyalah disebabkan untuk mencapai maksudnya mengadakan perjanjian-perjanjian kerja yang lebih menguntungkan baginya.
Ad 4. Walaupun pasal 7 ayat 1 telah menentukan bahwa, bekas anggauta-anggauta tetap terikat oleh perjanjian perburuhan dan azas hukum perkumpulan menyatakan bahwa suatu perkumpulan yang dibubarkan masih harus bertanggung jawab atas penyelesaian kewajiban-kewajibannya, tetapi perlu hal itu ditentukan dengan tegas dalam pasal 8 dengan maksud untuk menghilangkan keragu-raguan.
Pasal 9.
(1) Sebagai telah dikatakan pada penjelasan pasal 1 ayat 1, perjanjian perburuhan ialah peraturan induk atau peraturan dasar bagi perjanjian kerja antara seorang buruh dan seorang majikan yang terikat oleh perjanjian perburuhan itu.
Pasal 9 ini sekarang menentukan dengan tegas kedudukan kedua jenis perjanjian itu dan perhubungannya antara satu dengan lainnya. Karena kedudukan perjanjian perburuhan sebagai aturan dasar itu, maka aturan dalam perjanjian kerja yang bertentangan dengan sendirinya tidak berlaku. Karena aturan-aturan yang bertentangan itu tidak berlaku, maka perlulah dinyatakan dengan tegas manalah gantinya yang berlaku, karena jika tidak demikian maka dapatlah diartikan bahwa soal itu tidak diatur lagi dan bahwa yang dirugikan hanya dapat minta pengganti kerugian, tidak juga untuk memenuhi aturan yang dimuat dalam perjanjian perburuhan.
Pasal 9 ini juga penting karena justru oleh ketentuan itu yang dirugikan (buruh) dapat memajukan sendiri perkaranya dimuka pengadilan. Jika ketentuan tersebut dalam pasal 9 itu tidak ada, maka yang dapat bertindak menurut pasal 13 hanyalah yang menjadi pihak dalam perjanjian perburuhan.
(2) Sesuatu hal yang tidak sah adalah mutlak (absoluut) tetapi tidak semua orang dapat memajukannya dimuka pengadilan karena sesuatu azas dari hukum acara menetapkan bahwa untuk dapat memajukan sesuatu hal dimuka pengadilan yang memajukannya itu harus mempunyai kepentingan. Untuk menetapkan bahwa kedua belah pihak dalam perjanjian perburuhan dapat memajukannya dengan tidak usah menyatakan kepentingannya itulah maksud ayat (2) ini.
Pasal 10.
Pasal 9 diantaranya menentukan bahwa bilamana aturan di dalam perjanjian kerja bertentangan dengan aturan di dalam perjanjian perburuhan, maka aturan perjanjian perburuhan yang berlaku.
Pasal 10 inilah sekarang yang menentukan bahwa aturan-aturan di dalam perjanjian perburuhan itu jugalah yang akan berlaku, bilamana perjanjian kerja tidak memuat aturan-aturan itu.
Pasal 11.
(1) Sebagai pihak yang kuat, majikan oleh Menteri Perburuhan dapat diwajibkan menepati aturan-aturan perjanjian perburuhan juga bilamana dia berhubungan dengan buruh yang tidak terikat oleh perjanjian perburuhan. Hal itu perlu agar majikan itu tidak dapat menerima buruh misalnya dengan upah yang lebih rendah dan sebagainya.
Di dalam penjelasan pasal 6, 7 dan 8 dikatakan bahwa suatu azas hukum yang pokok ialah bahwa suatu perjanjian hanya berlaku antara mereka yang menyelenggarakan perjanjian itu dan tidak berlaku untu orang ketiga. Karena itu maka ketiga pasal ini menentukan bahwa perjanjian perburuhan yang diselenggarakan oleh pihak serikat buruh dengan majikan berlaku juga untuk anggauta-anggauta serikat itu. Ketentuan itu telah selayaknya, karena maksud perjanjian itu ialah justru menetapkan hal-hal yang berlaku untuk anggauta. Jadi ketentuan itu ialah akibat langsung dari sifat perjanjian perburuhan.
Lain halnya dengan kepastian dalam pasal 11 ini. Berlakunya perjanjian perburuhan bagi orang ketiga yang bukan anggauta serikat buruh, ialah bukan akibat yang langsung timbul karena perjanjian itu. Karena itu agak tidak selayaknya kepastian itu ditetapkan di sini.
Tetapi justru untuk melindungi buruh yang bukan anggauta perlu kepastian itu diadakan. Kepastian itu sifatnya tidak lagi semata-mata mengatur (regelend) tetapi memaksa (dwingend).
Di atas telah diterangkan bahwa perintah ini berdasarkan atas maksud melindungi buruh bukan anggauta, supaya dia juga merasakan kemajuan yang akan dicapai oleh serikat buruh.
Mungkin perlindungan ini menimbulkan pikiran kurang setuju di pihak pergerakan buruh, karena mungkin melemahkan pergerakan. Tetapi mengingat rasa perikemanusiaan dan rasa solidariteit kaum buruh pada umumnya, perlindungan itu akan mendapat sambutan gembira.
(2) Karena ayat 2 ini Menteri dapat memaksakan suatu perjanjian perburuhan kepada buruh-buruh dan majikan-majikan yang tidak terikat oleh perjanjian itu. Perjanjian itu harus dipenuhi oleh kedua golongan itu. Tetapi lapang usahanya harus sama.
Misalnya perjanjian perburuhan antara serikat buruh perusahaan batik dengan perusahaan batik, dapat dipaksakan kepada buruh dan majikan dari perusahaan batik lainnya.
Bilamana Menteri itu akan mempergunakan haknya tergantung pada keadaan, misalnya perjanjian perburuhan perusahaan batik di Jakarta, sukar untuk dipaksakan pada perusahaan batik di desa di pegunungan.
(3)Cukup jelas.
Pasal 12.
Pasal 11 pokoknya melarang seorang majikan menyelenggarakan perjanjian kerja dengan buruh yang tidak terikat yang bertentangan dengan aturan perjanjian perburuhan, sedangkan maksud pasal 12 ini ialah menyempurnakan pasal itu dengan menyatakan, bahwa seorang majikan atau perkumpulan majikan yang telah mengadakan perjanjian perburuhan dengan sesuatu serikat buruh dilarang mengadakan perjanjian perburuhan baru dengan serikat buruh lain yang memuat syarat-syarat kerja yang kurang dari pada yang termuat syarat-syarat kerja yang kurang dari pada yang termuat dalam perjanjian perburuhan yang telah diselenggarakan itu.
Pasal 13.
Pasal 13 ini mengatur akibat dari pelanggaran-palanggaran yang dilakukan oleh sesuatu pihak pada perjanjian perburuhan atau anggauta-anggautanya seperti juga pasal 9.
Pasal 9 menetapkan, bahwa buruh dapat bertindak sendiri hanya bilamana perjanjian kerjanya memuat aturan yang bertentangan dengan aturan dari perjanjian perburuhan. Hak ini adalah akibat dari pelanggaran perjanjian kerjanya sendiri yang harus sesuai dengan aturan-aturan dari perjanjian perburuhan, sekali-kali bukan akibat dari perjanjian perburuhan.
Pelanggaran-pelanggaran yang langsung mengenai perjanjian perburuhan tidak dapat dituntut oleh buruh sendiri, melainkan harus dituntut oleh serikat buruhnya. Ketentuan ini adalah penting karena kedudukan serikat buruh itu baik psychologisch, maupun ekonomis tidak begitu lemah terhadap majikan dari pada kedudukan buruh masing-masing, yang pada umumnya kurang cakap dan kurang berani berhadapan dengan majikan.
Untuk mencegah jangan sampai serikat buruh atau buruh perseorangan segaja berbuat bertentangan dengan maksud perjanjian perburuhan maka majikan berhak menuntut serikat buruh atau buruh sendiri.
Pasal 14.
Ketentuan dalam pasal ini perlu dimuat karena kerugian dari perkumpulan sebagai akibat pelanggaran acapkali tidak dapat dinyatakan dengan uang.
Tidak ditentukan di sini, bahwa pengadilan yang menetapkan pengganti kerugian itu, maksudnya memberi kelonggaran kepada kedua belah pihak mengatur di dalam perjanjian perburuhan supaya hal itu umpamanya ditetapkan oleh sebuah panitya.
Pasal 15.
Pasal ini memberi kesempatan kepada kedua belah pihak untuk menetapkan sesuatu denda yang tertentu (boete-beding) di dalam perjanjian mereka, sedangkan denda itu dapat diubah oleh pengadilan bilamana kewajiban yang dikenakan denda itu sebagian telah dipenuhi. Ketentuan dalam ayat-ayat ini diperlukan untuk menjaga keadilan.
Pasal 16 dan 17.
Maksud perjanjian perburuhan ialah untuk mencapai stabiliteit didalam syarat-syarat bekerja (arbeidsvoorwaarden). Makin lama stabiliteit ini dapat dipertahankan makin baik akibatnya bagi dunia perburuhan. Dipandang dari sudut itu, maka tidak pada tempatnyalah menentukan batas waktu berlakunya perjanjian perburuhan.
Tetapi disamping itu harus juga diperhatikan, bahwa mereka yang menyelenggarakan perjanjian itu tidak selalu dapat menduga hal-hal yang akan terjadi dikemudian hari. Aturan-aturan yang sekarang kelihatannya sempurna, mungkin akan ternyata kelak ada kekurangan atau memuat sesuatu yang menjirat mereka, disebabkan oleh perubahan-perubahan keadaan.
Lebih-lebih pada jaman sekarang ini, pada waktu harga barang-barang dan tingginya upah sangat goncang jauh dari pada tetap, mudah dimaklumi bahwa perjanjian perburuhan yang diselenggarakan untuk waktu lebih dari dua tahun, sukar dapat dipertahankan. Justru karena itu disamping pasal 16 ditetapkan dalam pasal 17 bahwa masing-masing pihak sewaktu-waktu dapat minta kepada pengadilan untuk membatalkan perjanjian mereka.
Alasan yang memaksa adalah keadaan-keadaan yang bilamana tidak diperhatikan menimbulkan rasa tidak adil. Walaupun bagi pengadilan agak sukar untuk menentukan keadaan apakah yang memaksa itu, hal ini tidak dapat dipergunakan sebagai alasan untuk membiarkan mereka terjirat oleh sesuatu perjanjian yang oleh mereka sendiri dirasakan sebagai tidak adil lagi.
Pasal 18.
Walaupun di dalam perjanjian itu telah ditetapkan waktu berlakunya perjanjian itu, di dalam perjanjian masih harus dimuat juga ketentuan bahwa perjanjian itu akan habis apabila waktu itu telah berakhir. Jika hal ini tidak ditentukan dan pernyataan pengakhiran tidak diberikan, maka perjanjian itu dianggap diperpanjang. Ketentuan ini perlu agar yang berkepentingan mengetahui benar-benar bilamana perjanjian mereka berakhir berlaku, jangan sampai mereka nanti dengan sekonyong-konyong menjumpai kenyataan bahwa antara mereka perjanjian itu tidak lagi berlaku.
Pasal 19.
Cara menyatakan pengakhiran ini perlu ditetapkan untuk mencegah kesulitan-kesulitan yang mungkin timbul berhubung dengan pernyataan itu.
Pasal 20.
Kepada semua pihak pada perjanjian perburuhan itu diberikan kesempatan untuk menentukan bahwa pernyataan itu hanya berlaku untuk pihak yang menyatakannya dan bahwa perjanjian masih tetap berlaku bagi pihak lain-lainnya.
Pasal 21.
Aturan ini ialah aturan peralihan. Jika perjanjian perburuhan yang telah ada pada hari Undang-undang ini berlaku diubah, maka selanjutnya harus diturut aturan-aturan dari Undang-undang ini.
Perjanjian perburuhan itu tidak dapat diperpanjang atau dianggap diperpanjang. Yang berkepentingan harus menjelenggarakan perjanjian perburuhan baru menurut Undang-undang ini.

Diketahui :
Sekretariat Kementerian Kehakiman,
Mr. SOEDARJO

Tidak ada komentar:

Posting Komentar